Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Nusantara : Prajurit Pulau

Iqbal_As
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.9k
Views
Synopsis
Cinta, persahabatan dan kematian. Ketika bumi kembali disinggahi sang raja iblis, Madewa. Nusantara tengah berada di dalam ancaman. Sebuah daratan indah yang dihidupi oleh manusia dan berbagai jenis mahkluk unik lainnya, harus menghadapi teror yang kian hari kian menyebar dan perlahan namun pasti mulai menghancurkan tiap jengkal dari daratan Santara. Setiap kerajaan di Santara harus bersatu kembali, seperti ratusan tahun lalu. Ketika Khatulistiwa masih ada. Saat ketulusan itu masih ada. Talang, pemuda licik nan cerdik yang ditakdirkan sebagai penyelamat Nusantara harus berjuang melawan setiap rintangan yang ada di perjalanannya menuju Kalma, tempat perkumpulan seluruh pemimpin di Santara. Di temani oleh orang-orang terpercaya, serta seorang pengkhianat, mampukah ia mempersatukan Nusantara untuk mengalahkan Madewa atau akan kalah karena sifat egois dan liciknya ? #Murni khayalan fiktif dari otak seorang penikmat film. #Typo, salah penulisan serta salah penggunaan bahasa bertebaran, Masih sangat pemula #Saran dan kritik sangat di terima.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. An Arrow

Syuuuh...

Suara angin yang terbelah oleh panah hitam itu, memecah keheningan hutan Darru di terik panas cahaya matahari. Hutan Darru di kenal sebagai tempat yang terlarang oleh penduduk suku Cemar. Sebuah suku yang bertempat di sebuah desa dekat dari hutan darru, dan memiliki tugas sebagai penjaga dari hutan luas yang misterius itu.

Berbeda dengan para Ranta, sebuah Suku yang berisi para pengelana ini selalu berpindah dari suatu tempat ke tempat lainnya yang pula mengharuskan mereka untuk selalu sedia mencari bahan makanan. Karena itu mereka tak terlalu peduli dengan alam sekitar.

Suku Ranta telah berkelana berpuluh-puluh tahun lalu dengan sebab yang masih menjadi misteri tersendiri bagi para Ranta itu sendiri.

Syuh.. Syuh.. Syuh...

Kembali, tiga panah menyusul cepat ke arah Kijang yang berlari kencang itu. Meliak-liuk seakan tau akan mengahadapi ajal jika berhenti.

Stap...

Salah satu dari tiga panah itu menempel dalam pada pohon beringin tua yang nampaknya telah mengakar lama di hutan Darru.

"Sial, kijang di daerah ini terlalu tangguh, tiga anak panahku tak dapat menjatuhkannya," ucap pemuda yang memanah tadi.

"Tenang bocah, tugas kita menghalau buruan untuk masuk ke perangkap, lakukan saja tugasmu dengan benar, lagi pula kemampuanmu tak terlalu hebat, bocah," sambut seorang laki-laki yang bersiap dengan panah di tangannya. Ia seperti tengah menarget kan kemana busur kayu itu akan bersarang selanjutnya.

"Cih, urus saja urusanmu,"

Dengan sekali tarikan napas, laki-laki itu langsung memanah. Panah itu tepat menembus kedua kaki belakang kijang incaran.

Kijang itupun lunglai dan kehilangan keseimbangan. Mulai berjalan pincang dengan menyeret kakinya yang telah teraliri darah segar akibat panah tadi.

"Itu baru memanah," sambung laki-laki itu sombong.

Tiba-tiba dari arah belukar, muncul tiga pria lain yang langsung menghunuskan tombaknya ke arah Kijang itu.

Cap.. Cap... Cap...

Dua tombak menusuk perut serta sebuah tombak menusuk kepala. Membuat kijang itu mati seketika.

Sadis

"Kerja bagus Talang, Musi, berkat kalian kita makan banyak malam ini, hahaha," teriak Toba, sang Kepala Suku Ranta. Bersamaan dengan berjalan mendekat kearah hewan buruan yang telah mati lemas.

"Tanjung!Sraka! angkat buruan manis kita hari ini. Bersihkan pula kotoran-kotoran yang ada di buruan kita!"

"Siap Paduka!"

"Huuh," Musi menarik napasnya pendek, "andai engkau memberikan perintah untukku sendiri, mungkin perburuan kali ini berjalan dengan cepat Toba," lanjut Musi angkuh, sambil berjalan menemui Toba.

"Ha ha ha, semangat mu bagus sekali Musi." tawa Toba sambil menepuk keras pundak Musi. Hingga Musi sedikit terdorong kedepan.

"Akan tetapi ingat ini baik-baik, mungkin satu orang kuat bisa mengalahkan satu orang kuat lain, tapi jika satu pasukan orang kuat bergabung, mereka pasti bisa mengalahkan seluruh musuh yang berada di hadapannya, Musi," Sambung Toba, dengan sedikit menunduk kebawah, seperti terpikir sesuatu.

"Ada apa?" tanya Musi yang menangkap raut lesu di wajah gemuk Toba.

Toba hanya menggeleng, "Tidak, hanya teringat pepatah guru tua," sambung Toba sambil tersenyum, Dengan senyum gempal nya yang khas.

"Selalu saja! Aku bahkan merasa tak diperlukan lagi disini. Ciih!"

Talang merasa kesal.

Kenyataan bahwa sang rival selalu menang atas apapun yang mereka lakukan membuat perasaan Talang yang kala itu masih beranjak dari remaja merasa marah. Ia merasa kurang dihargai dan selalu dipandang sebelah mata.

Bukannya berjalan menuju rombongan sukunya, ia malah berbalik jalan menyusuri pekatnya hutan Darru yang sangatlah lebat.

Berbeda dari hutan-hutan lain yang pernah ia singgahi. Hutan ini di tumbuhi pohon tinggi yang menjulang, yang pula diselimuti belukar tajam berwarna hijau gelap.

Rerumputan liar menjalar menguasai tanah yang tidak ditumbuhi pohon.

Terdapat juga beberapa bunga yang tersembunyi dibalik rerumputan.

Talang tengah melamun jauh.

Menghadap kearah dalam hutan. Ia seakan tenggelam dengan dingin angin yang menerpa pakaian kulitnya itu.

"Tenang, tenang sekali," gumamnya sambil mengelus lengan. Menciptakan hangat antar kulit.

Biasanya bagi para laki-laki suku ranta, mereka jarang dan memakai baju ataupun kain lainnya karena bisa menghambat gerak tubuh mereka. Namun terkadang juga mereka hanya memakai sebuah rompi tak berlengan tanpa baju dalam yang menyelimuti tubuhnya.

Talang terus berjalan masuk ke dalam hutan Darru. Memasuki sebuah hutan yang konon terkenal berbahaya dan jarang disentuh orang lain.

Next chapter