Sebelum Aksa meninggalkan Berlin, dia menyempatkan lagi menemui Mama dan Papa Tanu di rumah sakit.
"Aksa balik lagi ke Jakarta Ma, semoga Papa Tanu lekas pulih, maaf Aksa tidak bisa ikut menemani dan merawat Papa," kata Aksa penuh sesal.
"Tidak apa-apa, pasti kamu sangat sibuk di sana, Mama harap kamu mendapat kesuksesan dan kebahagianmu."
"Iya terimakasih Ma, sebenarnya Aksa sedang ada masalah dengan investor. Dan Mama pasti tahu apa itu."
"Mama minta maaf jika mama tidak membantumu, cobalah kau temui pengacara almarhum Papamu itu di Singapura. Siapa tahu itu akan menjadi jalan keluarnya."
"Apakah benar aset Papa itu banyak Ma?" tanya Aksa masih belum percaya.
"Mama tidak tahu berapa pastinya itu, yang jelas uang asuransi papamu saja senilai 20 Miliar itu belum termasuk aset seperti deposito, tabungan Papa mu yang bahkan Mama tidak tahu di bank apa. Tanya saja dia!"
"Aksa takutnya itu bohong Ma, apa Papa menyimpan aset begitu banyak tidak ada yang tahu."
"Entahlah, Pak William pengacara Papamu itu tidak terbuka, dia hanya akan membicarakannya pada kamu sendiri."
"Kenapa Pak William tidak mencariku."
"Karena dia tahu kalau kamu belum menikah."
"Ja-jadi dia hanya akan mencariku jika aku menikah."
"Temui dia saja langsung, mungkin kamu bisa mengetahuinya lebih jelas!"
"Baiklah Aksa akan menemuinya."
"Dia seorang CEO dan mempunyai sebuah firma hukum di Singapura sekarang. Temui dia!"
Aksa mengangguk kemudian pamit untuk segera berangkat menuju bandara.
"Kau harus menikahi Hana secara resmi, Mama mohon untuk kali ini, kalian berdua harus lebih tangguh lagi mempertahankan rumah tangga kalian!" pesan Ibu Rika.
"Iya doain saja Mama, biar Aksa cepat-cepat bisa menikahi Hana dan menjadikannya Nyonya Mahesa secara resmi!"
"Pasti, doa Mama untuk kalian berdua," ucap Ibu Rika tulus.
Aksa kemudian pergi dan segera mengajak Daniel yang sedang menunggunya di luar ruangan. Wajah Daniel nampak cemas dan terlihat gelisah.
"Kenapa kau?" tanya Aksa melihat wajah Daniel yang gelisah.
"Saya tidak bisa menghubungi Nona Intan Pak, dia tidak mau menjawab panggilan telepon saya," ujar Daniel sedih.
"Mungkin sedang sibuk, lain waktu kau coba lagi menghubunginya!" tandas Aksa.
"Baik Pak, apa kita berangkat sekarang ke Jakarta?" tanya Daniel.
"Tentu saja, memangnya kemana?" tanya Aksa.
"Siapa tahu Bapak ingin pergi ke LA, untuk menemui Nona Hana?" kata Daniel dengan ekspresi ada udang di balik bakwan.
"Jangan bilang kalau kau sekarang menjadi bucin Intan?" tanya Aksa dengan tatapan menyelidik dan mendekat ke wajah Daniel yang berubah gelisah semenjak tidak bisa menghubungi Intan.
"A-anu Pak, kenapa Bapak bilangnya bucin terus sih, aku kan cuma bertanya, siapa tahu Bapak ingin menyusul Hana ke LA?" jawab Daniel beralasan.
"Kalau aku pergi ke LA menemui Hana, otomatis kamu juga ingin bertemu dengan Intan kan?" tanya Aksa.
"Hehehee, ketara banget ya Pak?" Daniel menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal karena bosnya sudah paham akan maksudnya.
"Saranku, kalau Intan melupakan kejadian malam itu, kamu juga harus melupakan itu Niel. Masalahnya aku takut kamu bakal kena masalah."
Daniel terdiam dan sepertinya dia tidak sependapat dengan Aksa. Baginya, dia harus bertanggungjawab atas apa yang telah dia lakukan pada Intan terlepas dia siapa dan putri siapa. Daniel hanya tidak ingin dicap sebagai laki-laki yang hanya ingin bercinta dengan gadis dengan nafsu. Karena Daniel memang sudah tertarik pada Intan dari pertama kali bertemu dengannya di lokasi syuting. Hanya saja awalnya dia tidak begitu berharap.
Akan tetapi kejadian malam itu malah memicunya untuk mengejar cinta Intan. Dia menyanyangi wanita yang sudah memberinya sebuah darah kesuciannya untuk keperjakaannya. Dan dia tidak ingin melepasnya begitu saja.
"Malah bengong, cepat bukakan pintu!" kata Aksa mulai bersikap "boss" lagi saat mereka tiba di parkiran.
Buru-buru Daniel membukakan pintu Aksa dan mempersilahkan Tuan Muda yang kadang membuatnya jengkel, kesal setengah mati tapi kadang juga membuat dirinya merasa mempunyai kakak dan adik yang baik hati.
Mereka pun melaju ke bandara meninggalkan kota Berlin bersejarah. Kota yang kembali menyatukan tubuh Aksa dan Hana, dan kota bersejarah bagi Daniel yang melepaskan keperjakaannya dengan seorang gadis tak biasa.
***
Sementara itu di Intan dan Hana baru sampai di bandara LA. Intan memandangi ponselnya dan membaca ada 205 panggilan tak terjawab dari nomor yang tak dikenal. Dan Intan mencoba menghapus nomor itu dari riwayat panggilannya. Dan ternyata ada 10 pesan masuk juga dari nomor yang tak dikenal juga. Tanpa mau membaca isi pesannya, Intan pun menghapusnya dari kotak masuk pesannya.
"Kak, taksinya !" Hana menunjuk sebuah taksi yang sudah siap membawa mereka pulang ke apartemennya.
Intan kemudian membawa koper mereka ke dalam taksi. Hana diam-diam memperhatikan raut muka Intan yang semakin terlihat gelisah campur sedih. Ekspresi dingin Intan ketika berinteraksi dengan orang lain, sejak dari Berlin.
Hana menangkap kalau Intan seperti sedang menyimpan masalah berat. Dan untuk mengetahui masalah apa itu orang seperti Intan akan susah diajak curhat. Jadi Hana hanya bisa memandang penasaran, ada apa dengan Kak Intan, kok tiba-tiba menjadi lebih dingin seperti ini, apa dia marah kalau aku tidur dengan Aksa?"
"Hana, aku mohon bantuanmu, kalau ada orang yang menghubungiku dan menanyakanku, bilang saja kamu tidak tahu aku di mana!" imbuh Intan saat mereka sudah masuk ke dalam taksi.
"Iya Kak, tapi kenapa, ada apa, bisa Kakak ceritakan padaku!" kata Hana.
"Tidak ada apa-apa, aku hanya malas berurusan dengan orang lain."
"Memangnya siapa yang akan menghubungiku dan menanyakan Kakak?" tanya Hana penasaran.
"Kalau ada itu juga, kalau tidak ada, berarti kau tidak usah tahu!" ucap Intan dengan sikap tak peduli.
Hana menjadi serba salah dengan sikap Intan yang seperti itu. Hana hanya bisa menduga pasti telah terjadi sesuatu di Berlin yang tidak dia ketahui. Karena semenjak pulang dari sana wajah Intan terlihat sedih dan gelisah tidak seperti biasanya. Hana ingin bertanya lebih lanjut tapi dia takut kalau semakin dia bertanya Intan akan semakin tak peduli.
Taksi membawa mereka kembali menuju apartemen. Sepanjang perjalanan, Hana terus mengawasi dan memperhatikan raut wajah Intan yang mendung.
Sudah lima tahun ini Hana tinggal dan bersama Intan. Selama itu pula Hana mencoba mengenal Intan lebih dekat. Namun, Intan yang terlalu membuat tembok penghalang yang tinggi. Hana tidak pernah tahu siapa Intan sebenarnya.
Dia hanya tahu kalau Intan adalah orang kepercayaan Ibu Rika. Wajah Intan jarang tersenyum dan sikapnya yang selalu dingin. Akan tetapi, Hana bisa merasakan kehangatan Intan yang sangat peduli dengannya. Hanya saja, sepertinya Intan mempunyai masa lalu yang menyakitkan. Karena Intan boleh dikatakan hampir jarang tersenyum dan tidak pernah membuka dirinya untuk cerita apa pun mengenai permasalahan dirinya.
Bagi Hana, Intan adalah manajer yang sudah Hana anggap sebagai kakak atau saudara. Dan Hana ingin sekali menjadi sandaran Intan kalau dia sedang dalam masalah. Akan tetapi, Intan adalah orang yang sulit untuk didekati dan ditanya.
Bersambung ....
= = = Catatan Author = = =
Jangan lupa untuk membantu menyalakan bintang reviewnya biar semakin nyala. Hu-um.
Power Stone dan juga komentar untuk author.
Haturnuhun gaees.