Chereads / Rache / Chapter 28 - di dalam mobil

Chapter 28 - di dalam mobil

"Kamu emang udah bener-bener sembuh? Kok udah berani pergi pergi?" tanya Aksara di balik setirnya.

Nathalie menggeleng polos dengan senyum tak berdosanya, "Lukanya belum kering banget sih tapi nggak masalah,"

Aksara melotot, segera menepikan mobilnya lalu beralih menatap gadis itu dengan tatapan horor, "Nggak takut jahitannya lepas?"

"Kalau lepas tinggal di jahit lagi Sa,"

Aksara menarik napas dalam, segera memijat pangkal hidungnya yang berdenyut nyeri. Nathalie benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling!

"Ayo katanya mau ke rumahmu. Kok malah berhenti?"

Aksara sedikit mendongak, dahinya berkerut, "Kita ke rumah sakit lagi aja,"

Nathalie kini melotot horor, muak dengan rumah sakit dan segala antek anteknya, "Jangan berani berani bawa aku ke sana lagi,"

"Jahitanmu belum kering sepenuhnya Nath. Dan kamu udah main sana sini. Gimana kalo kamu sakit lagi coba?" cerocos pemuda itu. Masih dengan kerutan kesal yang nampak jelas di wajahnya.

Nathalie terkekeh, "Enggak tenang. Seharusnya hari ini aku pulang kok. Nggak papa nggak usah khawatir. Dimana aku masih nggak banyak gerak,"

"Astaga," gumam Aksara, benar-benar merasa frustasi dengan tingkah Nathalie, "Aku telfonin mamamu ya. Biar kuanter pulang aja,"

"Mama kan nggak di rumah Sa. Tadi aku juga udah ijin sama mama mau main ke rumahmu. Sama mama di bolehin juga kok,"

Aksara tampak menggulung bibirnya, berpikir keras, "Kamu yakin kamu nggak papa?"

"Iya tenang selama aku nggak banyak gerak sih nggak masalah,"

"Em oke kita ke rumahku,"

"Di rumahmu ada siapa aja?" tanya Nathalie ketika mobil abah yang di kemudikan Aksara kembali melaju dengan mulus di jalanan.

"Cuma abah ibuk sama mas," jawab pemuda itu tanpa menoleh, "Kenapa?"

"Malu," cicit sang gadis.

Aksara terkekeh gemas, "Ngapain malu? Orang pake baju itu kok,"

"Ya tapi tetep aja malu,"

"Nggak ada alesan buat kamu malu Nath. Udah cantik itu,"

"Ish apaan,"

***

Aksara mendorong kursi roda Nathalie memasuki rumahnya yang bahkan di lihat dari pekarangannya saja tampak ramai. Sepertinya kakak-kakaknya sudah kembali dan itu bukanlah berita bagus.

"Aksa pulang,"

"Eh Aksa sama siapa itu," ibuk tersenyum menyambut kedatangan keduanya, "Aduh geulis pisan,"

Nathalie meringis malu, "Makasih tante, aku Nathalie,"

"Oalah ini yang namanya Nathalie. Cantik banget ya pantesan Sarah suka,"

Mendengar namanya di bawa-bawa, Aksara melotot horor menatap ibuk kesal.

Ibuk terkekeh, beliau mengambil alih kursi roda Nathalie dan membawa gadis itu menuju meja makan, "Ikut makan siang ya nduk. Kebetulan temen temennya kakaknya Sarah juga lagi main,"

"Eh iya tante," balas gadis itu lengkap dengan ringisan canggungnya.

"Panggil ibuk aja nduk. Aneh banget kalo di panggil tante. Orang desa ini, nggak cocok kalo di panggil tante segala,"

"Eh iya buk,"

Aksara hanya mengamati interaksi dua wanita itu dalam diam. Langkahnya mengikuti langkah sang ibu memasuki ruang tamu yang ramai. Tidak hanya ada saudara-saudaranya di sana, beberapa perempuan yang cukup asing bagi Aksara turut hadir dalam makan siang kali ini.

"Waduh Aksa juga bawa gandengan nih," seru Mas Abim jahil.

Aksara melengos tidak peduli, memilih mendudukkan diri tepat di samping Nathalie.

"Sopo kui?" tanya abah ramah. [siapa itu?]

Nathalie hendak berdiri untuk menyapa namun Aksara terlebih dahulu menahannya, "Jangan kebanyakan gerak," ujarnya tak terbantah.

Nathalie meringis lalu tersenyum manis, "Nathalie om,"

"Waduh ayune. Kok mau sama Aksa?" [cantiknya]

"Aksa kan pake pelet," sahut Mas Yudhis.

Si bungsu merengut tidak suka, "Loh Mas Yudhis itu kali pake pelet ke Dek Mia,"

"Teh Mia Sa," sang kakak sulung mengoreksi.

"Yaudah itu," Aksara memutar bola matanya malas, "Kenapa Teh Mia mau sama Mas Yudhis?"

"Nggak tau kepincutnya sama dia," seorang gadis berusia sembilan belasan menyahut, senyumnya merekah begitu manis dalam wajahnya yang tampak kalem, "Mau gimana lagi,"

"Kadang cinta itu buta ya," sahut Mas Abim sembari menggelengkan kepala.

Arjuna menoleh dengan wajah sengitnya, "Nggak ngaca. Manda itu juga pasti kena cinta itu buta. Bisa bisanya suka sama titisan sangkuriang kaya lo,"

"Yang penting gue bawa gandengan. Lah lo? Jomblo nyengir doang," balas Abimanyu tak mau kalah.

"Udah udah nggak malu sama tamu itu?" tegur abah yang di buat geleng geleng kepala akan tingkah ketiga putranya.

Mas Abim dan Arjuna sontak bungkam. Lebih memilih melanjutkan makan siang mereka yang tertunda.

"Nathalie yang habis operasi itu ya?" tanya abah.

Nathalie menoleh lalu mengangguk kecil, "Iya om,"

"Panggil abah aja," abah tersenyum simpul, "Sarah kemaren sampe nangis waktu tau kamu kritis lho,"

"Abahhh," si bungsu merengek, wajahnya kontan memerah karena malu.

Ayah tiga anak itu terkekeh kecil, "Kalo Sarah nakal sama kamu pukul aja. Kalo nggak sekalian aduin ke abah ya nduk. Kalo di diemin ngelunjak dia. Emang dasarnya ndablek," [bandel]

"Iya abah. Aksa baik kok sama Nathalie, dia yang bawa Nathalie ke rumahsakit waktu sakitnya kambuh,"

"Sesama manusia itu memang harus tolong menolong nduk," ibuk tersenyum, "Itu kewajiban. Hidup itu selain untuk beribadah, kita juga harus memberi kesan pada orang lain. Biar sewaktu waktu kita pergi, orang lain pasti punya kesan yang baik pada kita,"

Gadis itu mengangguk mengerti, menyatat wejangan ibuk siang itu di otaknya.

"Temen kalian itu, Agam. Dia pasti punya kesan yang baik buat orang orang di sekitarnya. Dan pasti, ingatan kita tentang Agam merujuk pada kebaikan yang selalu dia lakukan semasa hidup. Dan kita juga harus melakukan balas budi. Doakan dia, bacakan tahlil untuknya. Bacanya seayat dua ayat untuk Agam," abah menambahkan.

Nathalie masih mengangguk angguk. Mendengarkan, meresapi, dan mengambil kesimpulan dalam kalimat abah. Sekarang ia tau kenapa Aksara begitu terlihat dewasa dalam usianya saat ini.

Keluarga Adyatma begitu luar biasa. Dengan Abah dan Ibuk sebagai patokan di dalamnya. Mereka yang memberikan nilai nilai kehidupan kepada putra putranya. Pantas saja, terlihat dari luar pun dapat di simpulkan bila rumah ini begitu hangat dan harmonis.

Tidak ada ungkapan cinta memang, tapi walaupun demikian Nathalie dapat menyimpulkan ada rasa sayang yang begitu besar dalam keluarga ini. Membentuk ikatan kuat yang tidak hanya berupa ikatan darah dan gen yang menyatu dalam tubuh. Tapi sebuah ikatan persaudaraan dan kekeluargaan. Ikatan tak kasat mata yang kuatnya mengalahkan besi maupun baja. Ikatan yang berpendar dalam kedewasaan dan sikap saling menghargai.

Seandainya saja rumahnya sehangat ini, Nathalie tidak akan lagi menangis setiap malam merindukan ayahnya. Mamanya juga tidak akan kelimpungan mencari nafkah untuknya. Namun Nathalie tau satu hal, ia harus tetap bersyukur. Tuhan masih begitu baik dengan memberinya satu kesempatan lagi untuk hidup. Terlalu tamak untuknya jika meminta lebih pada tuhan.