Dira duduk di sebuah Restoran menunggu kliennya datang. Sambil menunggu, Dira memainkan ponselnya dengan bosan, terlihat Rey bersama Mala masuk kedalam restoran, untung saja Dira memesan tempat duduk paling ujung menghadap taman, jadi tidak terlalu terganggu dengan kehadiran mereka.
"Aku tidak suka dengan sikapmu hari ini Mala, aku tahu ibuku keras dan aku juga menyadari ibuku menyebalkan, tapi lebih baik kamu diam saja daripada memperkeruh suasana," terdengar suara Rey memperingatkan Mala,
"Aku bukan seperti Dira yang lemah," jawab Mala, walaupun beda dua meja dari tempat Dira duduk, Dira masih bisa mendengar percakapan mereka.
"Mala...jangan bawa Dira di situasi kita!" suara Rey datar,
"Terus saat kamu mencapai puncak ketika bercinta boleh membawa nama Dira? Menyebalkan..." bibir Mala mengerucut terlihat semakin kesal, Dira yang mndengarnya shock, sekaligus malu kenapa mereka bertengkar saat makan bahkan yang di bahas masalah rumah tangga segala.
"Bu selamat siang..." Seorang pemuda melemparkan senyumannya kepada Dira sekaligus membuyarkan Dira yang tengah menguping pembicaraan Rey dan Mala, Dira membalas senyumannya lalu berdiri mengulurkan tangannya,
"Anindira..." Dira mengenalkan diri,
"Dwi Anggoro, maaf saya sendiri..." wajahnya terlihat kikuk di hadapan Dira,
"Tidak apa..." Dira tersenyum,
"Mau pesan minum apa?" Dira bertanya kepada Dwi,
"Caffe latte saja," jawab Dwi.
Dira langsung memanggil waitress dan memesan minuman untuk Dwi, setelah itu Dira fokus dengan pekerjaan, Dwi begitu terpana melihat cara kerja Dira dan langsung menarik minatnya,
"Sepakat, saya akan menjadi rekan bisnis perusahaan anda," Dwi mengulurkan tangannya, Dira menyambutnya lalu tersenyum,
"Cara kerja anda bagus, pasti perusahaan anda sangat bangga pada anda," Dwi tidak segan- segan memuji Dira.
Dira menunduk, "Bapak bisa saja, saya hanya bekerja secara profesional pak," jawab Dira lalu tersenyum.
"Panggil Dwi saja, pekerjaan sudah selesai, kita sambung makan siang," Dira tersenyum dan setuju, setelah memesan keduanya makan dengan tenang dan di belakang Dira Rey dan Mala ternyata masih ada dan mulai bertengkar kembali,
"Ini kenapa di ponselmu masih ada foto Dira?" Mala wajahnya merah padam tidak sengaja melihat foto Dira di geleri ponsel Rey ketika keduanya hendak melihat hasil foto mereka berdua,
"Lupa belum kehapus," jawab Rey,
"Bilang saja masih cinta!" kata Mala membuat amarah Rey memuncak,
"Ya aku masih mencintai Anindira Maheswari, kenapa? Salah?" jawab Rey keras, beberapa orang di sekitarnya hampir semua mendengar kata - kata Rey, termasuk Dira. Dira yang sedang makan sampai tersendak. Dwi segera membantu Dira dan memberikan minum untuknya.
Setelah makanan tertelan Dira menunduk merasa malu dengan kebodohannya,
"Dira itu siapa?" Dwi menyelidik, Dira menggaruk kepalanya yang tidak gatal,
"Mantan suami," Dwi seketika diam,
"Maaf," Dwi menjadi tidak enak telah menanyakan hal pribadi Dira.
Dira kembali tersenyum, "Tidak apa," kata Dira pelan.
Keduanya menyelesaikan makan siang dengan diam sampai akhirnya keduanya keluar dari restoran dan bertemu Rey dan Mala di tempat parkiran.
"Ituh wanita yang kamu cintai, panjang umur dia," Mala menatap Dira sinis, sebenarnya Dira ingin menghindari mereka, namun apa daya mobil Dira parkir pas di samping mobil Rey.
"Sudah jangan libatkan dia dalam situasi kita!" Rey melotot ke arah Mala,
"Bagaimana bisa tidak melibatkan dia karena semua gara- gara dia," teriak Mala sambil melempar batu kearah Dira secara tiba- tiba dan bukkk... Kening Dira menjadi sasaran empuk Mala, seketika berdarah mengalir banyak dari kening Dira,
"Mala kamu apakan Dira???" Rey berteriak dan hendak menolong Dira namun Dwi yang melihat tidak jauh dari tempat kejadian dengan cepat menolong Dira, Dira langsung lemas tidak sadarkan diri di pelukan Dwi.
Dwi dengan cepat membawa Dira ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
Dokter segera menanganinya dan menjahit kening Dira. Dwi yang sedang menunggu Dira mendengar ponsel Dira entah yang keberapa kali berbunyi, Dwi terpaksa mengambilnya dari dalam saku tas Dira, lalu mengangkatnya.
"Beb, kamu dimana? Kenapa belum kembali kekantor?" Suara Kin sangat khawatir, lalu Dwi menjawab, "Maaf saya klien bu Dira, setelah kami bertemu, bu Dira mendapatkan musibah, saya bawa ke rumah sakit,"
"Terimakasih banyak telah menolong Dira, minta tolong sharelok!" Kin hampir menangis mendengar Dira tidak baik - baik saja,
"Baik pak," jawab Dwi. Dwi langsung mengirim lokasi rumah sakit dimana Dira di tangani.
Tidak lama Kin sampai diantar oleh Reno karena Kin tidak bisa mengendarai kendaraannya diakibatkan panik dan gemetar.
Dwi berdiri di depan ruang UGD sambil menentang tas Dira, Kin mengenal tas Dira dan mendekat lalu bertanya, " Yang menolong Dira?" Dwi mengangguk,
"Saya Kin, terimakasih telah menolong Dira," Dwi tersenyum ramah, lalu menceritakan kejadiannya dari awal hingga Dira terluka,
"Saya akan menuntut wanita itu," suara Kin datar, lalu segera memerintahkan anak buahnya untuk meminta rekaman CCTV kejadian itu dari awal dan menanyakan kepada saksi mata secara langsung.
Dokter keluar setelah melakukan tindakan, "Pasien baru siuman, mau langsung di bawa pulang?" Dokter menatap Kin dan Dwi,
"Dibawa ke ruang rawat inap saja Dok, saya takut kenapa- kenapa dan saya mau di periksa lebih lanjut," jawab Kin,
"Baik kalau begitu," Dokter memerintahkan suster untuk membawa Dira ke ruang rawat inap, Dira keluar menggunakan kursi roda dengan wajah pucat, Kin dan Dwi mengikuti sampai ke ruang rawatnya,
Dira terbaring lemah dengan bekas darah yang tertinggal di bajunya lumayan banyak. Kin langsung memeluk Dira tanpa peduli masih ada suster dan juga Dwi,
"Masih pusing?" Dira menggeleng, namun wajahnya tidak bisa membohongi Kin. Kin membuka blazer Dira yang penuh darah, menyisakan tanktopnya saja, Kin langsung menutup tubuh Dira dengan selimut, Kin sadar Dwi menatap Dira tidak berkedip.
"Aku mau pulang Kin..." Kin menggelengkan kepalanya membuat Dira kesal dan cemberut,
"Kamu jatuh waktu di kantor saja membuatku takut, apa lagi ini..." Kin terlihat sangat khawatir.
"Kamu berlebihan Kin, aku sering luka begini tidak apa- apa," Dira menenangkan Kin,
"Kata dokter lumayan parah, batunya tajam beb," Dira menarik nafas dan diam.
Dwi yang mendengar percakapan mereka berdua tersenyum dan sedikit iri dengan interaksi keduanya, lalu berdiri dan mendekat,
"Dira, aku pamit ini tas kamu maaf tadi aku membukanya karena ponselmu terus berbunyi," Kin yang menerimanya,
"Terimakasih telah menolong Dira tepat waktu, terimakasih banyak," Kin terlihat sungguh- sungguh,
"Sama- sama," Dwi menepuk bahu Kin lalu keluar dari ruangan.
Kin mengambil handuk kecil dan mengisi wadah kecil dengan air hangat kemudian duduk di dekat Dira, meyeka wajah Dira yang masih ada noda darahnya.
Pintu ruangan ada yang mengetuk, Kin segera membuka pintunya, terlihat Maya, Rey dan Mala datang, Kin terlihat muram tak ada senyum di wajahnya, tapi tetap membiarkan mereka masuk.
Maya mendekati Dira dan duduk di dekat Dira, "Maaf sayang, lagi- lagi keluarga mama melukaimu, Mala akan mengikuti proses hukum jika perlu," Maya menatap Dira yang lesu,
"Tidak usah Mam, aku sudah memaafkannya, tapi perlu mama tahu aku tidak pernah mengusiknya, setelah perjanjian itu aku tidak lagi berhubungan dengan Rey..." Dira matanya sedikit berkaca, betapapun kuatnya dia, Dira tetap merasakan sakit, sakit karena tahu hati Rey masih menyimpan perasaan untuknya, sakit karena Rey belum sepenuhnya melupakannya.
Rey memandang Dira dalam, melihat tadi darah yang keluar banyak dari pelipis Dira, membuatnya ingin membunuh Mala,
"Kamu sudah membaik?" tanya Rey gemetar, Dira hanya mengangguk,
Reno datang membawakan baju ganti untuk Dira dan Kin, Kin menerimanya dan berbincang sedikit mengenai pekerjaannya. Setelah itu masuk dan meletakan tas di meja dekat Dira.
"Kita pulang saja Kin," rengek Dira, Kin menggelengkan kepalanya,
"Tunggu sampai besok pagi, kalau tidak ada keluhan lain, baru kita pulang," Jawab Kin, Dira cemberut. Kin mengusap rambut Dira lembut.
"Kin sangat mencintaimu," kata Maya sambil tersenyum,
"Berlebihan mam," jawab Dira.
"Semoga kalian tetap bersama," Maya bukannya marah karena bukan Ezza yang di dekat Dira tapi, entah mengapa Maya tetap merasa senang.
Kin memotong buah dan memberikannya kepada Dira, tidak lupa terlebih dahulu megelap tangan Dira dengan tisu basah.
Maya tersenyum kembali melihat perlakuan Kin pada Dira, sementara Rey yang melihatnya menjadi panas, lalu Mala panas melihat tatapan Rey yang tidak berkedip memandang Dira.