Brian menatapku curiga. Aku mendelik. Kupikir si uze pasti merencanakan hal yang pasti akan mengancam keeksistensianku di dunia ini.
"Kau tak merasa melakukan kesalahan?"
"Kesalahan?"
Brian menatapku tajam, kali ini dengan segaris senyum yang sulit kutafsirkan. Aku mengerutkan kening. Berusaha keras menerka-nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa diriku.
Sebuah Kemalangan.
"Aku akan menutup mulutku rapat-rapat sampai kau siap mengungkapkanya pada publik, tapi tentu kau harus membayar pajak padaku lebih dulu." Dia tersenyum.
Aku makin bingung mendengar ocehannya.
Publik____Pajak______dipikir aku pejabat korup
"Udah minum obat?"
"Ah.. kau pikir aku akan tertipu seperti yang lainnya.. uze sudah menceritakan semuanya padaku.."
Apa kubilang!
Si pecundang itu memang tidak bisa hidup tenang jika dia tidak melihat urat leherku naik dan mengencang. Dia mungkin langsung sekarat jika mendengar kabar kematianku.
"Apa? si... pe.. apa yang uze ceritakan padamu?"
"Ternyata kau cewek yang...."
"BRIANN!!" Jerry yg berada di ujung koridor berlari ke arah kami berdiri. Dengan napas naik turun dia mengocehkan sesuatu yang tidak jelas.
"Apaan?"
"Si Uze abis.. abis dah pokoknya"
"Apa? Di mana?" Brian terlihat kaget. Wajahnya memerah.
"Di belakang.. ayok.."
"Yang lain pada kemana.."
"Lagi otewe..." Jerry berlari. Di susul Brian. Sepersekian detik Brian berhenti. Dia menoleh.
"Apa yang kau lakukan.. sekarang uze sedang sekarat.?"
Aku mendelik. Menatap heran pada kedua antek si Uze.
"-ayokk." Brian menatapku. Kecemasan terbingkai di wajah versi lelakinya Berlian.
Aku berlari. Meski logikaku menyangkalku. Mengingatkan diriku jika ini bagian dari rencananya si Uze. Tapi tubuh yang mengingat tahun-tahun kebersamaanku dengan si pecundang itu tidak mematuhiku. Tubuh ini memaksaku berlari.
Dari kejauhan kulihat segerobolan orang yang terfokus pada dua orang yang tengah berhadap-hadapan. Aku mengenali jaket menterengnya.
tersungkur dengan wajah lebam dan berdarah.darah, meski begitu dia bangkit lagi. Berusaha menegakkan kepalanya yang mungkin semakin berat itu. Selang berapa detik lelaki yang berada didepannya meraih kerah baju Uze dan detik berikutnya sebuah kepalan menghatam tepat di wajahnya Uze. Dia tersungkur lagi sambil memuntahkan darah. Lagi lelaki itu kembali memukulinya tanpa maap.
Aku semakin mempercepat langkah kakiku. Tetapi semakin kupercepat, kaki-kaki ini terasa makin pendek dan memendek sehingga uze terasa semakin menjauh. Jauh dan jauh. Membuatku ingin meneriaki. Memaki pecundang pengecut itu.
Apaan ini?
Tubuhku merinding. Aku tak bisa mengatakan apa.apa lagi. Aku hanya bisa menatap lelaki yang siap mengarahkan tinjunya pada uze . Dia balas menatapku tajam sambil melepaskan kepalannya dan uze yang sudah memerah itu. Uze terjatuh, tersungkur.
"Ingat rasa sakit ini.. aku aku akan memberikan yg lebih dari ini jika kau macam.macam." lelaki itu melangkah pergi.
"Apaaa..."
"Urus dia! aku yg bertanggung jawab pada eyang"
"....."
Lelaki itu berlalu. Tanpa memar sedikitpun. Terlihat baik-baik saja. Tapi justru hatiku yg terluka.
Kedua kakiku seperti dipaku menghujam bumi dengan paku yang terbuat dari gumpalan es yang membeku. Hingga membuat seluruh tubuhku membeku.Tak ada sepatah katapun yang mampu kulontarkan. Yang bisa kulakukan hanya melihat punggung yang semakin lama semakin menjauh.
"Jangan marah padanya! itu harga yg didapat uze untuk mendapatkanmu, agar dia tidak berani berpikir untuk menyakitimu" Kak Dika berlalu.
Aku terdiam menatap uze yang tersungkur.
"Apa kita bisa bertengkar setelah aku baikan"
BOCAH GILA