Di salah satu ruang besar di Zona Putih, beberapa perwakilan dari setiap zona telah berkumpul. Jani, yang mendapat tugas menjadi sekertaris pada rapat hari ini telah berdiri di depan meja panjang. Ia beberapa kali berdehem untuk menghilangkan kegugupannya. Gadis yang baru saja lulus dari kuliahnya itu tampil dengan balutan kemeja hijau yang memiliki banyak saku yang menyimpan banyak peralatan yang mungkin dibutuhkannya sewaktu-waktu, termasuk obat penenang. Bawahan yang digunakannya berwarna hijau gelap, celana selutut yang tidak akan menganggu pergerakannya saat diminta berlari oleh staff senior. Ia menyentuh rambut hijau terangnya yang telah disanggul rapi. Tangannya itu sejak tadi tak tenang, menyentuh ujung kemeja, rambut, menggosok matanya, dan melegakan tenggorokannya berkali-kali.
Jani melihati dua perwakilan yang berasal dari zona yang sama dengannya. Ke-dua pria itu balas menatapnya, memintanya untuk tetap tenang.
"Kau pastinya sangat pintar yah?"
Jani melihati pria dengan rambut merah terang di sela-sela rambut yang berwarna merah mudanya. Ia mencoba membentuk senyuman termanisnya, tapi malah terlihat aneh dengan matanya yang masih membelalak.
Dir berdehem. Pria berusia empat puluh tahun itu tersenyum tipis. Nada suaranya pasti telah menakuti gadis itu. Ia lalu melihati wanita yang duduk di sampingnya, setengah berbisik.
"Ai, aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas," kata Yuka, wanita yang selalu terlihat anggun dan mewah. Sebelah alisnya terangkat. Ia menoleh melirik dua wanita yang mengobrol dengan penuh semangat, memperhatikan pakaian keduanya yang bersinar dengan banyaknya pernak-pernik yang dijadikan aksesoris. "Mereka ribut sekali," tambahnya pada suaminya, melirik rambut kuning Zoo dan Trinity.
Dir menepuk punggung tangan istrinya saat pintu ruangan terbuka.
Jani hampir saja memekik saat tangan pria tua yang baru saja masuk menepuk bahunya. Ia menoleh dan mendapati Abra tersenyum.
Abra duduk di kursi besar. Meminta Jani juga duduk untuk merekam semua kalimat hari ini. Semua perhatian tertuju pada Abra. Ia mengedarkan pandangannya, melihati setiap dua perwakilan dari empat zona. Dan memberi kode pada Jani yang duduk berhadapan dengannya untuk membuka rapat.
"Ah, iya," Jani menegakkan punggungnya. Menggerakkan jarinya di atas layar datar di hadapannya. "Terima kasih atas kedatangan para perwakilan zona. Dir dan Yuka Red," ia berkata dan melihat kedua orang yang baru saja disebutnya.
Dir dan Yuka menggerakkan kepalanya. Menyapa dengan formal para perwakilan lainnya.
Jani tak menatap lama suami istri itu dan kembali melanjutkan. "Trinity dan Zoo Yellow, Robert dan Jaya Green, juga Chalk dan Baby Blue," sebutnya nama-nama setiap perwakilan. "Hari ini, rapat akan dimulai dengan pemaparan keadaan Zona. Dan dipersilahkan pada Dir Kafiglass Angry…" ia menghentikkan kalimat cepat yang keluar dari mulutnya. Ia baru saja menyebut bagaimana mereka mengatakan nama dari zona lain saat bercerita dengan penghuni tempat asalnya. "Maaf,�� kata Jani cepat-cepat, "maksudku Dir Kafiglass dari zona Red." Ia menundukkan kepalanya saat Dir tertawa kecil. Rasanya pria itu akan memasukkannya ke dalam saku jas panjangnya.
Dir berdiri dari kursinya. Berpindah ke depan layar besar di dinding. Perawakannya tinggi dan berbobot. Pakaian yang membalut terlihat sangat pas di tubuhnya—membuat seringaian Yuka terlihat jelas, bangga dengan hasil rancangannya sendiri. Dengan remote di tangannya, ia memperbesar kotak dengan tampilan Zona Merah, dan terbagi menjadi beberapa kotak lagi. Ia mengarahkan remote pada salah satu kotak dan membuatnya lebih besar dari tampilan tempat yang lainnya.
"Ini daerah timur Zona Merah," kata Dir memulai, matanya melihati Abra, mencoba membaca ekspresi, tapi tentu saja tak ditemukannya. Abra dan orang-orang yang mempunyai rambut terang dan apalagi berwarna putih terkenal dengan kemampuan mereka memiliki dan mampu mengendalikan setiap emosi, karena itu jadi salah satu alasan Abra dipercaya sebagai pemimpin Negara Satu.
"Aku kemarin baru saja berkunjung di pembukaan rumah sakit di sana," lanjut Dir memperlihatkan gedung rumah sakit dengan gambar hati berwarna merah di depannya. "Seperti yang kukatakan tahun lalu, penanganan untuk gangguan hati akan lebih baik dengan banyaknya orang-orang berbakat di Zona Merah," jelasnya.
"Kurasa itu sudah dilakukan di Zona Merah sebelumnya," kata Robert, pria lima puluh tahun itu berbicara dengan kepercayaan diri yang telah ia kumpulkan dari tadi.
Jani melihati pemimpin dari zonanya itu berbicara. Ia tersenyum singkat, ia harus bisa sepertinya. Semakin bisa mengendalikan ketakutan dalam dirinya.
"Tentu kami akan terus lakukan," kata Dir. Bermaksud berpindah, tapi Robert kembali memotong kalimatnya.
"Maksudku, bukankah harus ada pencegahan," kata Robert, melirik Jaya wakilnya di Zona Hijau. Tapi sepertinya temannya itu lebih memilih diam, apalagi saat Yuka melihatinya sinis. Robert lalu melihat Abra, meminta persetujuan.
"Silahkan lanjutkan," kata Abra dengan tangan bertautan di atas meja.
Robert berdehem. "Para Professor kami mencoba untuk mencari penyebab banyaknya masalah kesehatan di Zona Merah. Dan berhasil menemukannya."
"Aku bisa mengatakan kalau tak ada hal seperti itu di tempat kami," sela Yuka dengan ujung bibirnya yang membentuk seringaian.
Robert tersenyum, meski denyut nadinya meningkat. Ia menggerakkan jarinya di atas komputer meja. Mengirim file ke setiap perwakilan. "Anda bisa melihat dari grafik di data ini, jika penyebab utama terjadinya masalah fisik di Zona Merah disebabkan oleh marah yang berlebihan. Kurasa para pemimpin dari Zona Merah tahu apa yang terjadi saat teriak dan wajah kalian yang menegang. Dan mata kalian yang berubah menjadi merah meski sesuatu yang terjadi hanya hal sepeleh. Itu jadi penyebabnya."
Trinity Patrow tertawa besar. Tak perduli dengan kehadiran presiden Negara mereka. "Itu benar. Mereka suka sekali marah."
Robert menjilat bibirnya sebelum melanjutkan. Sepertinya ia butuh air.
Yuka menghela nafas, urat lehernya terlihat jelas. Ia melipat tangan di depan dada.
Dir melirik istrinya. Memintanya tetap tenang. Sepertinya ia tahu yang dimaksud oleh zona lain.
*