Chereads / Rache / Chapter 22 - Doa

Chapter 22 - Doa

Takdir tuhan adalah rahasia terbesar kehidupan. Tidak ada yang dapat menebaknya. Plot twist terbesar dalam kehidupan adalah takdir itu sendiri. Tidak ada yang bisa menebaknya.

Tuhan menciptakan manusia dengan takdirnya masing masing. Pun takdir tidak dapat diubah apalagi di tukar. Aksara tau jelas, seseorang mempunyai takdirnya sendiri sendiri. Tapi entah mengapa ia merasa tidak adil akan Nathalie. Gadis itu mendapat beban begitu berat dalam usianya yang masih belia. Aksara ingin mengeluhkannya pada tuhan, Aksara ingin marah dan berteriak kencang.

Tapi tidak mungkin, ia bagai debu dalam satu tumpukan pasir. Tidak berdaya.

Aksara hanya merenung, memikirkan keadaan Nathalie saat ini.

Perlahan air matanya kembali mengalir deras. Tidak apa apa ia menangis. Abah juga tidak pernah melarang putra putranya menangis. Justru itu bagus, Aksara jadi bisa mengekspresikan perasaannya saat ini.

Anak itu menenggelamkan wajahnya pada bantal putih di dalam kamar yang di tempati oleh Mas Yudhis dan Mas Abim. Sendirian, dengan pintu ruangan yang tertutup rapat. Tidak membiarkan satu orang pun datang dan mengganggunya.

Aksara masih menangis dalam keheningan. Mencegah barang satu isakan pun lolos dari bibirnya. Ia tidak ingin menjadi laki laki cengeng dengan menangis meraung-raung.

"Aksa," pintu kamar di ketuk dari luar, suara ibuk. Terdengar begitu khawatir, "Ibuk boleh masuk?"

Aksara bergeming, bertahan dalam kebisuan.

"Aksara? Buka pintunya ya le. Ibuk mau ngobrol sebentar sama kamu,"

Aksara menarik napas dalam, dengan tubuh bergetar hebat anak itu beranjak, melangkah dengan kaki panjangnya mendekati pintu sebelum membukanya, "Apa buk?"

Ibuk tampak sedikit terperanjat akan penampilan putra bungsunya, rambut acak-acakan, pakaian yang juga tidak berbeda jauh, belum lagi mata bengkak dan hidung memerah, "Ibuk boleh masuk?"

Aksara mengangguk, mundur beberapa langkah memberi jalan untuk sang ibu memasuki ruangan sebelum kembali menutup pintu.

Ibuk duduk di pinggiran ranjang, beliau menepuk ruang kosong di sampingnya memberi kode kepada Aksara untuk duduk di sana. Sang anak segera menurut tanpa banyak bicara, "Kamu kenapa to? Katanya mau jalan jalan sama Riri. Kok balik balik nangis hm?"

Aksara menunduk sedih, mencoba menahan air mata yang kembali merambat ke permukaan. Bagaimanapun ia tidak mau menangis di hadapan ibuk, "Nathalie.... Kritis buk,"

"Nathalie yang kamu suka itu?" Aksara mengangguk. Ibuk tersenyum simpul, merangkul bahu tegap milik anak itu, "Kamu tau? Masalah adalah kunci dari kedewasaan?"

"Tau..."

Ibuk lagi lagi tersenyum, mengusap punggung Aksara yang tanpa terasa sudah selebar ini, "Dulu ibuk juga pernah di posisi Aksa. Ibuk pernah suka sama orang, namanya Aryan. Waktu itu ibuk juga masih SMA. Masih belum ketemu sama abah. Waktu itu Aryan kritis, dia sakit leukimia dan meninggal dua hari kemudian," Aksara membulatkan matanya sontak membuat ibunya terkekeh, "Kamu tau? Ibuk bener bener hancur saat itu. Tapi di saat ibuk berada di titik terendah, abahmu datang dan akhirnya bikin ibuk move on,"

"Tapi dengan kasusnya Natahlie beda buk,"

Ibuk memilih abai akan tanggapan Aksara, "Kamu tau apa yang harus kamu lakukan?" anak itu menggeleng, "Berdoa. Sholat, lalu berdoa sama tuhan. Minta kesembuhan Nathalie. Ibuk juga yakin kan, Aksara bukan anak yang datang saat ada maunya,"

Aksara mengangguk kecil tanpa mengalihkan tatapannya dari paras cantik sang ibu.

"Sekarang kamu tenangin diri dulu. Baca Al-qur'an. Setelah itu Sholat. Ceritakan semua keluh kesah kamu pada tuhan. Jangan lupa doakan Nathalie juga,"

***

Aksara duduk bersimpuh dengan kepala menengadah. Kedua tangannya saling menempel memberikan gestur seperti orang tengah meminta sesuatu. Tidak, Aksara tengah berdoa saat ini. Di mushola rumah uti yang dingin dan sepi.

Pemuda itu bergumam dengan mata berkaca-kaca, "Aku bukanlah yang taat kepadamu. Aku juga bukan yang tanpa kesalahan. Sebaliknya,  Aku hanyalah satu dari sekian banyak manusia yang engkau ciptakan. Aku juga bukan manusia sempurna, bisa ingkar dan kapan saja bergabung dalam jalan setan yang menyesatkan. Tapi, hari ini aku meminta padamu Yaallah. Dalam sujudku dan doaku aku meminta, tolong berilah kesembuhan pada Nathalie. Tolong angkat penyakitnya. Berilah ia kesehatan seperti sedia kala. Berilah kebahagiaan untuknya. Berilah kesempatan untuknya mengenali lebih jauh tentang dunia tempatnya tinggal saat ini. Tolong berilah kesempatan untuknya menggapai cita citanya, membahagiakan orang orang di sekitarnya. Allahumma Rabbannaasi Adzhibil Ba'sa Wasy Fihu, Wa Antas Syaafi, Laa Syifaa-a Illa Syfaauka, Syifaan Laa Yughaadiru Saqaama, Rabbanaa, aatinaa fid dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa 'adzaaban naar. Amin,"

Aksara mengusapkan telapak tangan pada wajahnya.

Hening beberapa saat. Pemuda itu pun tidak menunjukkan tanda tanda bahwa ia akan beranjak dari tempatnya saat ini. Walaupun hatinya sedikit lebih tenang saat ini namun masih terselip perasaan khawatir pada Nathalie.

Jam menunjukkan pukul 3 pagi, terhitung sudah sepuluh jam sejak Tante Nara menghubunginya namun kabar terbaru mengenai keadaan Nathalie saat ini tidak kunjung datang.

"Aksa sudah? Gantian ya," sang empunya nama menoleh dan mendapati Mas Yudhis yang tengah berdiri di ambang pintu dengan wajah, lengan, dan beberapa bagian kepalanya basah.

Sang adik mengangguk tak lama kemudian, "Iya mas," jawabnya sebelum beranjak angkat kaki dari sana.

Aksara melangkah gontai, masih menggunakan sarung wadimor kesayangannya, anak itu menuju ruang tengah. Ah semalam ia tertidur di kamar, tidur seranjang bersama Mas Abim. Sedangkan Mas Yudhis mengalah untuk tidur di ruang tengah.

Aksara sedikit terkikik kala memandangi kakak dan sepupu-sepupunya tertidur dengan posisi tidak bisa di katakan baik. Terutama Riri. Aksara berani menjamin semalam Riri tertidur bersama Anna di sofa bed dan kini berakhir berada di dekat televisi.

Arjuna yang memang sengaja tidur terpisah dengan yang lain tampak mendengkur keras dengan mulut terbuka lebar.

Si bungsu itu tersenyum kecil, berlalu dari ruang tengah menuju kamar tamu. Ia kemudian meraih ponsel yang tergeletak di atas nakas.

Terdapat beberapa panggilan tak terjawab dari Agam. Tumben, pikirnya.

Aksara segera balas menghubungi Agam, walaupun besar kemungkinan pemuda cerewet itu tidak akan menerima panggilannya.

Namun anehnya, panggilan tersambung tak lama kemudian.

"Halo," sapa Agam. Suaranya terdengar serak membuat Aksara mengernyit.

"Halo Gam. Kenapa semalam nelpon? Ada hal penting atau gimana?"

"Ohh gitu," hening sejenak, terdengar Agam yang terngah terbatuk-batuk dari seberang sana, "Sorry gue lagi flu. Itu semalem Nathalie operasi,"

"Hah? Jadi semalem dia di operasi?" tanya Aksara khawatir.

"Iya, gue niatnya ngabarin lo waktu mau operasi tapi lonya nggak jawab,"

"Terus sekarang gimana keadaannya?"

"Kata Karin sama Angel udah stabil sih. Tapi belum siuman,"

"Oh gitu. Oke makasih banget ya Gam," Aksara tersenyum lebar, tubuhnya seakan menjadi ringan dalam sekejap. Perasaannya lega luar biasa saat ini. Benar kata ibuk, tuhan adalah tempat terbaik untuk pulang dan meminta.

"Yoi bro. Btw lu kapan balik? Lama bener di Jogjanya,"

"Kenapa? Kangen?"

Dengusan Agam terdengar, "Gue mau curhat nih. Nggak enak kalo lewat telpon gini. Apalagi chat. Typing lo singkat banget males gue bacanya,"

Tawa Aksara menguar di udara, "Ya maaf udah kebiasaan. Curhat aja coba gue dengerin,"

"Beneran nih? Tapi jangan tidur lo,"

"Enggak santai aja. Kenapa? Cerita coba,"

"Gue putus sama Neng Anya,"

Aksara melotot, "Kok bisa?"

"Anya bilang dia bosen sama gue. Sa... Gue kurangnya di mana sih? Gue sayang banget sama dia. Kenapa gitu di monthversary kita yang kedua dia malah putusin gue,"

"Itu tandanya, Anya bukan buat lo. Jangan galau cuma gara-gara cewek Gam. Nggak guna. Mending sekarang lo tenangin diri aja. Kalaupun emang jodoh lu Anya, dia bakalan balik kok tenang aja,"

"Tapi kalo jodoh gue bukan Anya?"

"Ya terima kenyataan aja,"

Pekikan Agam terdengar nyaring, Aksara sampai harus menjauhkan ponselnya dari telinga, "Ya gue maunya sama Anya,"

"Cewek banyak Gam. Jangan jadi gila cuma gara-gara cewek. Mending sekarang lo buktiin kalo lo juga bisa hidup tanpa Anya,"

"Gitu ya?"

"Iya. Jangan galau cuma gara-gara cewek. Percuma,"

"Iya Sa. Thanks ya udah membuka mata batin gue,"

Aksara mendengus, "Nggak mata hati sekalian?"

"Mata kaki aja bagus,"