Chereads / PHILOPHOBIA : Notre Destin / Chapter 2 - Pagi Hari Yang Menciptakan Masalah

Chapter 2 - Pagi Hari Yang Menciptakan Masalah

"Percuma kita menutupi segala hal, termasuk masa lalu. Menyangkalnya hanya akan membuat kita semakin tertarik ke lembah jurang. Dan yang jatuh lebih dulu, adalah dia yang berbohong pertama kali."

-PHILOPHOBIA.

🍀

"Lari Naira."

Eh?

"Larilah! Cari tempat sembunyi!"

Suara siapa itu?

"Pergilah Naira lindungi dirimu!!"

Dari mana asal suara itu?

"pergilah jangan ikuti kami!!"

Ikut kemana? Tempat ini benar-benar gelap.

"PERGI NAIRA!!"

"Naira?"

"hhhh." Naira membulatkan matanya begitu matanya terbuka. Dengan bantuan sinar matahari yang menyilaukan, serta suara lembut yang mencoba membangunkannya, Naira lega ia terlepas dari ruangan kosong yang gelap itu.

"Nay, kenapa? Mimpi buruk lagi?" wanita paruh baya yang berumur 65 tahun itu duduk di tepi ranjang sambil mengusap lembut puncak kepala Naira.

Naira mengangguk pelan.

"eh?"

Naira menoleh cepat. "kenapa oma?"

"Nay demam?" tanya Fina sambil meletakkan telapak tangan kanannya di dahi Naira.

"kayaknya oma."

"kok bisa? Kemarin masih baik-baik aja, masih lincah, masih lompat-lompat. Kok bisa demam kamu?"

Naira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "mungkin..karena Nay kena hujan kemarin." nada suaranya memelan saat mengatakannya. Terlebih kejadian kemarin yang hampir membuatnya mati sebab jantungnya berulah saat di rumah Ravein, tentu Naira akan menyembunyikan hal ini.

Fina menarik napas. "Nay, kamu tau kan kamu punya tubuh yang lemah. Jadi oma minta, Nay jaga kesehatan ya? Masa Nay masih muda mati duluan ketimbang oma yang udah tua ini."

"iih, oma jangan sebut-sebut mati dong. Baik oma maupun Nay gak ada yang mati. Kita gak boleh mati, oke?"

"hidup manusia di dunia pasti akan berakhir Nay. Dan suatu hari nanti entah oma ataupun kamu pasti akan mengalami hal itu."

"kayak mama sama papa ya?"

Deg.

"...ya, sama seperti mereka." ucap Fina pelan. "kamu istirahat aja, nanti oma bilang ke Disya kamu absen dulu." kata Fina sambil berlalu meninggalkan kamar.

Naira sadar. Ia tak buta. Saat Naira menyebut papa dan mamanya, saat itu pandangan mata Fina begitu sayu. Bahkan saat Fina merespon ucapannya pun suaranya begitu lirih. Memangnya apa yang terjadi pada orang tuanya?

---

"pagi, Rav." sapa gadis-gadis dari kelas Ravein.

Tentu dengan sikap dinginnya, Ravein hanya berjalan begitu saja tanpa membalas sapaan mereka.

"kayak biasa ya?" bisik salah satu gadis yang menyapa Ravein.

"iya, cueknya minta ampun." jawab gadis yang juga menyapa Ravein tadi.

"Hai Rav!" Anggi datang dengan kecepatan kilat begitu matanya menangkap Ravein yang baru saja duduk di bangku.

"hmm."

"gue nungguin lo kemarin tauk! Lo kemana sih?" Anggi duduk tepat di hadapan Ravein agar ia bisa duduk sambil menatap wajah Ravein yang begitu syalala di matanya.

"gue..." tiba-tiba teringat akan Naira. "gue, ada di perpus. Kelamaan nyari buku." alasan yang sempurna, pikir Ravein.

"nyari buku?"

"iya, buku untuk tugas kelompok kita."

"oh gitu, ternyata lo kerja keras buat tugas kelompok kita ya?" saat tangan kurus Anggi ingin membelai kepala Ravein, lelaki itu justru menepisnya.

"jangan sentuh gue." cukup 3 kata itu yang membuat Anggi bungkam dan takut.

"sorry, gue gak maksud--"

Brakk!!

Semua menoleh ke sumber suara. Banyak pasang mata yang melihat Disya dengan wajah kesal mendobrak pintu, tak terkecuali Ravein dan Anggi.

"MANA RAVEIN?!"

"di-dia duduk di belakang." ucap seseorang yang berdiri tak jauh dari Disya.

Saat ekor matanya menangkap Ravein duduk berdekatan dengan perempuan lain, tentu emosi Disya tak tertahankan lagi. Membiarkan lelaki brengsek itu berada di dekat Naira hanya akan membuat sahabatnya terluka. Disya tak ingin seseorang yang sejak kecil dijaganya akan terluka sekali lagi dan membuat Naira teringat kembali memori masa kecilnya. Tentu Disya sangat menghindari hal itu.  Untuk itu, Disya mesti memisahkan mereka.

"RAVEIN!! IKUT GUE!"

Berhadapan dengan sang juara olahraga di sekolah mereka, tentu saja Ravein merasa takut, tapi...

"oke."

Ravein memang tak tahu alasan Disya memanggilnya, tapi Ravein tahu ini berhubungan dengan Naira.

Ravein mengikuti Disya dari belakang. Tak lagi menghiraukan tatapan orang yang merasa takut setelah melihat ekspresi Disya yang terlihat begitu kesal. Ravein tahu bahwa Disya adalah orang yang paling ditakuti di sekolah ini. Meski ia perempuan, tapi sifat, tindakan, dan tingkah laku Disya memang tak mirip dengan perempuan. Lebih ke preman sekolah. Tak aneh jika julukannya 'bad girl'. Bahkan, mungkin julukan itu tampak cocok untuknya.

Sebagai ketua osis sekolah, Disya bisa memakai ruangan osis semaunya. Bahkan jika ada murid di dalam ruangan itu, ia bisa mengusirnya dengan bebas. Dan itu, adalah hal yang tengah ia lakukan sekarang ini.

"lo semua keluar!!" bentakkan Disya menggema di ruangan itu. Bahkan Ravein yang sejak tadi diam mengikuti Disya tersentak kaget dengan suara lantang itu.

"ta-tapi kak, kita lagi prensen--"

"tunda! Gue mau ngomong berdua sama laki-laki di belakang gue. Ini penting! Jadi kalian semua keluar dulu."

Dengan buru-buru semua orang yang tengah melakukan presentasi pergi meninggalkan ruangan itu. Bahkan proposal di atas meja mereka di biarkan begitu saja. Proyektor pun masih menyala. Mereka benar-benar meninggalkan ruangan itu. Tak terkecuali Disya dan Ravein.

Begitu semua orang keluar, Disya menutup pintu. Lalu berbalik badan sambil menatap Ravein yang tengah menatapnya dengan begitu tenang.

"lo tahu letak kesalahan lo dimana?" tiba-tiba memberi pertanyaan dengan nada normal setelah membentak-bentak orang, Ravein memberi julukan 'monster' pada wanita kurus itu.

"gak tahu."

"lo deket-deket sama cewek lain, padahal lo tahu kalau lo punya pacar. Apa lo gak pernah ngehargai perasaan pacar lo?" Disya bersikap tak tahu akan hubungan Ravein dan Naira, agar ia bisa tahu alasan laki-laki itu memutuskan hubungan mereka.

"gue udah putus sama Naira."

Disya menarik kerah Ravein dengan kasar. "maksud lo apa?"

"kalau gue pacaran sama Naira, itu artinya akan semakin banyak Naira terluka. Dan gue gak mau hal itu terjadi."

Disya terdiam.

"mempertahankan Naira untuk terus di samping gue, itu cuma bikin dia semakin terluka. Dan kekurangan yang gue punya, juga hanya akan bikin Naira terluka. Jadi sejak awal gue menjauh dari Naira. Tapi lo tahu sendiri Naira tipe orang seperti apa. Gue juga gak tahu bagaimana cara buat menyikapi sifat keras kepala Naira, untuk itu gue selalu bersikap cuek, dingin, demi agar Naira muak sama gue. Tapi lagi-lagi dia malah bertahan. 2 minggu yang gue jalani sebagai murid baru di sekolah ini, hanya berputar mengelilingi dunia Naira. Dan gue, gak tahu cara agar terlepas dari jeratannya."

Disya melepas cengkraman tangannya. Ia terduduk di salah satu kursi yang ada di dekatnya. Membuang napas dengan kasar sambil teringat kembali memori masa kecilnya. Disya takut terjadi hal yang buruk pada Naira. Perempuan itu begitu lemah. Tidak hanya fisik tapi juga batinnya.

"gue..." Ravein menoleh. "..gak mau terjadi sesuatu sama Naira. Gue udah merenggut kebahagiaannya. Dan gue takut, jika kebahagiaan Naira hilang kembali. Gue takut kalau misal Naira udah jatuh cinta terlalu dalam sama lo, pada akhirnya dia bakal terluka jika lo menjauh dari dia suatu hari nanti. Lo tau, gue bersyukur karena Naira kehilangan ingatannya sewaktu kecil. Gue bersyukur Naira gak benci sama gue. Dan yang gue syukuri, tak ada lagi jeratan masa lalu yang akan membelenggu kehidupan Naira sekarang ini. Jadi gue minta, sebagai orang yang penting dalam hidup Naira, jangan pernah sakiti dia. Please Ravein, demi gue, jangan sakiti Naira." Disya menggenggam erat kedua tangan Ravein. Kepalanya tertunduk di depan lelaki itu. Suaranya terdengar parau. Sampai Ravein tak tahu bagaimana cara menolak permintaan Disya.

"gue usahain. Tapi jangan berharap lebih, karena gue gak bisa ngelakuin hal-hal yang dapat membantu dia." dengan sigap ia melepas cengkraman tangan Disya. Sebab jika nanti dilihat orang bisa bahaya. Terlebih pandangan mata orang-orang mencurigai bahwa Ravein memiliki sebuah hubungan dengan Disya.

"dan juga, hari ini Naira sakit. Lo mesti jenguk dia."

"sakit? Kok bisa?"

"dia bilang ke gue kalau sewaktu hujan hari itu dia liat lo nangis di bawah hujan. Makanya dia panik pas hujan kemarin, terus nyusul lo ke kelas. Dan seterusnya gue gak tahu."

"ya terus? Kok bisa sakit?"

"heh bodoh!" dengan telak, Disya memukul kepala Ravein. "dia punya tubuh yang lemah. Kena hujan sedikit dia bisa demam. Berada di tempat dingin terlalu lama dia bisa kena flu. Dan lo mesti jaga dia baik-baik."

"hmm." langkah kaki Ravein memutar dan menuju ke pintu ruang osis. Kepalanya yang tertunduk tak mampu Disya lihat ekspresinya. Seperti..sengaja dibiarkan tak terlihat.

"Ravein?"

Tangan kanan Ravein membuka kenop pintu. "gue ke kelas dulu, bentar lagi pelajaran dimulai."

"eh? Tapi--"

Baamm!

"hai! Gue Naira Valerie Karllein, kelas XI MIPA 1 dan murid berprestasi di sekolah ini. Dan karena takdir mempertemukan kita, boleh gue tau nama lo?"

"minggir!"

Ravein tertawa lucu saat ia teringat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Naira.

"hai pangeran berkuda putih, takdir mempertemukan kita lagi. Jadi sekarang, boleh dong kasih tau nama lo?"

"gila lo, minggir! Jangan halangi jalan!"

Kali ini Ravein terdiam. Ia sepertinya merasa bersalah atas sikap kasarnya tempo hari itu.

"gue tanya temen-temen kelas lo, ternyata nama lo Ravein ya? Namanya unik, gue suka. Kalo gitu, kenalan ya? Gue Naira. Terserah lo mau ngingat nama gue apa nggak, tapi gue jamin nama lo gak akan pernah gue lupain."

Ravein berhenti berjalan. Saat ini pikirannya penuh dengan ingatan 2 minggu yang ia alami bersama Naira. Namun dengan melamun di tengah ramainya orang berlalu lalang, tentu siapa saja merasa terganggu. Terlebih, orang yang merasa sangat terganggu adalah Zaki, preman sekolah sekaligus orang berpengaruh di sekolah ini.

"heh! Punya otak gak sih? Tau diri dikit dong kalau mau melamun! Jangan malah ngehalangi jalan!" tukas Zaki dengan tampang sangar yang diikuti oleh kawan-kawannya.

"ngomong sama orang bodoh gak ada gunanya, Zak. Kasih pelajaran aja biar dia tahu rasa!" seru Aldo yang berdiri di samping Zaki.

"kayaknya saran lo boleh juga. Daripada bertele-tele, lebih baik main tangan aja. Itu kan tugas laki-laki." Zaki memainkan jari-jarinya lalu mengepal kuat, bersiap melayangkan tinju di wajah Ravein. Namun Brandon menghalanginya.

Sebetulnya Aldo adalah tipe orang yang selalu memancing amarah Zaki. Zaki yang mudah emosian, pastinya mudah terpengaruh. Dan jika Zaki mulai terpancing, maka tugas Brandon untuk menghentikannya.

"udah Zak, biarin aja dia. Lo ingetkan kita mesti ke ruang bk sekarang? Kalo telat kesana takutnya kita di hukum pas pulang sekolah. Kan lu udah janji sama Valen bakal tawuran sama mereka di gym kosong pas pulang sekolah, gak mungkin lu ingkar kan? Nama baik Scorpio yang dipertaruhkan." tutur Brandon dengan tenang agar yang lainnya ikut tenang.

Brandon tahu apa yang menjadi kelemahan Zaki. Dan sebagai wakil ketua Scorpio, Brandon tak mau Zaki terlibat pada orang yang tak bersalah. Tugas mereka hanya untuk membalas perbuatan orang yang mengganggu mereka dan menjaga solidaritas dari geng mereka. Selebihnya, adalah tidak mengganggu orang yang juga tidak mengganggu mereka.

"iya sih. Ya udah deh, ayo pergi!" seru Zaki.

Zaki dkk yang terdiri sekitar belasan orang pergi ke ruang bk. Tapi Brandon masih terdiam di tempat, tepatnya di samping Ravein.

"lo gak papa?"

Bertanya tiba-tiba sambil menepuk pundaknya, membuat lelaki itu tersentak kaget. "eh? Kenapa?" tanya Ravein bingung.

Brandon tersenyum ramah. "jangan melamun di jalan. Gak baik. Terlebih jangan buat masalah ke Zaki, dia orangnya emosian. Bisa mati lo ditangannya." ujar Brandon lalu berjalan pergi menyusul kawan-kawannya yang sudah pergi lebih dulu.

"hah? Zaki? Siapa?" murid baru seperti Ravein tentu akan merasa asing mendengar nama itu. Tapi tidak dengan Anggi.

"lo diapain sama bang Zaki?" tanya Anggi sambil menghampiri Ravein. Tampaknya gadis itu mengamati kejadian tadi dari jauh.

"Zaki? Siapa dia?" tanya Ravein.

Melihat Ravein kebingungan Anggi ikut bingung. "lah? Tadi bukannya lo nyari gara-gara sama bang Zaki ya? Udah kayak mau ngajak gelut tadi. Untung ada kak Brandon kalo gak lo bakal di pukul habis-habisan."

"lo ngomong apa sih? Gak jelas." Ravein berjalan pergi.

Sementara Anggi justru kebingungan dengan apa yang ia lihat dan apa yang Ravein katakan. Tak mungkinkan ia salah lihat tadi?

Pagi hari yang harusnya tenang sebab pelajaran akan dimulai, justru malah menciptakan masalah. Entah untuk Ravein, Anggi, ataupun Zaki dkk.

---

Sepulang sekolah, di gym kosong tempat geng Valen berkumpul.

"kemana tuh si berbie cupu? Udah sore masih aja belum nyampe." Valen duduk di kursi kayu sambil meletakkan kedua kakinya di atas meja. Memainkan jari-jarinya ke tongkat bisbol berbahan logam, sambil mengunyah permen karet.

"pada lari kali. Lemah tapi sok jagoan." ucap Denis, yang paling cool diantara orang-orang liar di gengnya Valen.

"cuma sekumpulan pecundang mah ngapain ditungguin Val? Langsung aja terobos ke sekolah mereka." Gio ikut buka suara setelah meneguk sebotol air putih.

"lo pikir gue bodoh, sampe berani main terobos gitu aja? Ya gak kali! Urusan kita tuh sama orang-orangnya, bukan sama sekolahnya!" tukas Valen.

"oh? Selama ini gue pikir lo itu bodoh, ternyata enggak ya?" tanya Zaki dengan senyum tengilnya saat mereka baru saja membuka pintu masuk gym.

Valen berdiri dari kursi. Masih dengan menggenggam tongkat bisbol, ia kemudian maju mendekat diikuti kawan-kawannya.

Zaki menoleh menatap anggota geng Valen yang berdiri di belakang ketuanya sambil memegang alat apapun yang dipakai untuk memukul.

"hahaha...kalo lo laki harusnya main tangan, jangan kayak cewek main make alat-alat gak jelas kayak gitu." begitu mendengar Zaki tertawa, orang yang di belakang Zaki ikut tertawa mendengarnya. Bukan tertawa karena lucu, tapi untuk mengejek.

"ini tuh buat perlindungan diri. Lo nya aja yang gak tahu." sahut Gio tak mau kalah.

"oh ya, anggota lo ternyata dikit doang. Gak mau nambah satu?" tanya Valen sambil tersenyum miring.

"maksud lo?" tanya Zaki.

"bukannya di sekolah lo ada murid baru? Namanya Ravein Angkasa Jayaputra. Gue gak tahu dia di kelas mana. Tapi gue inget banget sama dia. Dan mungkin, kekuatan Scorpio bisa bertambah kalo ada dia." ucap Valen.

"heh! Lo ngeremehin kita?" Angga maju dengan tegap sambil menunjukkan tato di dadanya yang terlihat setelah ia membuka kancing atas kemejanya.

Bahu Valen bergetar karena tertawa. "hahaha, emang ngeremehin kok. Dan gue juga ngasih saran aja." Valen maju selangkah mendekati Zaki yang tentu diikuti semua orang, termasuk anggotanya dan anggota Scorpio. "kalo lo nambah Ravein ke Scorpio, gue jamin perkelahian kita bakal jadi sengit. Ingat, darah lebih kental daripada air. Sifat psikopat dari papa Ravein udah pasti menurun ke anaknya. Dan kalo lo nambah dia, lo pasti untung banyak Zak."

"BACOT LO KEPARAT!!" Zaki melayangkan tinju ke pipi Valen, namun tertahan oleh tangan Valen yang dengan cepat merespon pergerakan Zaki.

"gue saranin lo nambah Ravein aja. Dan kalo lo udah nambah dia ke geng kalian, saat itu kita lanjutin aksi kita. Karena gue gak mau bertarung dengan orang lemah kayak kalian. Gue menganggap tinggi kekuatan kalian, tapi itu kalau Ravein masuk ke dalam lingkup kalian. Kalo gak, pertarungan kita gak akan pernah terjadi." ucap Valen.

Valen berbalik badan dan menyuruh kawan-kawannya kembali. Meski ada rasa kecewa sebab belum mengeluarkan banyak tenaga hari ini, Valen tetap meminta kawan-kawannya untuk mencari musuh yang layak untuk bertarung. Scorpio saat ini masih lemah, setidaknya itu yang Valen pikirkan saat ini. Dan untuk memuaskan hasrat bertarung kawan-kawannya, terpaksa Valen mengajak mereka berkelahi dengan geng dari sekolah lain. Tapi rencana itu tertunda saat sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari mulut Zaki.

"kalian takut?"

Seringai yang terlihat di bibir Valen membuat Zaki meneguk salivanya. "lo salah paham dengan apa yang gue bilang, Zak. Kalian itu lemah, musuh yang tak layak untuk dilawan. Tapi kalo lo nambah Ravein ke Scorpio, saat itu kalian baru bisa disebut layak." ucap Valen sambil berlalu pergi. Namun saat kakinya di ambang pintu, ia berbalik badan dan menatap Zaki begitu tajam. "kalo dia udah jadi bagian dari Scorpio, saat itu lo boleh manggil gue kesini lagi." akhirnya Valen pergi.

Dan tepat saat Valen pergi, Brandon berlari masuk ke dalam. Dengan napas pendek-pendek ia menyerahkan sebotol aqua ke Zaki. "kenapa mereka pergi? Gak jadi tawuran?" tanya Brandon sambil mengatur napasnya.

"kita disebut tidak layak." Zaki memandang lurus ke arah pintu masuk gym yang terbuka lebar.

"hah? Lo ngawur kali! Emangnya apa yang terjadi tadi? Ditinggal bentar doang udah bikin rusuh aja kalian!" tukas Brandon.

Bukannya menjawab pertanyaan Brandon, Zaki malah melontarkan sebuah pertanyaan. "Bran, siapa itu Ravein?"

---

Ting! Tong!

"tunggu bentaaar..." sahut seseorang dari dalam rumah.

Bi Siti membuka pintu terburu-buru dan langsung membulatkan mata dan bibirnya. Pria tampan bagai bunga mawar menyilaukan matanya.

Pria itu tersenyum, menunjukkan lesung pipitnya. "permisi, Naira ada?" tanya lelaki itu.

"oh dek Naira ada kok. Tapi kamu siapa ya?"

Sambil menunjukkan keranjang buah di tangannya, lelaki itu tersenyum ramah yang membuat Bi Siti terpesona. "saya Ravein, teman Naira. Boleh saya jenguk Naira?"

"oh boleh kok! Masuk saja dek, nanti saya buatkan minuman." katanya sambil membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan masuk.

"gak usah bu. Saya gak mau ngerepotin." sungkan Ravein yang di sambut baik oleh Bi Siti.

Bi Siti menggeleng cepat. "gak ngerepotin kok. Duduk aja dulu, nanti saya panggilkan dek Naira."

Ravein mengangguk dan menurut. Rumah Naira tampak cukup besar. Ruang tamunya begitu besar dan tertata rapi oleh barang-barang seperti vas dan bingkai foto yang menjadi daya tarik di ruangan itu. Tapi entah kenapa rumah itu tampak sepi. Dan tak mau berpikir berlebihan, Ravein hanya membuang napas sambil mencari segala hal yang bisa mengalihkan perhatiannya.

"Vein?"

Saat suara lembut itu mengudara di ruang tamu, Vein menoleh belakang menatap Naira yang menyapanya sambil berjalan turun menghampirinya.

Ravein berlari menghampiri Naira. Meletakkan telapak tangannya di dahi Naira, mencoba mengecek suhu tubuh gadis itu.

"lo masih demam, jangan banyak gerak dulu." Vein menggendong Naira semampunya. "tunjuk jalan, gue antar ke kamar lo."

Pesona Ravein yang baru pertama Naira lihat dan rasakan, tak mampu membuat jantungnya berdetak normal barang sebentar. Sisi ini, pertama kalinya Naira rasakan dari sosok Ravein yang ia kenal.

"gue berat ya Vein?" tanya Naira sambil menatap rahang tegas Ravein yang mampu membuat Naira tergila-gila melihat secara dekat.

"dikit." ucap Ravein.

"turunin gue ya? Gue berat, nanti tangan lo sakit." pinta Naira yang tentu saja dibantah Ravein.

"gak, tubuh lo masih lemah. Gue antar sampai depan kamar aja." ucap Ravein.

Entah sudah keberapa kalinya Ravein membuatnya terpesona, Naira sampai malu jika Ravein melihat sisi memalukannya yang seperti ini.

"turunin Veiiin...gue maluuu." kedua telapak tangannya menutup wajahnya sendiri, menutupi pipinya yang memerah hanya karena ulah jantungnya sendiri. Bahkan ia yakin sudah cukup lama ia bernapas dengan tidak teratur sambil mencoba menutupi kegugupannya.

"ngapain malu? Lo sakit, itu manusiawi, bukan hal yang memalukan. Paham?"

"iya sih, tapi kan lo selalu lihat sisi memalukan gue. Yaaa gue mau nunjukkin sisi hebat gue, biar cuma sekali doang." tutur Naira dengan nada suara memelan tapi masih mampu di dengar Ravein.

"ngapain sampe segitunya? Lo yang sekarang aja udah cukup menarik."

Pernytaan yang meluncur begitu saja dari mulut Ravein membuat Naira tersentak dan memaksa lepas dari gendongan Ravein. "beneran?" tanyanya dengan mata berbinar.

Please Ravein, demi gue, jangan sakiti Naira.

Ah sial! Kata-kata Disya benar-benar memenuhi ruang otaknya.

"setidaknya sekarang gue ngerasa kayak gitu, tapi gak tau kalo ntar. Mungkin udah nggak." Ravein menahan diri demi Disya. Sialan dengan gadis itu! Sampai membuatnya berjanji pada hal yang tak ia sukai. Padahal ia ingin berkata jujur tentang ucapannya yang tadi.

Naira memanyunkan bibirnya. "iyain aja, gak tau mesti ngomong apa."

Ravein menggendong Naira sekali lagi. "VEIN!!"

"Kenapa?" tanya lelaki itu dengan santainya.

"turunin!! Kamar gue di ujung sana kok! Udah dekat, jadi turunin gue."

Bukannya menuruti kemauan Naira, Ravein justru mengantar sampai ke depan kamar Naira. Sebuah kesalahan bagi Naira saat ia menujukkan kamarnya pada Ravein. Ia tak mau Ravein melihat kamarnya yang begitu berantakan.

"Vein, turunin gue ya? Please! Turunin yah?!" pinta Naira dengan gelisah.

Ravein melepas gendongannya pada tubuh Naira. "oke. Gue gak maksa. Masuk aja ke kamar. Gue bawa buah, udah di kasih ke ibu-ibu yang tadi gue gak tau siapa. Jangan lupa makan buahnya. Minum juga obat dengan teratur. Disya bilang lo punya tubuh yang lemah, jadi mulai sekarang lo mesti jaga kesehatan. Jangan cari sakit lagi, ngerti?!"

Naira mengangguk. "lo mau pulang sekarang Vein?" ada sedikit nada kecewa dari suara Naira. Ravein tahu akan hal itu.

Ravein tersenyum. Menatap gadis cantik berbaju putih polos selutut yang membuatnya tampak imut meski wajahnya tampak lesu. "iya, ini udah malam, gue mesti pulang sekarang. Lo juga harus banyak istirahat. Mungkin aja besok lo udah sembuh terus bisa ke sekolah lagi."

Naira menarik napas. "iya deh. Maaf ya, gue gak bisa nganterin lo sampai depan rumah."

"gak papa, gue bisa sendiri. Masuk aja, kalo lo udah masuk baru gue pergi." ucap Ravein.

"hahaha..." Naira tertawa mendengar perkataan konyol Ravein, namun ia menurutinya. "ya udah, hati-hati di jalan ya Vein?"

Ravein mengangguk. "ya."

Naira memutuskan untuk masuk ke kamarnya. Dan setelah Naira masuk, saat itu Ravein menuruni tangga. Bersiap pergi sebelum sebuah bingkai foto besar yang menarik perhatiannya.

Di foto itu, tampak sebuah keluarga yang begitu harmonis. Sepasang suami istri muda duduk tanpa menutupi mulut mereka yang terbuka sebab tertawa, dan seorang wanita paruh baya yang beruban berdiri di belakang sepasang suami istri itu, juga seorang anak perempuan kecil yang tertawa lebar di pangkuan ibunya. Ravein yakin jika itu adalah foto keluarga Naira.

"dek Ravein?"  sapa Bi Siti dengan segelas susu putih di tangannya.

"eh? Ya bu? Kenapa?" tanya Ravein sedikit kaget, namun ia menutupinya dengan baik.

"ini susunya. Tadinya mau saya antarkan ke atas, eh taunya dek Ravein disini." ucap Bi Siti.

"makasih ya bu."

Ravein mengambil susu yang diberikan Bi Siti, dan meminumnya sampai habis.

"makasih bu." katanya sambil memberikan gelas kaca kosong itu yang isinya telah habis tanpa sisa. "oh ya bu, itu foto keluarga Naira kan?" tanyanya sambil menatap foto itu yang membuat Bi Siti mengikuti arah pandangnya.

"iya, foto itu diambil 10 tahun yang lalu." ucap Bi Siti.

"oh gitu, terus dimana orang tua Naira? Saya mau pamit pulang ke mereka." ujar Ravein yang bermaksud baik ingin ijin pamit, tapi malah membuat Bi Siti menatap tajam ke arahnya.

"Pulang saja, gak perlu pamit. Sebelum malam lebih larut, kami harus sudah sampai rumah. Nanti orang tuamu cemas." saran Bi Siti mencoba mengalihkan topik.

Dan Ravein terpancing, ia juga jadi memikirkan hal itu. Meski ia tidak kembali ke kosannya melainkan ke rumah orang tuanya, ia yakin sampai disana botol alkohol akan terlempar ke tubuhnya. Sifat pemabuk papanya tak dapat lagi terlepas. Dan Ravein yakin ayahnya akan berceloteh tak jelas lalu memukulnya.

"iya sih bu, saya pamit ya? Sampaikan salam saya ke orang tua Naira." ucap Ravein.

"iya." jawab Bi Siti sambil mengangguk pelan.

Ravein keluar dari rumah Naira dengan buru-buru. Ia menyalakan mesin motornya, dan membawa motornya melaju ke jalanan padat di Jakarta.

Saat Ravein baru saja pergi, saat itu mobil hitam memasuki perkarangan rumah Naira. Mobil hitam itu terhenti tepat di depan rumah. Seorang wanita paruh baya turun dari mobil tersebut. Dengan dua pengawalnya yang mengikuti di belakang, wanita itu berjalan dengan percaya diri memasuki rumah Naira. Bi Siti bahkan tergopoh-gopoh membukakan pintu pada wanita tersebut. Kharisma yang dimiliki wanita itu, membuat tiap orang yang berdiri di dekatnya akan merasa segan untuk lebih mendekat.

"selama datang nyonya..." sapa Bi Siti sambil membungkuk hormat.

"dimana Naira?" tanya wanita itu.

"di kamar nyonya. Tadi ada temannya datang menjenguk." ujar Bu Siti melaporkan kejadian tadi.

"oh Disya...kalau cuma dia biarkan saja, asalkan bukan orang lain." ucap wanita itu sambil berjalan menaiki tangga menuju ke arah kamarnya.

"tapi bukan Disya, melainkan orang lain."

Wanita itu menoleh cepat. "jika bukan Disya lalu siapa?"

"saya lupa menanyai nama lengkapnya, dia hanya bilang namanya Ravein."

"Ravein? Seorang laki-laki?" tanya wanita itu cukup panik.

"iya nyonya. Dan sepertinya, dia teman sekolah nona Naira."

"astaga.." wanita itu menarik napas. " Nichol, cari informasi tentang anak itu. Jangan sampai terlewatkan info sedikitpun." perintah wanita itu pada salah satu sekretarisnya.

"baik nyonya." sahut Nicholas.

"Siti, karena kamu telah mengurus rumah ini bertahun-tahun, saya harap kamu tidak melupakan tugasmu. Dan jangan lupa, rahasia keluarga kita tidak boleh terbongkar oleh siapapun. Meski itu adalah Naira sendiri, jangan sampai dia tahu segalanya." ucap wanita itu.

"tapi apa dengan itu semuanya telah tertutupi dengan baik?" tanya Grace, salah satu sekretaris wanita itu yang sejak tadi mengikuti atasannya dari belakang.

"maksudmu?"

"maaf jika lancang, tapi meski sudah 10 tahun kita mencoba menutupinya, pada akhirnya semuanya akan terbongkar. Meski kita menutup pintu rapat-rapat, bahkan sampai menguncinya. Naira pasti menemukan cara mendobrak pintu itu dan akan melihat segalanya yang telah kita coba tutupi selama ini. Meski kita menutup mata dan membiarkan waktu melupakan segalanya, Naira bisa meraih kembali waktu yang tertinggal yang sudah kita coba tutupi selama ini. Dan itu, hanya akan membuat Naira membenci anda, nyonya." tutur Grace mengutarakan pendapatnya.

"kamu benar, tapi kita tidak punya cara yang lain lagi. Hanya ini satu-satunya cara. Memastikan Naira bahagia." ucap wanita itu.

"tidak akan bahagia lagi setelah Naira mengetahui segalanya nyonya. Meski telah dijelaskan berkali-kalipun, mungkin saja Naira hanya akan membenci anda yang telah menutupi hal penting darinya." sambung Grace.

"maka kita buat hal itu tidak akan pernah terjadi!" ucap wanita itu dengan tegas.

Grace membuang napas. Ia merasa percuma untuk dijelaskan. Keluarga mereka dipenuhi orang-orang yang keras kepala. Termasuk wanita paruh baya di hadapannya ini, Rafina Santara Karllein.

🍀

Hai kalian, terima kasih telah menyempatkan waktu membaca cerita yang rumit ini.

Saya hanya bisa berharap agar kalian dalam keadaan sehat saat membaca ini.

Dan maaf sebab menunggu cerita ini di update begitu lama.

Saya sedang di sibukkan oleh tugas-tugas yang menumpuk, yang selalu mengingatkan saya agar tidak lepas dari tanggung jawab saya sebagai seorang siswa.

Jadi mohon di maklumi jika saya lambat update.

Dan semoga, kalian terhibur membaca cerita ini.

Terima kasih,

Salam hangat, Aulia Syahfitri ^_^