Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Pistol yang menempel tepat dipelipisku membuatku tak bisa berkutik sedikitpun. Tubuhku merinding gemetar ketakutan bukan main. Namun entah apa yang kupikirkan, aku terdiam kala netra hitam kelam itu menatapku dingin tanpa ekspresi berarti.
Mataku terpaku menatap sosok pria tampan yang menodongkan pistolnya padaku. Berbagai mata memandang kami dengan pandangan ketakutan. Namun tak ada satupun orang yang berani menghentikannya. Diam-diam aku memaki kencang dalam hati. Siapa pria ini? Kenapa datang-datang langsung menodongkan pistol pada anak umur 2 tahun? Dan bagaimana bisa semua orang hanya menontonku ditodongkan pistol oleh pria ini?!!
Tanganku diam-diam meremas boneka yang kupeluk. Keringat dingin mengalir derasnya dibalik dress rumah yang kupakai. Aku menggigit bibir kuat sebelum bersuara dengan polosnya.
"Siapa?"
Semua orang berjengit tekejut tak terkecuali pria yang berdiri menjulang dihadapanku kini.
Aku menggigit bibir cemas dengan reaksi yang akan dikeluarkan pria itu. Bagaimana kalau dia menarik pelatuknya? Apa aku akan mati lagi?
"Nama."
Terkejut kecil. Aku mengernyit tak mengerti ucapannya."Apa?"
"Nama."
"Ha?"
Pria itu berdecak membuatku panik. Apa aku membuatnya kesal? Tapi sungguh, aku tak mengerti ucapannya.
Aku refleks menghela napas lega sambil mengelus dada kala pria itu menyimpan kembali pistolnya. Namun mataku langsung melotot tak percaya saat dia berjongkok dihadapanku untuk menyamakan pandanganku.
"Namamu siapa, bodoh."
"Cassandra." Aku mencicit pelan, lalu menarik bibir melengkungkan senyuman manis andalanku. "Nama aku Cassandra, om."
Pria itu lagi-lagi berjengit kaget membuatku bingung. Apa salah aku memanggilnya 'om'?
"Papah."
"Ha?" Aku meringis dalam hati. Kenapa sih pria ini selalu mengucapkan satu kata? Apa dia pikir anak sekecilku akan mengerti ucapannya itu?
"Papah."
Aku mengernyit sebelum berkata tak yakin. "I-iya. Papah." Aku tak mengerti apa yang terjadi kala senyum puas terbit diwajah tampannya. "Aku gak pernah bertemu papahku, om."
Tubuhku kembali merinding saat netra hitam itu kembali menatapku tajam. Aku tak mengerti apa yang membuatnya terlihat marah. Tapi satu yang ku ketahui, ada yang salah dengan ucapanku barusan.
"Papah." Aku terdiam kaku tak berani mengeluarkan suara yang makin membuatnya kesal. "Panggil aku papah. Aku papahmu."ujarnya pelan membuat tubuhku seketika menegang terkejut.
Aku mengedipkan mataku, lalu ku korek telingaku spontan. Apa aku salah dengar? Ah, mungkin saja aku salah dengar. Suara bisikan tadi tidak mungkin keluar dari pria tadi kan?
"Panggil aku papah."tegasnya lagi saat aku tak kunjung merespon ucapannya.
Bibirku terasa kelu. Apa ini nyata? Pria yang tadi menodongkan pistol kearahku adalah papahku? Papah kandungku? Seriusan? Wah, pasti takdir sedang mempermainkanku saat ini. bisa-bisanya pshycopath macam orang ini menjadi papahku?
"Om papahku?"
Aku menipiskan bibirnya saat pria itu mengangguk pasti.
"Papah kandungku?"tanya ku lagi yang diangguki langsung olehnya.
Aku terdiam cukup lama hanya menatap wajah datarnya. Pikiranku berkecamuk. Apa-apaan yang sebenarnya terjadi ini?! Seakan belum cukup membuatku terjebak dalam tubuh mungil ini, dan sekarang setelah 2 tahun aku sudah terbiasa sendirian, papahku datang sambil menodongkan pistolnya kearahku?! Apa ini lelucon?
"Om katanya adalah papahku..."gumamku pelan. "Tapi kenapa om ingin membunuhku?"tanyaku spontan tak memedulikan tubuhya yang menegang. Sejujurnya melontarkan pertanyaan ini siapapun pasti mengira aku bodoh.
Pria mengambil tanganku dan dilihatnya pergelangan tanganku yang tenggelam dipegang tangan besarnya. Berusaha meminta pertolongan melalui tatapanku pada orang disekeliling, hasil yang kudapatkan hanyalah gelengen orang ketakutan. Ada apa ini? dilihat dari ketakutan orang-orang, apa mungkin pria ini akan mematahkan pergelangan tanganku?
"Hanya ingin."
"Iya?"
"Aku hanya ingin membunuhmu."
Mengabaikan rasa dingin di punggungku, aku nekat bersuara kembali. "Kenapa ingin membunuhku?"
Pria itu menghela napas sebelum maniknya menatapku lekat. Aku tak mengalihkan pandanganku sedikitpun dari mata kelamnya. Selama beberapa menit kita hanya saling memandang sebelum pria itu menyunggingkan senyum sinisnya.
"Aku benci anak-anak."
"Kenapa benci anak-anak?"
"Kamu akan terus mengintrogasiku seperti ini?"
Aku spontan menipiskan bibirku ngeri. Sial, aku kebanyakan tanya karena ketakutan. "Maaf."
Aku hanya terdiam saat pria itu lagi dan lagi menghela napas lelah. Dalam hati aku berpikir. Apa sebegitu melelahkannya kah berbicara denganku? Bibirku mengerucut kecil entah untuk alasan apa.
"Mereka berisik." Aku terdiam dengan wajah melongo. Tak mengerti apa maksud ucapannya. "Aku benci anak-anak karena mereka berisik."
Menganggukkan kepalaku dengan senyum puas saat mendapatkan jawabannya. Namun sesaat kemudian aku merasakan kejanggalan. Anak-anak? Apakah aku termasuk? Ah, aku lupa. Karena hal itu bukan tadi ia ingin membunuhku.
Aku terdiam tak memberikan jawaban lagi. Mataku menatapnya polos. Berusaha menyembunyikan ketakutan yang tengah mati-matian kusembunyikan.
"Kau sangat kecil dan lemah." Aku menatap nanar tanganku yang diputar-putar seenak jidatnya. Bibirnya yang tersungging senyum aneh membuat bulu kudukku berdiri seketika. "Seperti anak tikus yang hampir mati."