Chapter 2 - Adik Tersayang

Pintu itu bergerak terbuka dan sepasang langkah sepatu kulit berjalan memasuki ruang kamar, mendekati ranjang dengan empat tiang kayu yang nampak mewah di tengah ruangan. Sosok pria itu kemudian berhenti di dekat tepi tempat tidur; memperhatikan wajah terlelap seorang gadis yang nampak tidur dengan damai. Gaun tidur krem berenda pemberian dirinya sering sekali dikenakan gadis itu tiap malam. Tentu saja bibir si pria yang diketahui bernama Rafael tersenyum tipis.

Lalu, dia mendudukkan diri di pinggir ranjang; melepas sarung tangan hitam dari tangan kirinya dan kemudian dia mengulurkan tangan kirinya untuk membelai rambut sang gadis, bergerak turun ke pipi hingga berhenti di dagu tirus itu. Seharusnya sentuhan halus Rafael bisa membuat gadis itu terusik, akan tetapi sang gadis bernama Ribella nampak begitu asik di alam mimpinya. Sehingga punggung Rafael membungkuk turun dan memangkas jarak antar wajah mereka sebelum bibirnya mendarat di atas bibir Ribella dengan lembut. Kelopak mata Rafael terpejam tenang. Waktu seakan melambat di tengah keheningan ruang kamar.

Tidak ada tuntutan dalam ciuman Rafael selain menempelkan bibir mereka. Jika sang puteri tidur sulit dibangunkan oleh orang lain, maka dia harus turun tangan untuk membangunkannya seperti seorang pangeran dalam dongeng. Karena belum setengah menit, gadis dalam ciumannya mulai membuka mata dengan perlahan. Bukan pemandangan atap kamar yang terlihat di mata hazel cemerlang Ribella ketika terbangun. Justru rambut hitam Rafael memenuhi pandangannya sekarang.

Merasakan bibir Ribella bergerak, Rafael segera melepaskan tautan bibirnya dari gadis itu. "Akhirnya puteri tidur sudah bangun," ucap Rafael sembari menatap hangat Ribella. Direspon keluhan dari Ribella yang merasa terganggu dari tidur nyengaknya. "Aku masih mengantuk," rengek Ribella, sulit membuka mata lebih lebar lagi. Seperti ada sisa lem di kelopak matanya.

"Ayo bangun. Hari ini kau tidak libur sekolah. Ayah sebentar lagi akan tiba di meja makan," kata Rafael setelah melirik jam tangan diakhir kalimat. Mendengar kata ayah disebut, bayangan horror mengenai wajah keras sang ayah terlintas di kepala Ribella. Sehingga dia beringsut bangun untuk segera membersihkan tubuh di kamar mandi. "Baiklah. Aku akan turun dalam tiga puluh menit," ucap Ribella, menyingkap selimut dan melangkah turun dari ranjang.

Segaris senyum kalem terukir di bibir tipis Rafael, karena berhasil membuat sang puteri tidur bangkit. Selain dengan ciuman pagi yang biasa Rafael berikan, itu tidak cukup untuk benar-benar membangunkan Ribella. Oleh sebab itu dia harus menggunakan kata Ayah agar gadis manis ini meninggalkan tempat tidurnya. Mereka tahu bagaimana watak sang Ayahanda.

Setelah pintu kamar mandi itu tertutup oleh Ribella, Rafael beranjak mendekati lemari di sudut ruangan. Membuka pintunya dan dia memandangi seisi lemari yang nampak penuh tapi tertata rapi itu. Tidak berselang lama, Rafael kembali berjalan ke pintu kamar mandi dengan berdiri di depannya. "Ribella, pakaianmu sudah kakak siapkan di kasur," kata Rafael. Suaranya terdengar agak teredam dari dalam kamar mandi, tapi masih dapat didengar rungu Ribella yang sedang diguyur shower. "Iya, kak! Terima kasih!" teriak Ribella. Lalu berikutnya dia menggerutu pelan. "Seharusnya kakak tidak perlu repot menyiapkan pakaianku...."

Ribella sudah melarang pria itu untuk tidak menyentuh pakaiannya lagi. Karena dia sangat tidak suka jika pakaian dalamnya disentuh tangan lawan jenis. Tetapi sifat Rafael sama keras kepalanya seperti ayah mereka. Jadi Ribella hanya bisa mengalah dan membiarkan pria itu melakukan sesukanya.

Tiga puluh menit adalah waktu yang terbilang cepat bagi seorang wanita untuk berdandan. Bagaimana pun Ribella harus menetapi janjinya untuk bergegas ke meja makan sebelum ayah datang lebih dulu. Sehingga pada di detik terakhir langkah jenjang Ribella sudah menuruni anak tangga dengan alas sepatunya.

Sosok pria paruh baya belum terlihat di meja makan, kecuali kakak laki-lakinya yang menawan itu sudah duduk manis menunggu di kursi dekat kursi makan kepala keluarga. Wajah menoleh Rafael yang seakan menyadari kedatangan gadis itu. Visual wajahnya yang tampan dengan senyuman kalem Rafael bagai menambah nilai plus sebagai anak sulung keluarga Morisco. Sedetik Ribella mendudukan diri dengan nyaman di sampingnya, Rafael tidak tahan untuk berbicara.

"Semakin hari adikku selalu bertambah cantik," puji Rafael. "Kakak khawatir kau akan jadi bahan perebutan anak lelaki di luar sana." Tersirat nada sedih dalam kalimat Rafael yang ditangkap telinga Ribella. Ribella tersenyum. "Kakak tidak perlu khawatir, aku bisa menjaga diriku dari pria brengsek," sahut gadis itu menenangkan sang kakak.

"Aku harap begitu...."

Mereka tidak lagi melanjutkan obrolan ketika sosok ayahanda tengah mendekat ke meja makan. Suasana kembali hening sampai pria tua berwibawa itu duduk di kursinya. "Selamat pagi putera dan puteriku. Ayah harap hari ini kalian memiliki hari yang indah," ujar tuan Morisco mengawali pertemuan mereka di awal pagi ini. Dengan dipimpin tuan Morisco, mereka berdoa bersama sebelum mulai makan sebagai bentuk rasa syukur mereka.

***

"Hello! Ribella!" Seruan suara ceria itu menyapa diiringi rangkulan di bahu Ribella. Ribella memalingkan wajah ke samping. "Tampaknya hari ini kau begitu bersemangat," komentar Ribella pada gadis tomboy nan tinggi bernama Cerine Harriet. Cengiran lebar Cerine tanggapi perkataan teman sekelasnya.

"Bukankan setiap hari selalu terlihat indah? Kalau bisa, ingin bertahan seperti ini selamanya!" seru Cerine riang. Ribella mendengus. "Kalau seperti ini selamanya, itu artinya kau akan menjomblo selamanya," sahut gadis bersurai cokelat ini, menyindir status Cerine yang single.

"Ck. Bagaimana denganmu sendiri?" balas Cerine. "Aku akan berpacaran kalau ada yang menyukaiku," jawab Ribella enteng. Namun, Cerine tidak puas dengan jawaban itu. "Hey, hey, apa aku salah dengar? Kau pikir ada berapa surat cinta yang memenuhi lokermu hah?!" cibirnya mengungkapkan fakta.

Ribella menghela napas. "Aku tidak tertarik pada mereka. Begini ya, kalau ada yang menyukaiku dan aku menyukainya juga, itu tidak masalah bagiku untuk berpacaran," belanya.

"Kau sungguh jual mahal, girl. Coba kau lirik kapten basket itu, dia banyak diidolakan," usul Cerine sembari memperhatikan seorang pemuda yang berjalan agak jauh di depan bersama dua temannya.

"Entahlah. Aku tidak tertarik padanya..." lesu Ribella.

"Terserah kau saja. Kita berpisah di sini. Aku harus ke ruang latihan. Bye bye!" pamit Cerine. Berlari meninggalkan Ribella sendirian di lorong sekolah. Sebentar Ribella memperhatikan gadis berambut pendek dengan jaket dililit ke pinggang itu semakin terlihat menjauh dari pandangan sebelum hilang ditikungan.

Mereka sudah berada di tingkat akhir. Seharusnya mereka disibukkan dengan belajar untuk masuk ke Perguruan tinggi. Tetapi pengecualian untuk temannya, Cerine, yang lebih fokus pada kegiatan ekstrakurikuler. Ribella terkadang iri pada Cerine yang senang bisa menemukan diri pada tempatnya. Sedangkan dirinya, Ribella tidak mengikuti ekstrakurikuler apa pun sejak tahun pertama. Benar-benar masa remaja yang membosankan.

Sambil menopang dagu dan memandang jauh ke luar jendela dari dalam kelasnya, Ribella berharap masa remajanya ini penuh dengan gairah mendebarkan. Mungkin seperti jatuh cinta, atau keseruan bersama teman-teman.

***

IG: kastilrinata94