Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

PHILOPHOBIA : Notre Destin

Aulia_Syahfitri
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.3k
Views
Synopsis
"untuk benar-benar sembuh, kau harus bertemu dengan orang yang tepat." Kalimat yang diucapkan oleh salah satu dokter psikologi kenalan papanya, hingga sekarang masih belum bisa dipahami oleh Ravein. Kalimat yang mampu membuat Ravein kebingungan dengan arti dari setiap kata yang disebut di kalimat itu. Entah dimana pun ia mencari, tak ada satupun jawaban yang ia dapat. Namun saat ia hampir menyerah dan pasrah akan takdirnya, Naira datang. Memaksa masuk ke dalam kehidupan Ravein, dan membantu lelaki itu menemukan jawaban yang selama ini lelaki itu cari. "dia selalu mencari segala cara untuk mengobati lukaku, tapi yang sebenarnya butuh untuk diobati adalah dirinya sendiri." -Ravein Angkasa Jayaputra.
VIEW MORE

Chapter 1 - Rantai Yang Baru Saja Terhubung

"Dido dan Aeneas. Lagu mengenai keduanya mungkin telah diperdengarkan ke seluruh dunia, tetapi rasa cinta mereka tak pernah sampai pada titik kebahagiaan. Dan mungkin, keadaan kita akan sama seperti itu."

-Ravein Angkasa Jayaputra.

---

"kita putus."

Dua kalimat itu sempat mengguncangkan hati Naira. Gadis itu menahan napas di sepersekian detik, kemudian mencari segala cara agar bisa membuang napas secara biasa agar tak terlihat kepanikannya.

Sedangkan lelaki di hadapan Naira, hanya berdiri tegap dengan wajah dingin. Menghalau sinar matahari yang mencoba menusuk pupil mata Naira. Dan berdiri dengan santainya seolah hal ini bukanlah masalah yang besar.

Lelaki itu bernama, Ravein Angkasa Jayaputra. Lelaki ini bukanlah ketua osis yang menjadi idaman seantero sekolah. Bukanlah lelaki hebat yang berprestasi. Bukan juga anggota basket yang bisa memamerkan ketampanan sana-sini. Ia hanyalah murid biasa dari kelas XII IPS II. Yang mencintai fotografi melebihi apapun. Dan kecintaannya itu, membuat Naira tertantang untuk mengenal lelaki ini.

Awal-awal mendekati Ravein bukanlah hal yang mudah. Terbilang sulit karena lelaki itu tipikal orang yang cuek dan berhati dingin.

Tapi lihatlah keadaan yang sekarang, Ravein resmi menjadi pacar seorang Naira Vallerie Karllein, murid berprestasi di sekolah yang di puja-puja karena paras cantik dan kepintarannya dalam mengikuti segala macam lomba apapun. Tak ada yang tak mengenal Naira, kecuali lelaki satu ini, yang baru saja pacaran sehari dengannya, kemudian berucap putus seolah itu adalah hal yang mudah.

"apa lo tahu apa yang lo katakan, Vein?" suasana cukup canggung, dan Naira tahu kalau Ravein memahami hal itu.

Ravein mengangguk. "cukup tahu kalau hubungan ini tak sepantasnya berlanjut."

"oh ya? Kenapa lo mikir kayak gitu?"

"tidak ada alasan tertentu." ucap Ravein begitu singkat.

Jika saja terdapat batu besar di dekat Naira, mungkin batu itu akan menjadi senjata yang tepat untuk di lempari ke dada Ravein yang mungkin bisa menerobos masuk ke dalam hati Ravein agar lelaki itu tahu kalau hati perempuan bukanlah mainan.

"apa lo tau apa yang lo perbuat? Lo udah bilang putus sama gue! Gue? Naira Vallerie Karllein! Di puja-puja sana-sini sebagai murid berprestasi. Dan lo yang cuma murid biasa ini, beraninya bilang putus sama gue? Kenapa? Lo takut di bully anak-anak kelas lain yang suka sama gue? Gitu?" tanya Naira terus terang dengan nada suara sedikit membentak.

"berada di dekat lo, itu sama aja gue berada dalam masalah. Dan sebisa mungkin gue mau menghindar dari masalah itu." Ravein mengucapkannya dengan tegas. Tanpa menutupi pesona lirikan mata tajam yang sampai kini masih membuat Naira tergila-gila melihatnya.

Naira tersenyum miris. "gue baru tau kalo lo ternyata secupu itu, Vein? Gue gak tau kalo ada sisi pengecut yang bersembunyi dibalik sikap cuek lo. Jadi selama ini gue salah mengira kalau Ravein yang gue kenal itu, adalah lelaki yang mungkin dapat mengobati luka di hati gue."

"kalo lo berpikir begitu, maka lo salah besar. Gue bukan orang yang tepat buat lo. Mulai dari detik ini, bahkan berlaku untuk selamanya." sejak awal Ravein tipe orang yang berkata sesuatu tanpa memirkan perasaan orang lain. Dia hanya asal bicara tanpa mau tahu dampak apa yang diterima lawan bicara. Yang dia tahu hanya satu, apa yang ingin di ucapkan, ia tinggal mengucapkannya saja. Ia tak perlu mengasihani orang lain. Karena dirinya sendiri pun butuh di kasihani.

"lo bakal nyesel udah putusin gue, Vein. Lo liat aja, gue bakal bikin lo suka sama gue! Dan situasi ini, bakal terbalik suatu hari nanti. Camkan itu, Vein!!"

Naira berjalan pergi keluar dari kelas XII IPS II yang kosong itu dengan langkah kaki besar. Tak menghiraukan teriakan Disya yang memanggil-manggilnya dari parkiran khusus siswa.

"EH KOLOR IJO!!"

"IKAN BUNTAL!!"

"MENTEGA BASI!!"

"TURUNAN DAJJAL!!"

"CACING TAN---"

"NAMA GUE NAIRA!!" Naira berbalik badan dengan kesal karena Disya memanggilnya dengan sebutan yang tak disukainya.

"YA LO SIH NGGAK NYAHUT DARI TADI." Ucap Disya setengah berteriak sambil menunggu Naira berjalan ke arahnya yang sedang berdiri dengan manis di samping mobil hitam dengan tumit yang kesemutan.

Setelah keluar dari koridor dan sampai ke tempat parkir, Naira menengadahkan kepalanya ke atas. Melihat cuaca langit yang mulai mendung, kemudian nengulurkan tangannya ke atas dan merasakan rintik hujan mulai turun.

"dih dramatis amat sih! Ayo cepat naik udah mulai hujan, Nay." seru Disya sambil menyebut nama panggilan sehari-hari Naira.

Naira memutar bola matanya, kesal dengan cewek tidak peka dengan keadaan seperti sahabatnya yang satu ini. "sabar sabar, ini gue naik."

Naira masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kursi pengemudi, diikuti Disya yang langsung masuk ke kursi pengemudi begitu melihat Naira sudah masuk lebih dulu.

"yang punya mobil gue, yang masuk terakhir gue juga. Kalau gak inget kita sahabatan dari kecil, gak bakal gue nungguin lo sampai kaki gue kesemutan tau!" ucap Disya sambil memakai seatbelt sebelum ia menyalakan mesin mobil.

"ya sorry, gue kelamaan cari Ravein tadi." Naira ikut memakai seatbelt begitu melihat Disya memakainya.

"gila lo! Udah pacaran aja masih gangguin gue. Gak pulang aja sama cowok lo malah maksa gue pulang sama-sama. Gila bener lo berdua!" Disya menyalakan mesin mobilnya dan mundur perlahan supaya mobilnya bisa keluar dengan mudah di parkiran siswa yang mulai sepi kendaraan.

"nah itu masalahnya, gue sama Ravein udah putus."

CKIIITT!!

Secara tiba-tiba mobil terhenti, tetapi tidak dengan detak jantung Naira yang berdetak kencang saking kagetnya.

"kenapa sih Dis?"

"lo bilang apa tadi?" sekali lagi. Jika ucapan yang dilontarkan Naira tadi di ucapkan kembali, maka ia akan mencari batu besar untuk dilempar ke sahabatnya yang bego satu ini.

"gue udah putus sama Ravein." Naira menyandarkan punggungnya di kursi dengan malas. "makanya hari ini pun gue pulang sama lo."

Disya mudah emosian. Terlebih ia sangat sensitif dan begitu protectif pada Naira sejak mereka masih kecil. Dan bila ada hal yang buruk terjadi pada Naira, tentu Disya tak akan membiarkan hal itu.

"kenapa putus?" tanya Disya dengan ekspresi sulit ditebak.

Nairan terdiam beberapa detik saat melihat Disya yang terlihat tenang, tak seperti biasanya. Padahal jika Naira bisa melihat pikiran Disya, Naira pasti akan tahu ada berbagai macam siksaan yang akan Disya lakukan saat bertemu dengan Ravein nanti.

"gak tau, tiba-tiba minta putus."

"wah!!" Disya menarik napas. Kemarahannya sudah di ubun-ubun sekarang. "perlu di kasih pelajaran tuh anak."

"gak usah! Pasti dia punya alasan kenapa dia lakuin hal itu."

"ya tapi gak di lo juga kan dia ngelakuin itu!"

"udah ih! Gak usah bahas itu lagi Disya!! Males tauk."

Disya menyandarkan punggungnya pasrah. "sampai sekarang gue heran, gimana sih pertemuan pertama lo sama tu cowok? Lo sampe tergila-gila sama dia padahal udah disakitin berkali-kali."

"gue ketemu dia di taman bermain. Dia lagi foto-foto disana, gak tau fotoin apaan. Mungkin aja buat dokumentasi? Entahlah, yang pasti sekitar setengah jam dia disana. Gue awalnya gak terlalu merhatiin sih, tapi karena banyak anak-anak yang ngumpul trus ngikutin dia, jadinya perhatian gue terfokus ke dia. Udah! Itu aja sih."

"hah? Gimana-gimana? Itu...bagian yang bikin lo suka sama dia? Gak mungkin seklasik itu kan?" Naira tertawa kecil melihat wajah bego Disya yang tengah kebingungan. "iihh! Nay, gue lagi gak bercanda!!"

"iya tahu, tapi emang bener kok gue suka dia pada pandangan pertama. Sikap dinginnya pada anak-anak kecil itu keliatan lucu. Sikap cueknya saat ibu-ibu dari para anak kecil itu bertanya sesuatu ke dia. Dan sikap kakunya pas ketemu orang yang sok kenal sama dia. Hahahaha...pas dicoba-coba ingat ternyata lucu juga ya?" Naira tertawa kecil saat mengingat hal apa yang membuatnya jatuh cinta pada padangan pertama ke lelaki itu. "tapi ada satu hal yang mengganggu menurut gue."

Disya dengan wajah seriusnya, mengangkat satu alis sebagai tanda tanya. "apaan?"

"dia tiba-tiba nangis pas turun hujan waktu itu."

DUUAAARRR!!!

Selama beberapa detik saling bertatapan dengan Disya setelah mendengar suara geledek yang begitu nyaring, kenyataan memaksanya melakukan tindakan terbodoh yang pernah dia lakukan.

"gue pergi dulu." Naira mencoba melepas seatbelt namun dihentikan Disya.

"lo gila apa? Jangan bilang lo mau nyusul cowok itu di kelasnya?"

"ya mau gimana lagi, kalau terjadi sesuatu sama dia bisa ribet urusannya Dis!"

"gak! Lo gak boleh bodoh sekali lagi cuma karena cowok itu!"

"Disya! Please!! Gue mau ke tempat Ravein."

"gak! gue gak izinin!"

Meski tahu kalau Disya ahli olahraga, Naira tetap bersikeras melepas seatbelt yang di tahan Disya. Mencoba sekuat tenaga meski itu sangat mustahil.

"jangan maksa, Nay! Lo mesti nurut ke gue kali ini." ucap Disya saat tangannya tak mampu lagi mencegah tangan Naira yang masih tak letih mencoba melepas tangan Disya yang menghalangnya untuk melepas seatbelt "kenapa sih lo ngotot banget pengen ke tempat tu cowok? Kayak gak ada aja laki-laki lain di dunia ini sampai lo mesti perjuangin tuh cowok."

"tapi gue gak butuh cowok lain! Gue cuma mau dia."

Disya tahu jika akan sangat percuma membujuk Naira yang begitu keras kepala. Tapi mau bagaimana lagi, dia tak mau membuat Naira menjadi budak cinta yang mudah dibodohi setiap saat.

"oke, lo boleh kesana. Gue gak bakal maksa lo kali ini. Tapi ingat! Hanya hari ini gue gak bakal maksa lo. Besoknya udah beda lagi ceritanya. Gue bakal maksa lo buat ngejauhin Ravein! Ingat?"

"iya iya, ini dilepasin dulu lah!"

Disya melepas cengkraman tangannya dari seatbelt Naira, membiarkan sahabatnya itu turun dari mobil dan pergi melewati hujan kemudian berjalan masuk ke dalam koridor.

Sejujurnya ada satu hal yang disyukuri Disya. Untung saja mobilnya belum keluar area parkir sekolah, dan untung saja mobilnya belum melaju ke jalanan besar. Jika tidak, ia tak mungkin menurunkan Naira di tengah hujan deras tanpa menggunakan payung. Terlebih Naira rela terkena hujan demi laki-laki yang bahkan tak pernah mencintai Naira. Padahal jika Naira menyayangi dirinya sendiri, mungkin gadis itu akan ingat kalau dia memiliki tubuh yang rentan terkena sakit.

"dia memang bodoh, tapi gue lebih bodoh lagi karena tak mampu melaksanakan janji gue untuk melindungi si bodoh itu." gumam Disya sambil menyalakan mesin mobilnya kembali dan memilih pulang lebih dulu tanpa menunggu Naira.

Di lain sisi, Naira tengah berlari menuju ke kelas Ravein di lantai 3, kelas khusus murid kelas 12 jurusan ips. Dalam hati berharap agar lelaki itu masih disana, dan ternyata tuhan berbaik hati membiarkan Ravein masih menetap di kelas sambil duduk di pojokan tanpa pengalas sama sekali dengan kepala tertunduk di pangku oleh kedua lututnya.

"Vein?" panggil Naira sambil menatap di setiap penjuru kelas, dan menemukan lelaki itu terduduk diam di pojokan.

"Vein? Lo gak papa?"

Langkah kaki Naira terarah ke tempat Ravein duduk. Berjalan pelan sambil memastikan bahwa lelaki itu dalam keadaan baik-baik saja.

"Vein?"

Naira ikut duduk. Mencoba mencari celah untuk melihat wajah Ravein yang tertunduk.

"lo...gak papa kan?"

Ravein mengangkat kepalanya perlahan. Menatap iris mata dark brow milik Naira, kemudian menundukkan kembali kepalanya.

Sampai beberapa detik yang lalu, Naira tak bisa menahan degup jantungnya yang berpacu hebat saat ia mendekati Ravein. Tapi saat melihat air mata jatuh dari kelopak mata lelaki itu, rasanya jantungnya akan berhenti saat itu juga.

"lo kenapa? Ada yang sakit? Bagian mananya yang sakit? Perlu ke uks? Eh tapi jam segini mana ada uks masih buka. Ki-kita ke rumah sakit aja? Atau perlu gue hubungin orang tua lo? Mungkin--" ucapan Naira terpotong, saat lelaki itu menepuk lantai di sebelah ia duduki.

"duduk."

Hanya satu kata. Hanya satu kata saja tapi mampu membuat Naira menurutinya. Sejujurnya kejadian ini masih tak pernah ia sangka untuk terjadi. Bahkan ia merutuki dirinya sendiri karena menolak paksaan Disya untuk pulang bersama. Jika seandainya dia menurut, mungkin ia tak akan pernah segugup ini saat duduk tepat di samping Ravein.

"lo butuh sesuatu? Kalo lo butuh apa-apa bilang aja ke gue."

Ravein hanya menggeleng lemah, masih dengan kepala tertunduk.

"lo kenapa sih? Lo punya penyakit gak bisa dengar suara hujan? Atau lo punya penyakit gak bisa lihat rintik hujan? Atau justru lo takut suara petir? Makanya sekarang--"

"gue benci hujan. Itu aja." sesingkat itu kalimat yang diucapkan Ravein, mampu membuat Naira terdiam.

Hingga beberapa menit kemudian Naira masih betah duduk di samping Ravein. Menikmati kesunyian itu sendirian, sambil berdoa agar hujan berhenti secepatnya.

Ravein masih dalam gerakan yang sama memangku kepalanya yang tertunduk dengan lututnya. Sedangkan Naira yang sudah duduk di samping Ravein selama 15 menit, mencoba segala cara agar ia bisa duduk dengan nyaman sambil berusaha tidak memperdengarkan suara detak jantungnya yang masih belum berhenti berdegup kencang.

"lo...suka musik?" pertanyaan terbodoh yang Naira katakan, hanya demi memecahkan suasana yang canggung itu.

Naira menoleh ke arah Ravein. Menunggu pergerakan lelaki itu atas pertanyaannya, yang ternyata selama 2 menit ia menunggu tak ada pergerakan sama sekali dari lelaki itu.

Naira meraih ponselnya di tas ransel yang ia letakkan di pangkuannya, dan tak ia lupakan earphone sebagai pelengkap. Sejujurnya Naira tak tahu mesti melakukan apa. Ia hanya ingin menemani Ravein. Itu saja. Tetapi lelaki itu mendiamkannya sudah hampir 19 menit. Yang berarti ia harus menikmati kesunyian itu dengan mendengarkan musik orkestra yang ia sukai.

Naira memakai earphone di telinga sebelah kiri, dan kemudian meletakkan earphone yang satunya lagi di telinga kanan Ravein. Tak merasakan ada pergerakan dari Ravein atas tindakannya barusan, Naira mengelus dadanya perlahan karena bersyukur Ravein tidak memarahinya.

Nada Dido's Lament karya Henry Purcell menggema di telinga Naira, dan ia yakin Ravein juga merasakan hal yang sama.

Mengisi kesepian dengan melodi yang lembut benar-benar pilihan yang tepat. Ia senang karena Ravein tak menyalahinya atas perbuatannya. Terlebih, lelaki itu mungkin ikut menikmatinya.

"Dido dan Aeneas..."

Naira menoleh dengan mata membulat lebar. Sudah bersusah payah Naira menahan degup jantungnya agar tak berpacu lebih cepat, tetapi niatnya runtuh begitu suara serak Ravein mengudara di telinganya.

"..lagu mengenai keduanya mungkin telah diperdengarkan ke seluruh dunia, tetapi rasa cinta mereka tak pernah sampai pada titik kebahagiaan. Dan mungkin, keadaan kita akan sama seperti itu."

Ini pertama kalinya Naira menatap mata sayu Ravein yang bengkak karena sehabis menangis. Padahal sejak tadi ia begitu penasaran melihat wajah tampan Ravein yang sedang menangis. Tapi begitu ia melihatnya, Naira sadar bahwa ia tak ingin melihat laki-laki itu menangis.

"maksud lo apa?"

Ravein menarik napas. "sejak awal gak ada akhir bahagia buat kita. Makanya gue pikir, mungkin ada baiknya kita nggak memulai suatu hubungan. Gue takut lo kecewa sama gue. Karena banyaknya kekurangan yang gue punya, mungkin pada akhirnya itu cuma nyakitin lo. Jadi mulai sekarang, berhenti suka sama gue. Anggap hubungan kita yang terjalin hari ini hanya kesalahan. Dan besok bersikap seolah hari ini tak pernah terja--"

PLAAKK!

Tamparan telak mengenai pipi kiri Ravein. Ia sempat terkejut sesaat, tapi kenyataan memaksanya kembali sadar bahwa itu adalah salahnya sendiri.

"gue gak tahu lo punya masa lalu kayak apa. Dan gue gak peduli soal itu. Gue udah tahu lo punya banyak kekurangan, tapi itu bukan berarti gue nyerah gitu aja karena memang perasaan gue ke lo itu bukan main-main. Tapi hal yang paling gue benci adalah lo yang selalu lari dari kenyataan. Lo bilang apa tadi? Anggap hubungan kita hari ini gak pernah terjadi? Bullshit! Gue gak peduli dengan ucapan lo itu. Karena gue cuma ngelakuin hal yang menurut gue benar." sergah Naira sambil berdiri dan mengambil tasnya yang terjatuh ke lantai.

Setelah melepas emosinya yang memuncak sejak Ravein berkata putus, Naira sadar bahwa tindakannya benar. Ia tak mesti menuruti Ravein hanya karena lelaki itu berucap seperti itu. Ia hanya melakukan hal yang ia rasa benar. Tak peduli Ravein melarangnya, Naira akan bersikeras melakukannya. Ingat apa yang Disya katakan? Naira adalah tipikal orang yang keras kepala.

Kejadian serupa terulang lagi. Naira keluar dari kelas Ravein dengan langkah besar dan juga dengan rasa kesal yang amat sangat dalam. Tapi berbeda situasinya, kali ini Disya tak berteriak memanggilnya, justru Ravein yang berteriak memanggilnya.

"Naira!!" Ravein mengejar Naira.

Naira memang menoleh, tapi langkah kakinya masih tergerak.

"Naira please berhenti dulu!"

"gak mau!" suara Naira sedikit membentak. Yang tentu saja membuat suara itu menggema di sepanjang koridor yang sepi ditemani matahari yang mulai tenggelam.

"gue mau ngomong."

"ngomong aja sama tembok!"

Ravein menghentikan langkah kakinya. Ia tak lagi berlari mengejar Naira. Napasnya tersengal-sengal. Ia lupa kalau ia tak lihai dalam berlari. Tapi soal lari dari kenyataan, ia mungkin bisa menjuarai tempat pertama.

"gue minta maaf!" dengan napas tersengal-sengal, sekuat mungkin Ravein mengeluarkan suaranya.

Pertama kalinya mendengar permintaan maaf Ravein, tentu membuat Naira berhenti berlari dan menoleh. Menyusul lelaki itu di belakangnya, dengan perasaan senang karena lelaki itu akhirnya mengakui kesalahannya.

"sekarang baru ngomong gitu? Kenapa gak daritadi aja?"

"gue...minta...maaf..."

Tubuh Ravein hampir tersungkur ke lantai, untung saja Naira sempat menahan tubuh lelaki itu sebelum Ravein jatuh ke lantai. Dengan sekuat tenaga, Naira memapah Ravein ke kursi panjang yang ada di koridor sekolah. Kursi panjang yang dikhusukan untuk murid-murid agar dapat menghabiskan jam istirahat mereka di tempat itu.

"lo gak papa? Lo beneran takut hujan? Atau mungkin lo punya penyakit asma? Ambil napas panjang dulu terus buang pelan-pelan. Lo pasti punya obatnya kan? Dimana obat lo? Nanti gue ambilin."

"..tas...di kelas..."

Naira berlari kembali ke kelas Ravein. Satu hal yang disyukuri, untung saja ia belum turun dari tangga. Kalau tidak akan memakan waktu bila ia naik turun tangga demi mengambil obat di tas Ravein.

Ini sudah ketiga kalinya Naira masuk ke dalam kelas Ravein hari ini. Dan ketiga kalinya ia masuk ke kelas itu dengan alasan yang sama, segala hal mengenai Ravein.

Tas hitam itu terletak di atas meja. Buru-buru Naira mengambilnya dan berlari kembali ke tempat Ravein.

Naira membuka paksa tas Ravein dan mengambil inhaler berwarna biru putih dan memberikannya pada Ravein.

Ravein memakai inhaler itu. Membiarkan obat itu bekerja selama beberapa menit, kemudian memberikan obat itu kembali pada Naira.

"sejak kapan kamu punya penyakit asma?" tanya Naira saat rasa penasarannya akan lelaki itu memuncak.

"sejak kecil."

"kalau tahu punya asma, kenapa lari-larian kayak gitu tadi? Bisa bahaya kalau misalnya gue gak balik ke arah lo lagi!"

"maaf, gue cuma mau ngejar lo doang. Gue mau jelasin ke lo, tapi lo keburu pergi."

Naira diam. Mencoba mengontrol detak jantungnya yang kembali berulah.

"gue...punya philophobia."

"philophobia? Apaan tu? Takut cacingan? Takut uler? Takut gelap? Takut kehilangan? Takut--"

"dengerin dulu Nay."

Ucapan Ravein yang memanggil namanya dengan lembut, tentu membuat Naira harus sekuat tenaga menahan senyumnya.

"sewaktu gue kecil dulu, gue trauma. Trauma karena orang tua gue selalu aja bertengkar. Pertengkaran mereka selalu berlangsung sampai gue berumur 8 tahun. Dan di umur yang sekecil itu, gue dapat kabar kalau orang tua gue cerai. Papa bawa selingkuhannya, begitu juga mama. Dan hak asuh gue, jatuh ke tangan mama, karena saat itu papa gue punya dua catatan kriminal di kantor kepolisian. Selang beberapa waktu, mama perlakukan gue dengan baik. Layaknya sikap orang tua kepada anaknya, yang udah gue impikan sejak dulu untuk terwujud. Tapi kemudian dia bawa laki-laki ke rumah. Dan perkenalkan ke gue kalau laki-laki itu bakal jadi papa gue. Dan apa lo tau? Umur laki-laki itu 22 tahun. 8 tahun lebih muda dari mama." Ravein tertawa miris. Membicarakan masa lalu yang buruk seperti itu, seperti memaksanya kembali pada ingatan itu. "gue gak habis pikir, kenapa--" ucapan Ravein terpotong, dengan sentuhan lembut yang mengenai bibirnya.

Bukan. Bukan sebuah ciuman. Tapi telapak kanan Naira terulur untuk membungkam mulut Ravein. Membuat laki-laki itu tersentak kaget dan diam beberapa saat.

"jangan dilanjutkan."

"kenapa?"

"lo nangis. Gue gak suka liat lo nangis."

Ravein menyentuh kedua pipinya, dan benar saja. Jari-jarinya ikut basah saat dirasakan air mata masih saja mengalir.

Lagi-lagi, Ravein tersenyum miris. "gue secengeng itu ya? Lo pasti bakal malu kalau sampai orang lain tahu kalau mantan pacar lo orang yang cengeng. Lo pasti bakal nyesel udah pernah pacaran sama gue. Harusnya gue--akh!"

Naira mencubit pipi Ravein dengan kuat. Meski ia sedikit menahan diri untuk tidak mencubit pipi kenyal Ravein terlampau kuat.

"gue, suka sama lo apa adanya. Itu takdir gue ketemu sama lo 2 minggu lalu. Lo masih ingat apa yang lo lakuin ke gue? Lo udah bikin jantung gue berdebar-debar. Dan gue gak bakal maafin lo kalo lo gak mau tanggung jawab. Jadi, kita mulai dari awal lagi ya Vein?" Naira tahu sebagai perempuan ia tak boleh merendah diri di depan laki-laki. Tapi mau bagaimana lagi, Ravein adalah lelaki yang mampu membuatnya menjadi seperti itu.

"kenapa sih lo bisa suka sama gue? Gue bahkan gak pernah nunjukkin sesuatu yang romantis ke lo. Tapi lo kok bisa--"

"cinta. Gue cinta sama lo. Pernah dengar cinta pada pandangan pertama? Itu yang gue rasakan saat pertama kali liat lo. Cinta itu buta Vein. Saat pertama liat senyum lo di taman bermain waktu itu, apa lo tahu kalau jantung gue berpacu hebat? Apa lo tahu selama semalam gue gak bisa tidur karena ingat reaksi lo yang nangis sewaktu hujan? Gue kepikiran apa lo baik-baik aja? Selama dua minggu seusai gue ketemu lo, otak gue gak pernah berhenti ngingat lo, pandangan mata gue gak bisa lepas meski kita ketemunya hanya saling lewat saja, jantung gue gak bisa berhenti berpacu hebat saat gue memberanikan diri untuk bicara sama lo, tangan gue gak bisa berhenti berkhayal untuk menggenggam tangan lo, dan kaki gue gak bisa berhenti barang sebentar saja agar tidak berjalan melewati kelas lo hanya demi liat kalau hari ini lo masuk sekolah apa nggak. Semua hal yang gue lakuin selama dua minggu ini, semuanya cuma tentang lo doang. Dan lo nggak mau tanggung jawab ke gue sama sekali? Apa mungkin lo ini jelmaan iblis kali ya?" tutur Naira sambil menatap lelaki itu lekat-lekat. Sambil berdoa dalam hati agar tuhan membuat lelaki itu memahami maksud dari yang ia katakan.

"gue minta maaf. Gue gak tahu apa yang lo alami gara-gara gue. Jadi, gimana cara gue bertanggung jawab?"

Entah karena lelaki itu benar-benar polos, atau karena lelaki itu belum pernah merasakan jatuh cinta, rasanya Naira begitu gemas dengan reaksi Ravein atas pernyataannya. Ketidakpekaan lelaki itu hanya mampu membuat Naira mengusap dada dengan lembut sambil menarik napas dengan cepat.

"oke, gue gak maksa lo buat jadi pacar gue sekarang. Tapi, jangan larang gue untuk bikin lo supaya lo suka sama gue."

"gue--"

"oke! Waktunya pulang! Lo nggak mau pulang? Udah gelap, kasiang Pak Beno belum tutup gerbang karena nunggu kita pulang dulu. Ayo pulang."

Ravein melihat keadaan sekitarnya dan memang benar langit sudah gelap. Dan cahaya yang ia yakini sebagai matahari ternyata adalah lampu yang terpasang di sepanjang koridor.

Ravein mengangguk dan mengambil tas punggungnya dari tangan Naira.

Berjalan beberapa langkah dengan hati gembira, Naira senang ia bisa berjalan beriringan dengan Ravein. Lelaki itu tampak biasa-biasa saja, tapi tidak dengan Naira. Sepanjang jalan menuju parkiran, ia bersenandung bahkan sambil melompat-lompat dengan antusias.

"lo pulangnya gimana?"

Ravein tiba-tiba bertanya, yang tentu membuat Naira yang tadinya berniat untuk melompat kini terhenti dan kakinya tersandung dengan kursi yang ada di koridor dan untung saja Ravein menahan tubuhnya.

"hati-hati."

Tanpa menyembunyikan pipinya yang merona, Naira mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.

"g-gue...pulang sama Disya kok. Te-tenang aja." Naira membuang napas dengan pelan untuk mengontrol dirinya, sambil mengibas-ngibas wajahnya yang terasa panas.

"oh gitu, tapi mobil Disya kok gak ada?"

"hah?!" Naira menoleh cepat dan ternyata benar pengkhianat itu pergi meninggalkannya.

Naira berlari ke tempat dimana mobil Disya tadi terpakir dengan rapi disana. "kok bisaaa? Mobilnya tadi disini lo, Vein!! Tapi kok? Iiihhh, Disya pengkhianat!! Tunggu, gue telepon dia dulu, suruh jemput."

"gak usah, pulang bareng gue aja."

Tunggu, pulang bareng Ravein? Rejeki mana bisa ditolak!!

"boleh nih?"

"iya." kata lelaki itu yang tengah berdiri di samping motor hitam bercampur merah miliknya.

"beneran?"

"mau naik apa nggak? Jam segini mana ada angkot."

"iya iya." Naira mengikuti Ravein berdiri di samping motor milik lelaki itu, tapi...

"helmnya cuma satu?" tanya Naira panik.

"iya, emang kenapa?"

"emang gak papa kalo gue gak pakai helm? Kalo nanti ada razia gimana? Gue gak mau di tangkap polisi, ntar lo udah gak mau pacaran sama gue karena gue punya catatan kriminal. Gak deh, gue naik angkot aja. Atau pesan ojek online juga gak papa. Lo pulang gih."

"gue bawa dua helm, tenang aja oke?"

"kok bisa bawa dua? Apa jangan-jangan lo punya rencana mau pulang sama cewek lain? Tadi gue liat Anggi berdiri muter-muter di samping motor lo. Apa jangan-jangan lo mau pulang sama Anggi? Gak! Gue gak ridho! Mulai detik ini lo mesti pulang bareng gue. Dan gak ada penolakan."

"iya, terserah." entah kenapa Ravein heran mengapa ia bisa menjadi penurut seperti ini di hadapan Naira.

Ravein memberikan helm putih kepada Naira, kemudian ia langsung naik ke motor.

"katanya bawa dua helm, yang satunya mana?" memberikan sebuah pertanyaan dengan tangan yang sibuk memakai helm, Ravein merasa lucu melihat Naira yang seperti itu.

"rumah gue deket sekolah. Kita ke rumah gue dulu ambil helm, terus nganter lo ke rumah lo."

Naira mengangguk cepat sebelum otaknya kemudian mencerna maksud dari perkataan Ravein.

HAH??! KE RUMAH RAVEIN??

***

Hai, bagaimana kabar kalian?

Semoga keadaan kalian sedang baik-baik saja saat membaca cerita ini.

Untuk kalian yang telah selesai membaca, bagaimana menurut kalian dengan cerita ini?

Apakah sudah cukup menarik untuk kalian?

Apakah sudah cukup baik untuk mengisi waktu luang kalian?

Saya harap, kalian bisa menikmati saat membacanya.

Ceritanya cukup panjang? Ya, saya sengaja memanjangkan ceritanya agar kalian bisa mengerti alur ceritanya dengan baik.

Mulai sekarang saya akan menulisnya sampai 4 ribu kata, agar chapternya tak akan terlalu banyak, dan agar ceritanya mudah untuk sampai ke penghujung cerita.

Sesuai dengan judul cerita ini, saya membuat cerita dengan pemeran utama prianya mempunyai Philophobia.

Kalian tahu Philophobia? Takut akan jatuh cinta.

Dan untuk kalian yang sedang mengalami hal yang sama, baca cerita dengan baik. Saya membuat cerita ini untuk kalian juga, yang tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang kalian cari.

Cukup sampai disini basa-basinya, sampai jumpa di chapter berikutnya!

Salam hangat,

Aulia Syahfitri ^_^