"Dian kamu urus semua proyek di KL. Saya percayakan semua sama kamu. Kondisi saya belum fit untuk bepergian jauh." Bara menatap Dian, mantan sekretaris yang sekarang menjabat sebagai direktur pemasaran.
"Baik bos. Saya akan selesaikan semua proyek disana."
"Tiket sudah dipesan? Alana dan Zico gapapa ditinggal? Cuma dua hari."
"Tiket sudah saya pesan bos. Gapapa kok bos. Alana anak yang pintar."
"Rere minta saya untuk mempekerjakan sahabatnya sebagai sekretaris saya."
"Siapa bos?" Dian terbelalak.
"Tia namanya. Rere merekomendasikan. Enggak mungkin kamu merangkap sekretaris dan direktur pemasaran. Enggak lucu. "
"Emang dia bisa jadi sekretaris? Takutnya dia enggak seperti saya."
"Kamu ajarin Dian. Pokoknya dia harus sepintar dan segesit kamu. Sebentar lagi Rere akan wisuda."
"Kapan bos?"
"Dua bulan lagi."
"Oh pantes….Rere kerja dimana bos?"
"Paling dia akan saya ajarkan untuk mengelola perusahaan peninggalan ayahnya. Sudah saatnya dia yang memimpin perusahaan. Bunda menyerahkan perusahaannya ke saya. Jujur saya enggak bisa handle semuanya. Rere harus terjun langsung. Saya sendiri yang akan mengajari dia. Jangan lupa liat Rere. Apa dia baik-baik saja."
"Sepertinya bos sangat sayang sama adik tiri bos. Apa bos suka sama dia?" Dian menggoda Bara.
"Jangan gila kamu. Saya menyayangi dia seperti adik sendiri. Istriku saja belum jelas keberadaannya. Jangan mengarang cerita. Rere membuat saya merasakan punya saudara."
Dian bungkam ketika Bara membahas istrinya. Bara mengalami hilang ingatan karena ditembak lawan politik. Bara mantan ketua DPRD di Sumbar. Banyak orang yang dijatuhkan pria itu sehingga musuhnya ada dimana-mana. Peristiwa penembakan itu membuatnya hilang ingatan bahkan lupa siapa istrinya. Kebetulan istri Bara pergi meninggalkannya karena suatu alasan. Sudah satu tahun istrinya pergi namun keberadaannya belum ditemukan.
*******
Rere menggigil menatap Angga yang tergolek lemah di lantai. Tia membersihkan luka pria itu. Tak lupa memperban luka prianya. Tia menelpon uncle Mutu untuk membawa Angga kembali ke kost.
"Apa yang tengah berlaku?" Uncle Mutu menatap Angga yang tergolek pingsan.
"Dia nak coba rogol (memperkosa) Rere," jawab Tia jujur.
"Syaitan dia." Uncle Mutu tersulut emosi.
"Uncle sudah. Rere masih shock. Antarkan dia ke rumahnya. Dia mabuk." Tia menunjuk Angga.
"Kalian?"
"Kami baik-baik saja."
Uncle Mutu membawa Angga ke mobil. Pria India itu sangat kesal pada Angga. Berani sekali pria itu melakukan pelecehan pada anak majikannya. Setengah hati pria itu mengantarkan Angga. Kesal, Uncle Mutu hanya menaruh Angga di depan pintu kost. Marah dan kecewa tentu saja. Untung saja Angga belum sempat melakukan apa-apa pada Rere.
Rere masih shock. Ia meminta Tia untuk mengganti nomor ponselnya. Trauma itu masih ada. Rere tak mau mengenal dan menjalin hubungan dengan Angga. Seharusnya pria itu melindunginya bukan malah merusaknya. Andai saja Tia tidak datang tepat waktu bisa jadi ia akan mengalami trauma dan stress. Tangannya masih gemetar.
"Re.....," lirih Tia memanggil sahabatnya.
"Tia," ucap Rere pelan.
"Lo jangan pernah takut ya. Semua baik-baik saja. Lo sudah aman."
"Gue takut Tia. Gue takut…" Rere masih saja menangis.
"Gue ada disamping lo. Enggak usah takut."
Pintu apartemen mereka dibuka secara paksa. Suara pintu didobrak terdengar dengan jelas. Rere bangkit mendekati Tia. Ia ketakutan.
"Cari perempuan itu. Jangan sampai lolos," ucap salah seorang pria asing.
"Kita harus membunuh kedua wanita itu. Dia adalah saksi utama kematian Ananya. Jangan sampai warga negara tahu apa sebab yang sebenarnya. Biarkan masyarakat tahu jika pelakon sombong itu mati karena kemalangan bukan dibunuh."
Tia dan Rere gemetar mendengar perkataan pria itu. Rere hampir saja berteriak, untung Tia segera membungkam mulutnya.
"Tenang Re. Jika lo panik mereka akan menemukan kita. Mari sembunyi. Mereka mencari lo dan Gesa." Tia membantu Rere untuk bersembunyi. Mereka bersembunyi dalam lemari pakaian. Untung saja lemari itu besar hingga bisa masuk berdua.
Para pria itu memporak porandakan apartemen Rere.
"Syaitan. Dimana mereka?"
"Tak ada bos. Kemana mereka?"
"Cari sampai dapat. Tidak mungkin mereka bisa lolos dari sini. Bunuh mereka sebelum bersuara ke wartawan. Bos akan menghukum kita jika misi ini gagal."
"Baik bos."
Para bandit itu mengacak seluruh ruangan. Kosong, tak ada orang. Tia dan Rere mengintip dari balik pintu lemari yang tidak tertutup rapat. Napas keduanya terengah. Takut pasti takut, apalagi dengan bahaya yang tengah mengintai mereka.
Tangan Rere berkeringat dingin. Para pria itu menghancurkan semua barang-barang yang ada di kamar karena kesal tak menemukan Rere mau pun Gesa. Salah satu orang penjahat curiga dengan lemari. Ia membuka pintu lemari. Tia dan Rere menutup mulut dengan tangan agar penjahat itu tak merasakan napas mereka. Langkah pria itu terhenti. Mencoba menyingkirkan pakaian. Tia dan Rere gemetar dan berharap pria pergi.
Suara kegaduhan terjadi diluar. Pria yang akan membongkar isi lemari beralih ke luar.
"Apa nak tengah berlaku?"
"Itu bos." Anak buahnya kaget melihat seorang wanita dan pria menyandera salah satu anak buah dengan meletakkan pistol di atas kepalanya.
"Siapa kalian?"
"Aku yang harus bertanya siapa kalian? Beraninya kalian mengobrak-abrik tempat ini." Perempuan itu menatap sinis.
"Perempuan jangan bermain-main dengan kami."
"Aku tidak pernah main-main. Kalian kenapa ada disini?" Perempuan itu mencengkram kuat leher sanderanya. Ia ingin memberikan si penjahat shock terapi.
"Jangan ikut campur. Korang tak tahu siapa kami. Jika kau masih saja turut campur. Nyawa korang dalam bahaya."
"Persetan dengan kalian." Si perempuan meludah.
"Berani sekali kau."
"Tentu saja aku berani." Perempuan itu menembak kaki si bos. Semuanya kaget dengan tindakan nekat perempuan itu.
Tia dan Rere shock mendengar suara tembakan. Mereka berpelukan takut.
"Tia kita harus kabur dari sini. Kita sudah tak aman disini. Mereka sudah menemukan keberadaan gue."
"Baiklah. Kita kabur dari balkon. Kemana kita pergi?"
"Ke rumah sakit saja. Tempat perawatan Gesa."
Kedua dengan hati-hati keluar dari lemari. Membuka jendela kamar pelan agar tak menimbulkan suara. Tia dan Rere melompat dari satu lantai ke lantai lainnya. Keduanya menyetop taksi ketika sampai di bawah. Sementara di apartemen Rere telah terjadi huru-hara.
"Syaitan kau." Pria itu memegang kakinya yang terluka. "Beraninya kau menembakku. Bunuh dia."
Perempuan itu tak ketakutan sama sekali. Memberikan tembakan peringatan. Tak ada yang berani mendekatinya. Ketika salah satu anak buah pria itu akan melepaskan tembakan perempuan itu lebih gesit menembak duluan. Satu peluru bersarang di kepala pria itu.
Para penjahat shock melihat teman mereka telah jadi mayat. Panik dan ketakutan menyadari perempuan di depan mereka bukan orang sembarangan. Membawa mayat teman dan bos mereka yang terluka dari apartemen. Perempuan itu juga melepaskan sanderanya. Pria itu lari terbirit-birit mengejar temannya.
"Puan, anda membuat saya takut." Uncle Mutu bersuara.
"Kenapa mereka ingin menghabisi Rere? Dimana mereka?" Dian berlari ke dalam kamar. Ia melihat jendela terbuka.
"Mereka sudah kabur," cicit Dian lesu.
"Tadi mereka ada disini Puan."
"Mereka kabur Uncle. Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Rere membawa perempuan yang bernama Gesa tinggal disini. Perempuan itu mengalami depresi."
"Apa pria tadi ada hubungan dengan perempuan bernama Gesa?"
"Sepertinya begitu Puan. Rere aneh akhir-akhir ini. Tadi saja kekasihnya hampir rogol dia. Untung saja Tia datang tepat waktu."
"Rogol? Apa itu?"
"Memperkosa Puan."
"Ya Tuhan."Dian tepuk jidat. "Sepertinya Bara memiliki ikatan batin dengan Rere. Pantas saja dia memintaku untuk melihat keadaan adiknya. Ada yang tak beres. Kenapa Rere tidak lapor kejadian ini pada abangnya? Kenapa diam saja?"
"Rere tidak mau menambah pikiran Tuan Bara. Saya rasa itu Puan."
"Kita harus cari Rere dan Tia. Mereka harus segera dipulangkan ke Jakarta. KL sudah tidak aman bagi mereka."
"Lebih baik seperti itu Puan. Bahaya disini."
"Kita harus mencari mereka."
Bukannya aman di rumah sakit. Para bandit itu sudah mengetahui keberadaan Gesa. Seorang pria mencekik leher Gesa hingga perempuan itu tak bisa bernapas.
"Korang terlalu banyak tahu. Korang harus mati."
"Jangan bunuh saya." Gesa menggeleng. Tangisannya pecah mengingat kematian Ananya di depan matanya. Gesa teringat ayah dan ibunya.
Tia dan Rere yang baru masuk kamar Gesa kaget mendapati pria itu mencekik leher Gesa hingga perempuan itu melayang.
"Tolong….Ada percobaan pembunuhan." Teriak Tia memanggil orang-orang di rumah sakit.
"Syaitan ini perempuan." Pria itu mengamuk. Melepaskan cengkraman pada Gesa. Pria itu keluar dari jendela.
Perawat dan pihak keamanan rumah sakit segera mendekati Gesa yang kehabisan napas.
"Dimana banditnya?" Petugas keamanan bertanya pada Tia dan Rere.
"Keluar dari jendela."
"Gesa awak tak apa?" Rere menanyakan kondisi Gesa.
"Kakak macam ini nasib saya." Gesa menangis tergugu, memeluk Rere erat.
"Rumah sakit ini sudah tak aman bagi awak. Kita harus pergi dari sini." Rere menatap Tia meminta pendapat.
"Benar. Kita harus pergi dari sini."