Uze terbaring di sebuah bangku panjang di depan ruang klub marching band. Sepi karena kebanyakan siswa sudah pulang, yang tertinggal hanya sebagian siswa yang masih piket. Beberapa pasangan yang pacaran backstreet, sekelompok siswa mageran yang mengerjakan kerja kelompok karena mager kalo udah pulang.
Suasanan hening apalagi ruang marching band berada di sudut sekolah dan hanya dikunjungi saat anggotanya akan latihan. Melakukan operasi kecil-kecilan saat ini tidak akan ada yang mengetahui.
Angin menerbangkan bau anyir.
Kedua matanya memejam. Tubuh yang babak belur itu cukup tenang berbaring di bangku panjang, hanya bulu matanya yang panjang bergetar ketika kapas basah itu mengenai kulitnya yang sobek. Bibirnya yang biasanya menyunggingkan senyum mencemooh padaku sekarang terlihat jejak darah. Beberapa jejak samar kebiruan menyebar di rahang dan bibirnya.
Seragamnya kotor. Berdebu, basah oleh keringat dan darah menempeli jaket merahnya. Beberapa bercak darah yang lolos terlihat kontras di kerah seragam putih. Gesekan membuat celana abu-abunya aus membentuk jejak samar pergulatan sengit. Sepertinya si brengsek ini telah KO.
Situasi komedi apa ini?
"Woah, Hahahahaha"
Si brengsek ini kembali dengan persiapan_
Brian yang akan membalut luka Uze menatapku keheranan.
"Kenapa Violet?"
"Cinta membuatnya gila" Jerry nyeletuk
"Bukan.. Abangnya yang membuatnya gila"
"Kisah cintaku dan restu abangku.."
"Azab pacaran diam-diam menjadi gila"
"Azab karena tidak membayar pajak jadian seorang gadis menjadi tidak bisa berhenti tertawa "
"Sebut saja Mawar.." Kedua antek Uze terus mengatakan hal-hal aneh yang membuat akumulasi kemarahanku menuju pada puncaknya.
"Woah.. hmpppp... kau memang sesuatu Ze"
Uhuk!
"Aku beli air minum dulu" Jerry yang sejak kepindahan Uze memposisikan dirinya sebagai pesuruh Uze segera berdiri tanpa perlu kata pengantar dari Uze. Peka banget.
Kedua kelopak mata Uze perlahan terbuka. Dia menatap Brian lalu menunjuk Jerry dengan dagunya.
"Aa.." Brian berdiri, lalu menatapku dengan wajah merona "-bareng Jerr.. aku juga haus" Brian berjalan mengiringi Jerry.
"Biar aku aja.. kau mau apa?"
"Enggak. Aku ikut."
"Gak papa biar.. akh.. kenapa main cubit sih Bri" Brian menyeret Jerry lalu menghilang di balik bangunan.
Uze bangun dari posisi rebahan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku. Tarikan nafasnya mulai kembali dalam ritme yang normal, tetapi tubuhnya jauh dari kata normal
"Bg Onci yang buat gini?"
"Hmm"
"Sendirian?"
"Hmm"
"Apa yamg kau bilang sampe mempropukasi bg Onci jadi gini?"
Bg Onci emang pendiam dan terkesan sangar tapi dia enggak mungkin mukulin orang sampe bentuknya kayak Uze gini. Pasti banget si Uze ini propukasi bg Onci.
"-gak mungkin cuma karena kau bilang ke bang Onci kalo kau, aku pacaran?"
Kedua maniknya yang pekat menatap mataku dalam.
"Cuma itu"
Lucu. Sejak kedatangannya beberapa bulan yang lalu, aku telah mengantisipasi setiap tingkah lakunya yang absurd agar aku bisa menangkis serangan balas dendem si Uze. Nyatanya. Aku tak tahu harus menangis atau tertawa. Ini benar-benar diluar bayanganku.
"Waras"
"..."
"Aku harus bagaimana? Peran apa yang harus aku perankan Ze"
Uhuk!
"Aku tahu aku salah, tapi Ze, itu tidak membenarkan kau melakukan apapun padaku sesukamu" gambaran bocah kecil menangis terdistorsi diotakku. "-dengar Ze, aku gak tertarik memainkan permainanan ini"
"Bukan.."
"Lalu?"
"..."
"Kau kembali untuk balas dendam? di depan bang onci menjadi pacarku, kalau bukan permainan apa?"
"....."
"Cinta? hmmpp.." Wajah Uze masih tenang, tak ada jejak apapun yang bisa terbaca "-sejak dulu dalam hubungan kita tidak pernah ada cinta"
"Za..." Uze memejamkan mata, kedua bulu matanya bergetar.
"...."
"Bibir...gue... sakit"
Bocah Brengsek... brengsek... brengsek...