Chapter 3 - Masalah

Chalk Osean, pria dengan rambut biru terang itu menunduk, mengalihkan diri dari banyak pasang mata yang melihatnya. Rapat masih berlangsung, gilirannya untuk menyampaikan keadaan zonanya baru saja Dimulai, tapi pandangannya sudah lesu. Apalagi saat melihat kepalan tangan Yuka di atas meja. Meski ia dan Yuka seumuran dan sudah beberapa kali bertemu semenjak kakaknya mengundurkan diri menjadi pimpinan Zona Biru, Chalk masih tak bisa menghilangkan kegelisahannya saat bertemu Yuka dan orang-orang dari zona lainnya. Ia tak seberani Robert dan Trinity untuk bisa mengembalikan setiap kata protes, bisa-bisa ia mengeluarkan air mata.

"Chalk," Abra menyadarkan pria tiga puluh dua tahun itu.

Chalk menggerakkan kepalanya naik turun. Tapi tak bisa langsung memulai. Ia harus mengatur nafasnya.

"Apa yang terjadi di zonamu?" tanya Yuka.

Chalk menggeleng. "Tidak ada. Seperti biasa."

"Jadi seperti biasa," gumam Yuka. "Masih terjadi banjir karena kalian menangis setiap hari," katanya tertawa sinis.

Bibir Chalk menekuk. "Banjir terjadi, karena zona kami mempunyai curah hujan yang tinggi. Juga karena sungai yang meluap, permukaan laut meninggi. Tapi tenang saja kami sudah menanggulanginya dengan membuat bendungan," katanya mengingat beton berwarna biru.

"Tempat kalian memang sangat serasi. Saat kalian mengeluarkan air mata, langit juga menurunkan air," kata Trinity, menganggap bahan ini sebagai lelucon yang akan diceritakan pada remaja di zonanya.

Chalk berdehem, menghilangkan serak suaranya. "Tapi tak ada masalah yang lain."

"Remaja di Zona Biru, kudengar mempunyai banyak masalah sekarang," kata Robert. "Itu bahaya sekali, apa lagi laut terbentang luas di sekitar kalian," ia mengeluarkan pikirannya, takut kalau sampai masalah itu terjadi di zonanya. Kalau sampai terjadi, ia harus mengajukan untuk pembangunan pembatas yang lebih tinggi.

"Memang ada apa dengan remaja Zona Biru?" tanya Trinity. Alisnya terangkat, bersemangat.

"Tidak ada yang terjadi," tolak Chalk. "Kurasa itu terjadi karena anak-anak dari Zona Kuning terlalu bersemangat membuat banyak hal. Termasuk sebuah situs yang mereka gunakan untuk saling mengobrol. Banyak sekali hal yang tidak bermanfaat dari Zona Kuning. Mereka membuat banyak hal yang entah apa fungsinya."

"Itu tak bisa dibiarkan. Kami akan melarang remaja di zona kami untuk tidak menggunakan produk dari Zona Kuning," suara Jaya membesar. Robert melirik temannya itu, ia mengangguk setuju.

Trinity mencibir. Ia lalu tersenyum, "tentu silahkan. Tapi lihat apa yang terjadi dengan anak-anak kalian, mereka menjadi penakut. Semakin banyak hal-hal kecil yang membuat mereka ketakutan. Bagaimana mereka bisa tersenyum."

"Kami tersenyum, kok," kata Jaya, mengerucutkan bibir.

"Kalian diamlah," dengus Yuka. "Apa kita tak bisa mendengar Chalk menyelesaikan kalimatnya."

Chalk menyentuh dasi bergaris-garisnya. "Kupikir tak harus menjelaskannya," suaranya jadi tak jelas.

"Kau pasti merahasiakan sesuatu?" desak Yuka. Ia memajukan tubuhnya di atas meja. "Kudengar anak-anak sekarang menamai perasaan lain itu sebagai cinta. Itu kata jaman dulu sekali. Membuatku tertawa saja," katanya tertawa sinis dan diikuti tawa dengan nada berbeda dari zona lain.

Abra tersenyum. Ia lalu meminta Chalk duduk. "Kurasa itu bukan masalah, kan?"

Mereka saling lihat mendengar kalimat Abra.

"Aku mungkin tak perlu khawatir dengan orang dewasa di tiap zona," kata Abra dengan suara bijaksananya. "Perlahan kita sebagai orang yang telah hidup lebih lama, semakin mengerti dan mencoba mengendalikan emosi terbesar kita. Tapi aku khawatir pada anak-anak kita yang beranjak dewasa. Semakin lama semakin besar emosinya. Aku kenal As," katanya melihat keluarga Kafiglass.

Dir dan Yuka saling lihat.

"Meski dia tak melampiaskan emosinya dalam waktu yang berurutan, tapi saat dia benar-benar kecewa atau tak suka dengan sesuatu, dia bisa meghancurkan gedung saat melepas emosi amarahya itu," kata Abra tersenyum.

Dir megangguk setuju. Sedang Yuka hanya melipat tangannya di depan dada.

"Lalu," Abra melihat Robert dan Jaya, "di Zona Hijau, baik remaja dan dewasa, mereka semua ketakutan bahkan cenderung tak ingin keluar dari rumah. Kita butuh orang-orang untuk memberi semangat dan keberanian."

Robert sebenarnya ingin menolak. Tapi akhirnya hanya menelan ludah.

Abra menggerakkan kepalanya, melihat Trinity dan Zoo. "Kupikir tak masalah jika orang-orang Zona Kuning bersosialisasi dengan zona lain. Mereka bisa saling menyatukan semua zona."

"Itu masalah kecil," kata Trinity, menyenggol lengan Zoo.

Tapi Zoo menggeleng, "itu bukan hal kecil untuk dilakukan. Mereka sama sekali tak megerti emosi selain bergembira dan bersemangat, jadi mungkin saja jika mereka bertemu dengan zona lain, mereka akan menyakiti atau bahkan tersakiti," katanya dengan suara yang tak meledak-ledak seperti wanita muda di sampingnya.

Abra tersenyum, mengangguk. "Tentu, itu membuatku takut. Saat mereka tak mengenal perasaan yang seperti Zona Biru rasakan, saat mereka bertemu dengan suatu penghalanag mereka akan mudah kehilangan harapan. Atau karena dia tak punya rasa seperti Zona Hijau, karena terlalu bersemangat—Zona Kuning jadi tak punya reaksi untuk melindungi diri kalian," katanya dan menatap mata Trinity yang baru saja mengangguk setuju. "Kita bisa saling membantu."

Semua perwakilan zona saling lihat. "Bagaimana?"

"Aku ingin mengakhiri masa perbatasan zona kita," kata Abra. "Bisakah kita coba untuk bersatu?

Jani yang sejak tadi hanya menuliskan apa yang didengarkannya, memberi tambahan catatan. Membacanya, "Zona Biru selalu menghadapi kehidupan dengan air mata yang menetes, mudah memahami perasaan orang-orang berambut biru lainnya, dan perkembangan Zona Biru sangat lambat karena suka sekali berdiam diri memandangi langit," ia berdehem, melihati ekspresi perwakilan Zona Biru yang lalu mengangguk menyetujui.

Ia lalu melanjutkan dengan beberapa kata yang ditekan agar tujuan kalimatnya terdengar, "Berbeda dengan penduduk Zona Merah yang suka bergerak dengan cepat—untuk menyeleksi apa yang harus ada atau dihilangkan di sana," katanya mengutarakan pendapat pribadinya. "Dan mereka lebih suka bersuara dengan volume tinggi, menghindari tatapan mata langsung, tapi mereka akan mencoba saling mengerti jika suatu masalah terjadi agar kedepannya tidak terjadi pada mereka. Sedang orang-orang berambut kuning dengan sikap ingin tahu dan bersemangat mereka, membuat zona mereka berkembang pesat. Mereka suka berpetualang dan sangat senang tertawa pada segala situasi. Tak sama dengan Zona Hijau yang selalu khawatir bahwa semua hal-hal di dunia punya dampak pada kehidupan mereka. Wajah mereka selalu dibalut dengan kecurigaan pada sekitarnya." Ia mengangkat wajahnya dan mendapati semua meringis mendengarnya.

*