Bab 2 + Bekerja
Setelah memastikan Ribella melewati gerbang sekolah dan memperhatikannya yang bertemu seorang teman di sana, Rafael memerintahkan supir untuk melajukan audinya lagi, dan dengan mulus mulai meninggalkan sekolah di belakang. Pria itu memandang ke luar jendela, ketenangan di wajah rupawan Rafael seakan tidak ada jadwal yang memburunya apalagi dikejar waktu terlambat. Jalanan Moskow yang lumayan lengang serta tak ada tugas penting, membuat Rafael jadi lebih bersantai pagi ini.
Ketika lampu lalu lintas menyala merah, dan Rafael menghentikan laju mobilnya, sebuah motor sport hitam pula tepat berhenti di samping bersama kendaraan lain yang menunggu lampu hijau. Jaket kulit hitam membungkus tubuh pengendara motor itu dengan helm berkaca transparan. Pandangannya dibalik kaca helm itu bergerak pada satu sisi: menatap jendela pintu mobil yang mencerminkan dirinya di atas motor. Sekilas bayangan masa lalu teringat lagi di kepalanya.
Bukan kenangan yang bagus untuk diingat, sehingga dengusan ringan lolos dari hidungnya. Tatapan pria itu yang mengerjap dan kembali pada dunia nyata, sesaat membuatnya melihat isi audi hitam tersebut dari kaca jendela yang tidak terlalu gelap untuk mengetahui apa yang ada di dalam, sebelum lampu lalu lintas berubah hijau dan dia mengabaikan semenit yang lalu seketika.
***
Mobil Rafael semakin mendekati lobi gedung, di mana sudah terlihat beberapa pria berjas hitam, kemeja putih dan berdasi hitam berdiri tegap. Di antara salah satu wajah tegas mereka yang dapat disebut bodyguard, pemilik rambut surai cokelat pirang adalah yang terlihat paling mencolok, berdiri di barisan terdepan meskipun dengan ekspresi sedatar papan. Berhentinya mobil Audi 8A langsung menggerakkan pria bersurai cokelat untuk membukakan pintu belakang. Lantas Rafael menyelinap keluar dengan aura magnetnya.
Melangkah mantap ke dalam lobi diikuti tiga pria berjas hitam itu mengawal Rafael. Sedangkan pria pemilik rambut cerah menyamakan langkah dengan Rafael di sisinya. "Tuan Amido Chris ingin bertemu denganmu untuk membahas proyek pembangunan hotel di Argentina. Dia meminta kesediaan Anda minggu depan di villa pribadinya." Pemberitahuan dari Dion sebagai sekertaris, didengarkan dengan baik oleh Rafael yang segera menanggapi. "Bagaimana dengan jadwalku di minggu depan?" tanya Rafael setelah Dion menempelkan kartu identitas kantornya di depan lift.
"Sedikit padat," jawab Dion ketika sudah di dalam lift privat dengan hanya berdua. Rafael cukup mengerti arti dua kata tersebut walau dia belum melihat daftar jadwalnya yang masih tersimpan di sekertaris. "Hari ini juga ada sedikit berkas yang minta persetujuanmu. Lalu dua jam sebelum jam makan siang, akan ada pertemuan dengan investor."
Rafael tidak membalas. Melainkan mendengus kecil dengan mata terpejam singkat. "Persiapkan saja untuk kegiatan selanjutnya," kata Rafael singkat ketika pintu lift terbuka di lantai tujuan, dan melangkah ke luar di lorong berinterior ekslusif.
"Baik!" sahut Dion tegas.
***
Damian baru saja tiba dengan memarkirkan motor sportnya di depan kantor polisi. Beberapa pria berseragam polisi sudah terlihat hilir mudik dengan kesibukan masing-masing ketika Damian masuk ke gedung tiga lantai itu, lalu berbelok ke arah meja kerja yang berderet bersama tumpukan map. Di ruangan itu, berkas perkara hampir memenuhi setiap meja kerja anggota polisi.
"Yo, Damian!" sapa pria berbadan sedikit gempal itu dari kursi kerjanya saat melihat Damian mendekat.
"Rupanya kau sudah datang, Bobby. Aku tak melihat anggota tim kita," kata Damian dengan memindai tatapannya ke sekitar ruangan luas itu. Meja kerja di timnya baru terisi dua orang termasuk dirinya.
"Oh, aku bertemu mereka di jalan," jawab Bobby santai ketika memainkan ponsel.
"Seharusnya datang bersamamu kan? Karena kau sudah tiba lebih dulu dariku," sahut Damian sembari membuka jaket kulit hitamnya, sehingga memperlihatkan seragam kepolisian Russia yang nampak melekat ketat mengikuti bentuk tubuh pria itu yang atletis. Meja kerjanya berdampingan dengan milik Bobby, di mana lelaki bongsor itu sedang membuka salah satu stok permen cokelat. "Mark bertemu kekasihnya di kampus. Erick mengantar puterinya ke TK, sedangkan Henry ada di pertigaan jalan dan sedang membantu kakek-kakek menyebrang jalan. Mungkin sebentar lagi dia datang," timpal Bobby. Lalu memasukkan permen bulat itu ke dalam mulutnya.
"Haih ini masih pagi, kau sudah makan permen saja," komentar Damian. "Daripada merokok kan? Lagipula aku belum memakan pencuci mulut, jadi hanya permen yang ada di dekatku untuk menggantikan makanan penutup." Bobby membela diri. Ketika itu seorang pria memasuki ruangan. "Good morning everyone!" Sapaan bernada riangnya menggeser tatapan mereka pada sumber suara. Seorang pria berambut pirang pendek menempati meja di seberang Bobby dan Damian.
"Oh, Henry! Apa kau sudah selesai mengantar orang tua ke seberang jalan?" kata Bobby.
"Oh?? Kau tau dari mana?" Henry tercengang.
"Aku kebetulan melihatmu sekilas tadi," jawab Bobby.
"Kuharap kita mendapat kasus yang lebih menantang hari ini." Damian menyeletuk sambil tangan kirinya menyomot ke toples permen Bobby yang sedang dipeluk di depan perut buncitnya. Tindakan tanpa permisi itu membuat Bobby menatap rekan kerjanya dengan wajah terbengong. Tapi, yang ditatap tampak santai saja saat mengantongi segenggam permen ke saku pakaiannya.
Ketika itu dering telepon kantor berbunyi di meja mereka. Henry yang paling dekat posisinya dengan telepon kabel itu menggeser kursi beroda yang didudukinya, kemudian menjawab panggilan masuk tersebut. "Halo?"
Henry terdiam sebentar guna mendengarkan suara dari si pemanggil. "Anak hilang? Sudah berapa lama hilangnya?" Henry buru-buru mengambil pena dan mencatat di sembarang kertas. "Baiklah. Anda dimohon untuk menunggu perkembangan dari kami," tutup Henry.
"Kasus anak hilang?" tanya Damian. Yang diangguki lelaki di seberangnya. "Anak perempuan berusia empat belas tahun tidak pulang ke rumah dua hari lalu," jelas Henry. Damian beranjak dari duduknya. "Mari kita bekerja!" Damian mengucapkannya dengan nada mantap.
"Kau selalu saja bersemangat," keluh Bobby malas. Menilai kasus anak hilang hari ini dengan yang pernah terjadi sebelumnya selalu berujung pada keberadaan sang anak di rumah temannya tanpa memberitahu orang tua. "Apa tidak ada kasus lain?" Bobby sependapat dengan kata-kata Damian tadi, tetapi berada di dalam kantor adalah hal yang paling nyaman baginya. Jika Damian pria yang antusias setiap kali mereka mendapat tugas, berkebalikan dengan Bobby dengan rasa malas geraknya yang menahan langkah lelaki itu jadi berat.
"Ini masih terlalu pagi untuk bermalas-malasan, Bobby. Ayo semangat!" ujar Damian.
"Kita tim divisi satu bagian Kriminalitas Tingkat Tinggi! Tidak seharusnya mengurusi kasus yang bahkan tim lain bisa menyelesaikannya." Komentar Bobby ada benarnya jika diukur menggunakan aturan. Setiap divisi memiliki tingkatan tugas masing-masing. Jika kasus itu dinilai sebagai permasalahan yang ringan seperti pencurian di toko kelontong, perkelahian dan lainnya, merupakan tugas divisi lain. Akan tetapi bilamana kasus tersebut adalah tindakan kriminal melanggar norma, hingga mengancam keamanan warga sudah menjadi tugas wajib bagi divisi satu yang bekerja tidak hanya mengawal petinggi negara maupun reserse khusus.
"Menjadi polisi adalah panggilan hati nurani. Aku bekerja di sini karena digaji. Jadi, apa pun tugas yang kudapat, harus dilaksanakan tanpa banyak mengeluh." Jawaban dari Damian terdengar menohok dengan raut yang berubah tajam seketika, sehingga Bobby yang melihat wajah dingin itu dari bawah, memilih tak lagi melanjutkan percakapan topik ini.
***
Rafael terdiam ketika sampai di ruang kerjanya, menatap badmood pada meja kerja di seberang langkah itu. Meja kerja yang semula bersih dan rapi sebelum dirinya berangkat ke luar kota, sekarang telah dipenuhi map. Rafael sudah menduga maksud dari kata-kata Dion tadi: hari ini juga ada sedikit berkas yang minta persetujuanmu. Persetan dengan sedikit berkas! Kalau jumlahnya sampai menggunung begitu namanya bukan sedikit!
Bolehkah Rafael menghela napas di pagi hari? Satu helaan napas pun keluar dari celah bibir tipisnya. Kemudian melangkah mendekati meja kerja dan duduk di kursi putar kulitnya yang nyaman. Mengerjakan satu per satu isi map itu sebelum pertemuan dengan investor, menantang Rafael bekerja cepat untuk menyelesaikannya. "Baiklah... Mari kita mulai kawan-kawan," desau Rafael berbicara sendiri pada tumpukan kertas.
Lalu mulai mengambil map paling atas, dan sedetik kemudian dia sudah terpekur serius membaca singkat sambil membubuhkan tanda tangan sebagai bukti persetujuan. Wajah rupawannya hampir terhalau kertas yang menggunung itu. Bahkan pemandangan kota yang terlihat luas memanjakan mata dari kaca raksasa di belakang, harus Rafael abaikan demi tugas ini cepat selesai yang akan membuat bokong panas nanti.
***
IG: kastilrinata94