Pagi ini Aksara bangun pukul 4, tidak sengaja karena biasanya ia tidak akan bangun sebelum di bangunkan alias kebo.
Tapi karena rasa lapar yang tak tertahankan, si bungsu Adyatma itu terpaksa bangun lalu segera menuju ruang makan.
Tidak ada apa apa di bawah tudung saji.
Pemuda itu mencebik kesal, cacing di perutnya benar-benar berdemo meminta untuk di beri makan. Tapi tidak ada yang bisa ia makan sekarang.
Ia lantas mendudukkan diri di sofa ruang tengah, dengan wajahnya yang masam Aksara termenung—mencari jalan keluar atas masalah besar yang menimpanya.
Jika tidak salah abah pernah berkata beberapa waktu yang lalu—jika lapar makan, jika mengantuk tidur, jika lelah istirahat. Lakukan apa yang Aksa inginkan namun ingat, jangan pernah menyesal atas apa yang ia lakukan. Abah dan ibuk hanya akan membimbing, mengarahkan Aksara jika ia mengambil jalan yang salah lalu kembali meluruskan jalannya. Intinya, abah dan ibuk selalu mendukung apapun keputusan Aksara selama keputusannya tidak menyimpang.
"Jadi kesimpulannya kalo laper gue kudu makan," gumam Aksara, "Tapi nggak ada makanan,"
Pemuda itu kembali berpikir keras. Perutnya bergemuruh keras sukses membuat konsentrasinya terpecah belah, "Sesuatu itu ada karena di ciptakan. Makanan juga ada karena di ciptakan. Proses menciptakan makanan itu di sebut memasak. Jadi gue harus masak buat bisa dapet makanan sebelum akhirnya nanti bisa makan," gumamnya, "Oke gue harus masak sekarang," ia berseru optimis, segera melesat kembali ke dapur.
Aksara membuka pintu kulkas dan menemukan beberapa jenis sayuran dari dalam sana.
"Nggak suka sayur," ia berujar sembari menggeleng cepat.
Matanya kembali memindai hingga tak lama kemudian menemukan beberapa potong daging ayam dari dalam freezer. Aksara berbinar, memekik senang seolah mendapat lotre berhadiah uang ratusan juta, "Enak nih kalo bikin ayam goreng,"
"Tapi nggak ada nasi," ujarnya.
"Mau apa Rah?" suara serak Mas Abim menyapa indra pendengaran sang adik.
Anak itu berbalik, "Laper, dari semalem belum makan. Cuma nyemil doang,"
"Itu di lemari ada indomie kok. Masak aja bisa kan?" Aksara mengangguk senang untuk menjawab, "Habis itu sholat, tidur lagi nggak papa. Baru tidur jam 2 kan lo? Nanti jam setengah tujuh gue bangunin,"
Lagi-lagi Aksara mengangguk, "Iya,"
"Barang ke sekolah di siapin dulu,"
"Iya mas astaga," kesalnya.
"Oke, gue mau ngerjain makalah dulu. Kalo nggak bisa bilang biar gue yang masakin aja," ucap Mas Abim.
Aksara mencebik, "Masak indomie doang mah gampang," serunya, "Udah sana kerjain makalahnya. Nggak usah khawatir, bisa ini gua. Udah gede adek lo ini,"
"Yaudah," balas sang kakak sebelum berlalu.
Putra bungsu abah dan ibuk itu tersenyum senang, segera mengeluarkan beberapa potong ayam beku dari dalam kulkas. Lalu tanpa banyak bicara mengeluarkan dua bungkus mi instan kuah kesukaannya dari dalam lemari, "Eh ada telur nggak ya? Enak banget nih kalo di tambahin telur," ujarnya pada diri sendiri.
Aksara kembali membuka kulkas, mengambil dua butir telur lalu tersenyum lebar, "Kalo gini kenyang gue pasti," pemuda itu kemudian meletakkan wajan diatas kompor lalu berpikir sebentar, "Minyaknya di mana ya?" tanyanya sembari menggulirkan mata di sekeliling ruangan, lalu menemukan minyak kemasan 500 mililiter di rak piring. Segera Aksara meraihnya, menuangkan semuanya jingga tandas tak terkecuali.
"Kata ibuk ingidupin kompor di puter ke kanan atau ke kiri ya?" lagi-lagi Aksara bertanya pada diri sendiri, menerawang untuk mengingat-ingat perkataan ibuk tempo hari, "Kiri kah? Tapi karena kata abah dahulukan menggunakan tangan kanan untuk melakukan hal baik. Jadi puter ke kanan aja lah," Aksara tersenyum senang, tapi sepersekian detik kemudian senyumnya luntur berganti dengan decakan kesal dan wajahnya berubah masam, "Kok nggak bisa, masa kekiri,"
"Loh Aksa?"
Aksara lagi-lagi harus berbalik, "Oh Mas Yudh udah bangun?" tanyanya basa-basi.
Mas Yudha memutar bola matanya, "Ya kamu lihatnya aja gimana?" balasnya. Si sulung menguap lebar, ia berjalan terseok-seok seperti zombie untuk mendekati adiknya, "Lagi ngapain"
"Mau masak. Tolong hidupin kompornya dong mas,"
Mas Yudhis menurut, segera melakukan apa yang di pinta oleh sang adik, "Mas mau ngerevisi skripsi dulu. Kalo nggak bisa panggil Mas aja ya,"
Aksara mendengus, "Bisa kok. Udah sana mas revisi aja," suruhnya lalu mendorong tubuh Mas Yudhis untuk menjauh. Sang kakak hanya mengangguk-angguk, berjalan gontai keluar dari dapur yang sebenarnya adalah area teritorial milik ibuk.
Sepeninggal sang kakak, Aksara kembali memberikan eksistensi penuh pada wajan di hadapannya lalu tanpa ragu segera menjatuhkan beberapa potong daging ayam beku—yang ia yakini di beli ibuk kemarin di pasar—ke dalam minyak panas.
Sembari menunggu ayamnya matang, Aksara mengambil panci kesayangan ibuk lalu mengisinya dengan air hingga setengah penuh, ia lalu meletakkan benda itu diatas kompor, "Yah tadi nggak ngeliatin Mas Yudh gimana ngidupinnya," gumamnya sedih, "Yaudah nunggu mateng dulu ayamnya,"
"Tapi tadi belum kasih gue bumbu kan ya," Aksara menggigit bibir bawahnya bingung, "Apa langsung gue masukin garemnya aja ya kaya waktu ibuk masak nasi goreng,"
Tanpa pikir panjang anak itu kembali mengangguki ucapannya sendiri. Meraih sebuah toples berisi garam dapur dari lemari, lalu—dengan menggunakan sendok sayur—memasukkannya langsung ke dalam minyak panas yang berisi beberapa potong ayam.
Aksara berbalik untuk mengembalikan toples garam ke tempatnya semula, namun saat kembali berbalik anak itu di buat memekik karena wajan yang ia gunakan untuk menggoreng ayam beberapa saat yang lalu seakan meledak sehingga minyak di dalamnya menyiprat dan berceceran di sepanjang kompor hingga lantai dapur.
"Ada apa?" Mas Yudhis berlari tunggang langgang untuk mendekati Aksa diikuti Mas Abim di belakangnya.
Kurang dari sepuluh detik Arjuna menyusul dengan wajahnya yang beler khas bangun tidur.
"Wajannya meledak," seru Aksara panik, segera melindungi diri di balik tubuh tegap sang kakak sulung.
"Kamu katanya mau masak mie ngapain pake wajan?" tanya Mas Abim bingung, sedikit melangkah mundur untuk memberi jarak aman pada wajan milik ibuk yang meletup-letup.
"Aku mau goreng ayam tadi. Tapi kok meledak-ledak minyaknya,"
Mas Yudha menoleh, matanya memincing untuk menatap Aksara yang masih berada di belakang punggungnya, "Kamu masak dulu nggak ayamnya?"
"Iya itu lagi di masak. Ku ambil dari kulkas kan masih beku terus ku goreng,"
"Gendeng," Arjuna mendengus kesal. [Bodoh]
"Terus kamu bumbuin?" Mas Abim bertanya asal.
"Iyalah, tadi waktu masih di goreng ku masukin garem," jawab Aksara sombong.
Mas Yudhis menarik napas panjang, "Pantesan meletup gitu," gumamnya. Dengan santai berjalan mendekati kompor lalu mematikan apinya, tidak peduli dengan minyak yang masih meletup-letup dari dalam wajan, "Kita pesen gofood aja dari pada nanti dapurnya ibuk hancur,"
"Nyaho tuh Sarah," gerutu Juna, "Ganggu aja orang tidur," [tau tuh Sarah]