Chereads / Senja Kian Memudar / Chapter 6 - Episode 6

Chapter 6 - Episode 6

Terlihat sekali wajah kesal Adi saat tahu ada perempuan cantik di sini. Sepertinya, Adi, sangat enggak nyaman dengan kehadiran dia yang entah bernama siapa. Yang jelas wajahnya sedikit mirip dengan tante Adel. Apa mungkin dia anaknya beliau?

"Kamu pasti karyawan baru di sini ya?" tebaknya lalu mengulurkan tangan.

"Betul sekali, Kak. Saya, Layinah, karyawan baru di sini." jawabku sopan.

"Ternyata kamu lebih cantik asli daripada fotonya ya?" pujinya sambil tersenyum manis.

"Boleh tuh Kak, nanti saya juga lihat fotonya." nimbrung Adi yang masih setia mendengarkan pembicaraan kami.

"Saya, Anisa, anak keduanya mamah Adel." Anisa melirik Adi sinis. "dan yang sedang berdiri di sana itu, anak pertamanya mamah Adel, namanya Bang Adi."

Waw! Sungguh kebetulan yang sangat bagus, kenapa Gita enggak pernah cerita kalau anak-anaknya tante Adel dipekerjakan dibutik ini? Gue kan jadi sungkan banget, mana tadi gue bicara sama Adi sedikit sini, kalau sampai dilaporkan sama tante Adel, gue bisa langsung dipecat dari sini.

"Jangan berpikiran berat dulu, Lay. Abang gue ini enggak punya kekuasan apa-apa sebab mamah memperlakukan kami sama dengan semua karyawannya." Anisa seperti tahu apa yang gue khawatiran setelah bicara sama Adi.

"Ouh iya, Kak Anisa." Ucapku tersenyum kikuk.

Tunggu sebentar! Ada yang ganjal di sini, katanya mereka berdua anak-anaknya tante Adel, tetapi kenapa kunci enggak dititipkan sama mereka berdua ya? Pasti nih gue ditipu sama mereka berdua.

"Kita di sini nunggu kak Ema ya, Kak?" tanyaku bingung harus mengobrolkan apa.

"Betul sekali, Lay. Mamah enggak percaya sama kita berdua, jadilah kuncinya dibawa sama bu Ema." jawab Anisa.

"Bu? Tadi kata Pak Adi, bilangnya 'Kak' bukan 'Bu'. Ini yang benar mana ya Kak?" tanyaku sambil menggaruk pipi yang habis terkena gigitan nyamuk.

Baru juga sehari kerja di sini sudah dibuat bingung sama dua manusia yang berbeda gender. Satunya bilang begini dan satunya bilang begitu, lalu siapa yang harus gue percaya?

"Kamu percayanya sama saya saja, kalau sama Abang suka menyesatkan." cibir Anisa.

"Jangan, Lay. Kamu tuh harus percaya sama calon imam saja." Adi tak terima disalahkan.

"Ingat tuh sama yang ada di rumah! Nanti gue bilangin sama dia." ancam Anisa sangat serius.

Dua perpaduan yang sangat selaras. Gue bisa merasakan kalau kedua kakak beradik ini walau di luar terlihat enggak akur tetapi mereka melindungi satu sama lain. Terlihat sekali dari cara Anisa melindungi abangnya dari mata genit.

"Eh kalian berdua sudah sampai saja." beliau mengeluarkan kunci butik. "maaf ya tadi, Ibu, harus masak dulu buat anak-anak."

"Iya enggak apa-apa kok Bu Em. Kami berdua paham." jawab Anisa meminta gue ikut berjalan di sampingnya, gue pun hanya menurut tanpa harus bertanya.

Beliau menatapku sayu. "perkenalkan saya, Ema Valisa, sahabat dan orang yang sudah dipercaya membawa kunci cadangan dari butiknya Adel."

"Saya, Layinah, Bu, mohon bimbingannya ya semuanya?" Ucapku gugup tetapi gue usahakan agar tidak terlihat.

"Tentu dong, Lay. Saya harap kamu juga betah bekerja di sini, dan kalaupun Adi mencoba menggoda kamu diabaikan saja ya?" Bu Ema melihat keluar di mana Adi berdiri dengan gagahnya sambil tetap mengawasi sekitar butik.

"Pak Adi emang orangnya begitu ya, Bu?" tanyaku.

"Ya begitulah, Lay. Bang Adi orangnya sedikit selengekkan tapi dia juga baik kok." jawab Anisa.

Sampai sekarang gue masih enggak habis pikir kenapa sih mereka berdua mau rela bekerja di tempat mamahnya dengan posisi jabatan sedikit diremehkan orang lain.

Dari semua yang gue lihat kebanyakan anak orang kaya selalu meminta uang dari orang tuanya tanpa mau ikut campur ataupun membantu pekerjaan orang tuanya. Berbeda dengan mereka, meski gue masih belum tahu motif mereka bekerja di sini dari hati atau karena terpaksa.

"Maaf ya guys, saya terlambat datang." Ucap Tante Adel memakai gamis polos tetapi sangat elegan. Beliau memang tahu stylish apa yang cocok dipakainya.

"Iya enggak apa-apa kok, Bu." jawab kami serempak.

"Ouh iya kalian belum kenalan sama Layinah kan?" tebak Tante Adel.

"Tadi sudah sih, Bu, hanya sebentar saja." jawab Anisa.

Sedikit enggak percaya jika Anisa menghormati Tante Adel, gue kira dia akan panggil dengan sebutan 'mamah'. Mereka sangat profesional sekali.

Semua karyawan Tante Adel sudah masuk, dan inilah saat yang paling gue tunggu-tunggu. Diperlkenalkan oleh beliau sebagai karyawan baru di sini, beban baru akan segera gue tanggung dipundak kecilku.

"Saya minta perhatiannya sebentar ya guys karena di sini ada pasukan baru di team kita." Tante Adel melirikku lalu gue berjalan di samping beliau.

"Perkenalkan saya, Layinah, kalian mau panggil saya dengan 'Lay' atau 'Inna' juga enggak masalah. Dan, saya karyawan baru di sini, mohon bimbingan semuanya ya?" jelasku melempar senyum ke semua penjuru.

"Semoga betah jadi team kami ya, Lay?" Tante Adel menepuk pundakku. "silakan dilanjut pekerjaannya, dan Lay nanti akan diajarin sama Anisa. Kalau, Anisa, ngajarinnya terlalu cepat protes saja enggak apa-apa kok." beliau cekikikan.

Sesuai dengan instruksi tante Adel, gue pun mencoba berbaur pada mereka semua. Dan ternyata sebagian yang bekerja di sini memang asik, entah karena sungkan ada Adel di sini atau enggak yang pasti gue lumayan nyaman bekerja di sini.

***

Akhirnya jam istirahat sudah di depan mata, gue hari ini full kerja. Entah ini hoki atau enggak gue bersyukur karena kuliah hari ini hanya satu dan itu pun cuma sore hari. Gue jadi enggak bolos dan melupakan kuliah begitu saja.

"Enggak makan siang di luar, Lay?" tanya Anisa duduk di sampingku.

Gue tersenyum lalu menunjuk bekal makanan. "enggak, Kak. Saya sudah bawa bekal sendiri."

"Loh kenapa enggak jajan saja? Lihat tuh anak-anak yang lain beli makan di luar?" Anisa sibuk melihat teman-teman beli makanan di warung sebelah butik.

"Uangnya masih bisa saya tabung, Kak."

Uang hasil kerja gue akan dipergunakan untuk membayar uang kuliah. Hitung-hitung bisa meringankan beban ayah dan bunda. Masa iya gue kerja cuma untuk dihamburkan begitu saja.

"Kemarin, Gita, bilang sama gue kalau lo pertama kalinya kerja. Apa benar begitu?" tanya Anisa lagi.

"Betul sekali, Kak. Saya enggak mau menjadi beban untuk orang tua saya. Emangnya, Gita, cerita apa saja Kak?"

Seharusnya gue kemarin bilang sama Gita untuk tidak terlalu membuka aib gue. Walau gue tahu sih Gita enggak akan seember itu. Paling Gita cerita hal receh tentang gue yang jarang diketahui orang.

"Santai sajalah, Lay. Lo enggak usah formal begitu, gue enggak masalah kok dipanggil 'lo gue'." Ucap Anisa menahan ketawanya.

"Enggak enak deh, Kak. Takutnya jika Kakak umurnya lebih dari saya." gue sungkan.

Sengaja gue menghilangkan kata 'tua' agar Anisa tidak mudah tersinggung. Posisi gue sebagai karyawan baru bisa terancam sampai membuat anak bos marah.

"Wah kalian berdua sudah sangat akrab ya?" timpal Tante Adel.

"Mari makan siang, Bu." Ucapku memperlihatkan kotak bekal makanan.

"Ouh iya terima kasih Lay. Saya nanti dimasakin sama anak kok." Tante Adel mengintip arah pos satpam.

"Lagi cari apa sih, Mah? Bang Adi ya?" tebak Anisa.

"Iya. Abang kamu ke mana sih? Padahal ya, Mamah, sudah nyuruh dia ambil makan siang satu jam yang lalu loh." Tante Adel sedikit kesal melihat Adi tak kunjung datang.

Ouh jadi benar Anisa dan Adi ini anaknya Tante Adel, gue kira mereka berdua cuma bercanda. Sebab, Tante Adel juga enggak mengenalkan mereka berdua sebagai anaknya.

Banyak sekarang ada orang yang hobinya pura-pura terlihat kaya raya, ternyata kebalikannya. Miris sekali dengan orang-orang yang seperti itu, kira-kira apa sih manfaat mereka begitu? Hanya akan merugikan dirinya sendiri dan tentunya orang lain.