Chereads / Rache / Chapter 13 - Saudara

Chapter 13 - Saudara

Saudara itu bukan hanya tentang hubungan darah yang mengalir dalam satu manusia dengan manusia lain. Tapi juga hubungan batin yang terikat di dalamnya. Sebenarnya tidaklah rumit, namun orang beranggapan saudara hanya orang yang mempunyai hubungan darah dengan kita. Dan sesungguhnya itu salah besar.

Mas Abim paham betul apa definisi saudara yang selalu abah tekankan. Tapi emosi yang selalu sulit ia kendalikan kadang membuat pemuda itu melupakan segala wejangan di berikan abah dan melakukan larangan dalam peraturan tak tertulis dalam keluarga mereka, jangan bertengkar.

Anak kedua itu termenung, ia menyadari, sebagai seorang kakak seharusnya ia mampu mengarahkan adik-adiknya. Dan sebagai salah satu dari anak tengah, seharusnya ia menjadi penengah. Tidak justru menjadi objek yang di tengahi.

Arjuna adalah adiknya, adik yang paling dekat dengannya sekaligus adik yang paling sering bertengkar dengannya. Di samping sifat Arjuna yang memang sudah dari awalnya menyebalkan, ia adalah anak yang penurut, tidak suka macam-macam dan dia juga bisa mengerti posisinya, juga tau di mana ia harus meletakkan sesuatu.

Seharusnya, ia tidak lagi memukul adiknya, seharusnya ia tidak menyulut emosi adiknya. Seharusnya ia harus lebih bersabar dan menjelaskannya pelan-pelan. Tidak justru seperti ini. Umurnya sudah dua puluh satu, bukan lagi seorang remaja labil yang mudah tersulut emosi. Ia sudah dewasa sekarang.

Mas Abim menyesal, di tengah kegelapan malam ia mendongak, menatap langit-langit kamar. Di lantai yang dingin ia bergumam, "Maaf,"

Di sisi lain, Arjuna duduk terlentang di ranjang atas, matanya memejam erat.

Seharusnya ia tidak emosi tadi, sesalnya.

Napas berat ia hembuskan, matanya yang memejam masih enggan terbuka. Bayang bayang mengenai peristiwa beberapa saat yang lalu kembali terlintas.

Lagi-lagi masalah sepele.

Arjuna jadi teringat ucapan ibuk tempo hari, tepat setelah ia terakhir kali berkelahi dengan Mas Abim, "Kalian boleh berbeda pendapat. Itu wajar, tapi jangan sampai kejadian kaya gini terulang lagi. Kalian udah bukan anak kecil lagi, seharunya sudah bisa mengontrol emosi. Kalian itu panutan, apa kalian mau Sarah ikut-ikutan berantem kaya kalian berdua? Apa kalian mau adik kalian jadi berandal? Seorang kakak itu adalah panutan untuk adiknya. Seorang kakak itu harus menuntun adiknya ke jalan yang benar. Bagaimana mungkin nanti Sarah bakalan jadi anak baik-baik kalau kakak-kakaknya saja begini?"

Arjuna menyesal, secara tidak langsung ia memberi contoh yang tidak baik pada adiknya. Ia tidak mau, Aksara adik kebanggaannya menjadi sepertinya, mudah tersulut emosi dan sering berkelahi sana sini.

"Maaf, gue nggak bisa jadi panutan yang baik dan nggak bisa jadi adik yang baik,"

***

Aksara memasuki ruang tengah, di sana Mas Yudhis tengah merebahkan diri di sofa bed dengan ponsel di tangannya—sedang menelepon.

Si bungsu kemudian duduk di samping sang kakak, ia juga ikut membuka ponselnya. Beberapa pesan masuk dari Nathalie. Senyumnya otomatis mengembang lebar. Berseri-seri hanya karena beberapa butir pesan singkat.

Anak itu kemudian melirik sang kakak, "Lagi telfonan sama Dek Mia ya Mas?"

"Hush dia lebih tua sama kamu, panggil Teteh—eh iya dek adikku nih nanyain," balas Mas Yudhis.

Aksara tersenyum jahil, "Emang udah jadian Mas,"

"Udah dong. Emang kamu,"

"Ngeselin," ia mencebik, berpaling dari kakaknya lalu kembali berfokus pada benda kotak pipih kesayangannya. Segera membuka notifikasi dari aplikasi chatting—yang sering ia gunakan—untuk membuka pesan dari Nathalie.

.

.

NATHALIE

Aksa

Kamu sibuk nggak malam ini?

Mau telfonan? Aku boring nih

Mama lagi ada ketemu dama kliennya katanya

Aku mau ajak Angel sama Karin telfonan tapi katanya mereka lagi di cafe komet

.

.

Aksara tersenyum lebar. Kemajuan pesat, serunya dalam hati.

Biasanya, bertukar pesan saja tidak pernah. Namun hari ini sang pujaan hati mengirimkan pesan terlebih dahulu padanya dan mengajaknya untuk mengobrol lewat sambungan telepon. Jangan bayangkan bagaimana rasa bahagia membuncah dalam hati remaja tujuh belas tahun itu.

Tanpa pikir panjang Aksara segera membalas ya, bagaimana mungkin ia menolak permintaan gadis ayu pujaannya itu.

Hingga tak lama kemudian masuk panggilan telepon dari Nathalie. Pemuda itu bergegas menekan ikon hijau dalam ponselnya tanda ia menerima panggilan tersebut, "Halo Nath," sapanya.

"Halo Aksa," Nathalie balas menyapa, suaranya riang seperti biasa, "Kamu nggak sibuk kan?"

"Enggak kok, tadinya mau packing. Tapi ternyata Mas Abim udah packing-in bajuku tadi,"

"Loh kamu mau pergi? Kok packing segala. Mau liburan ya?"

Aksara menggeleng singkat, walaupun percuma saja, Nathalie tidak akan melihat gelengan itu, "Aku mau ke Jogja besok. Pakdheku mau nikahan,"

"Ya sama aja liburan dong,"

"Ke Jogja mah aku udah sering Nath. Udah bukan liburan lagi,"

Tawa renyah gadis itu terdengar, "Kamu berapa hari di sana?"

"Kurang tau sih. Tapi kayanya semingguan deh. Soalnya nikahannya masih 3 hari lagi,"

"Ohh gitu. Nggak sekolah dong ya berarti,"

"Ya kalo sekolah bisa pake sistem jarak jauh aku sih nggak papa. Tapi nanti nggak ketemu kamu," ujarnya jujur.

"Kenapa kalo nggak ketemu aku? Kangen ya?"

"Iya nanti kangen," jawab Aksara justru membuat wajahnya sendiri kontan memanas.

"Gombal gombal," sorak Mas Yudhis. Sang adik menoleh, menatap sengit sang kakak sebelum berjalan menjauh.

Nathalie kembali tertawa di seberang sana, "Kamu lagi sama kakakmu?"

"Iya nih. Mas Yudhis rese ah, padahal dia lagi telfonan sama cewenya,"

"Kak Yudhistira udah punya pacar?"

"Udah. Namanya Dek Mia, tapi aku suruh manggilnya teteh,"

"Ya iya dong kan dia lebih tua dari kamu Sa," ujar Nathalie, masih terdengar sisa tawa dalam ucapannya.

Aksara mencebik, "Tapi enakan aja gitu manggilnya Dek Mia dari pada Teh Mia,"

"Kalo aku enakan di panggil Natha apa Dek Natha?"

"Dek Natha?"

Dari ponsel Aksara terdengar pekikan ringan membuat sang empunya mengernyit bingung, "Kamu nggak papa kan Nath?"

"Jangan panggil aku kaya gitu lagi deh," jawabnya tanpa menghiraukan pertanyaan Aksara.

"Kenapa?"

"Berdamage hehe," pemuda itu kian mengernyitkan dahinya—bingung, "Apalagi kalo kamu yang manggil gitu,"

"Emang beda kalo aku yang manggil sama orang lain?"

"Ya beda pokoknya. Eh Sa, Kak Abimanyu hari ini nggak tampil ya?"

"Iya nih. Kan mau siap-siap, tapi tadi juga Mas Abim berantem sama Juna,"

"Berantem? Kenapa?"

"Masalah cewek. Kan Juna punya pacar tuh tapi Mas Abim nggak suka sama ceweknya. Nggak setuju gitu intinya kalo Juna pacaran sama cewek itu,"

"Kenapa Kak Abimanyu nggak setuju?"

"Nggak tau juga, tapi pasti ada alesannya sendiri,"

"Iyalah. Pasti ada alesannya sendiri. Eh Sa kamu ikut kelas tambahan nggak sih? Kok aku nggak pernah lihat kamu masuk kelas apapun,"

Aksara terkekeh, "Enggak ikut. Males banget tau. Kalo kamu?"

"Aku ikut dong dari kelas sepuluh juga,"

"Oh ya? Kamu ikut kelas apa emang?"

"Kelas bahasa Jawa hehe,"

"Eh. Kamu bisa bahasa Jawa dong?"

"Bisalah. Lumayan bisa diajak ngobrol pake bahasa Jawa,"

"Keren dong. Abahku tuh orang Jogja, makanya aku lancar bahasa jawanya,"

"Iya, tadi aku dengerin kamu ngobrol sama Kakak-kakakmu tadi,"

"Kamu ngerti artinya?"

"Ngerti dong. Kosa kataku udah lumayan banyak loh. Termasuk yang tadi di bilang Kak Yudhis, Dek Nathalie Sarah tresno marang sliramu,"

Ucapan Nathalie kontan membuat Aksara terbelalak kaget. Wajahnya memerah sempurna. Lidahnya seketika kelu dengan jantung berdetak amat cepat. Persis seperti maling yang tertangkap basah.

"Halo Sa? Aksa?"

"E—eh iya,"

"Kok diem sih. Aku salah ngomong ya?"

"E—enggak kok e—enggak. Eh Mas Abim manggil tuh, ku tutup ya telfonnya Nath. Semoga cepat sembuh, jangan telat minum obat lagi,"

"Iya Aksa makasih,"