"Gue baik-baik saja Tia. Gue masih bisa mengontrol diri gue. Cepatlah bawa sebelum dia ngamuk lagi," usir Rere halus.
"Baik Re." Tia segera pergi meninggalkan Rere. Baru beberapa langkah Tia kembali menoleh ke belakang. "Jika ada apa-apa hubungi gue. Ok?"
"Tenanglah. Gue bakal hubungi lo." Rere berusaha tersenyum.
Dua jam kemudian Tia kembali ke apartemen. Rere belum tidur karena menunggu kepulangan Tia.
"Gimana Gesa?" Tanya Rere penasaran.
"Lo belum tidur?" Tia terperangah karena Rere menunggunya. Tak biasanya Rere menunggunya, biasanya Rere sudah meninggalkan Tia untuk berlayar ke pulau kapuk.
"Belum Tia."
"Kenapa?"
"Gue enggak bisa tidur. Gue mau pindah tempat magang Tia."
"Kok gitu?"
"Pria itu tahu jika gue anak magang di kantor dia."
"Kok bisa?"
"Gue keceplosan bilang kenal dia. Gue enggak mau ketemu dia lagi. Gue takut."
"Jika lo hamil anak dia gimana Re?"
"Jangan bahas itu Tia. Gue enggak mau dengar." Rere menutup kedua telinganya. Ia menangis pilu di dalam pelukan Tia. "Gue sudah tidak suci. Gue kotor Tia. Gimana jika Angga tahu jika gue telah tidur dengan lelaki lain?" Napas Rere terasa sesak. Dadanya naik turun. Deru napasnya tak beraturan. Entah kenapa niat baiknya malah berujung petaka. Ia malah terjebak bersama Dino. Mereka malah menghabiskan malam bersama. Saling melepaskan dan menuntaskan syahwat.
"Gue takut Angga kecewa sama." Rere menangis terisak-isak. Mata dan hidungnya memerah karena menangis.
"Jangan pikirkan Angga. Tenangkan dulu diri lo Re. Lo terguncang dengan peristiwa malam itu. Tenang ya Re." Tia memeluk Rere erat, seolah tak mau melepaskan.
"Gue menghindari Angga. Gue udah enggak layak buat dia. Dia pantas cari cewek yang lebih baik dari gue. Gue kotor dan hina."
"Jangan bilang begitu Re. Yuk kita tidur," ajak Tia ke kamarnya.
Paginya mentari bersinar dengan cerahnya. Rere kembali tidur ketika Tia berpamitan ke kantor tempatnya magang. Mereka berdua sedang magang syarat untuk tugas akhir dari kampus. Rere meminta Tia mengurus kepindahan tempat magang. Untung saja koneksi orangtua Rere kuat sehingga mudah melakukannya.
Rere masih memejamkan mata. Masih belum bisa melupakan peristiwa malam itu. Mengutuk diri sendiri karena bersikap bak wanita nakal malam itu. Tak menampik jika malam itu menikmati apa yang dilakukan laki-laki itu. Rere menggeleng, sadar jika yang dilakukannya karena pengaruh obat. Andai saja waktu bisa diputar mungkin ia tak akan membantu pria itu.
Tanpa Rere sadari seorang pria masuk ke dalam apartemennya. Pria itu berjalan terhuyung efek minum wine. Ia melangkahkan kaki menuju kamar Rere. Pria itu membuka kamar tamu, kosong…..Tak ada orang.
Pria itu membuka pintu kamar utama. Tersenyum manis kala melihat Rere masih tertidur di bawah selimut bak bayi. Pria itu menyingkap selimut Rere lalu berbaring di sebelahnya. Sang pria mencium aroma rambut Rere.
"Kenapa kamu menghindari aku Re? Aku kangen sama kamu sayang. Kenapa beberapa minggu ini kamu sangat aneh?" Pria itu mendekat lalu bergerak untuk mencium bibir Rere.
"Angga apa yang kamu lakukan?" Rere terbangun dari tidurnya karena sentuhan pria itu. Ia mendorong pria itu hingga jatuh dari ranjang.
"Re…." Angga menangis seperti anak kecil. "Kenapa kamu menghindariku?"
"Angga kamu mabuk?" Rere menutup hidungnya. Bau alkohol sangat menyengat.
Angga memeluk tubuh Rere erat. Ia hujami pipi Rere dengan ciuman. Bukannya senang, tapi Rere malah jijik. Ia menampar Angga hingga pria itu terhuyung.
"Pergi lo dari sini!" Rere mengusir Angga.
Angga kembali mendekatinya. Rere mundur menghindari Angga.
"Kenapa kamu berubah Re? Kamu sudah cuekin aku Re. Apa salah aku Re?"
"Lo enggak salah apa-apa. Pergi lo dari sini."
"Kenapa?"
"Bukan urusan lo."
"Tentu urusan aku karena aku pacar kamu."
"Aku minta putus. Kita sudah tak punya hubungan lagi." Spontan Rere minta putus.
"Kamu selingkuh dari aku? Kamu sudah punya cowok lain?" Angga semakin teler. Tubuhnya semakin linglung. Ia kembali mendekati Rere namun perempuan itu melemparkan guling.
"Pergi dari sini." Teriak Rere histeris. Mata Angga menyeringai seperti pria hidung belang. Tatapan pria itu seakan memakannya bulat-bulat. Rere ketakutan, menjaga jarak dari Angga tanpa sadar tubuhnya membentur dinding.
"Kamu diam berarti kamu benar-benar selingkuh." Angga marah. Pria itu melempar semua barang yang ada di atas nakas.
Rere semakin ketakutan melihat sikap Angga. Pria itu tidak seperti kekasih yang ia kenal. Rere menangis sesenggukan. Trauma itu masih ada.
"Kamu itu milikku. Tidak boleh dimiliki orang lain. Aku akan jadikan kamu milikku."
"Tidak," pekik Rere berlari menuju pintu keluar. Angga yang ia kenal sudah berubah menjadi monster.
Angga berhasil mencegat Rere. Ia memeluk Rere dari belakang lalu mengangkatnya. Gadis itu di lempar secara kasar ke atas ranjang. Angga membuka kaosnya, memperlihatkan roti sobeknya.
Angga menindihnya. Berusaha mencium Rere meski gadis itu selalu menghindar. Rere bahkan menampar Angga. Bukannya berhenti pria itu semakin brutal. Ia melepas piyama bagian atas Rere secara paksa. Rere menyilangkan kedua tangannya di dada ketika Angga berhasil melepaskan pakaian atasnya.
"Jangan lakukan itu." Rere menghiba.
"Kamu hanya milikku." Hardik Angga tajam. Matanya berkilat-kilat seperti elang yang siap menerkam mangsa.
"Jangan Angga. Kamu orang baik," cebik Rere ketika Angga mencium bibirnya dengan paksa.
"Toloooooooooooooooooooong," teriak Rere dengan keras. Angga membelai seluruh tubuhnya bahkan pria itu meremas dua gunung kembar. Tangis Rere makin histeris. Merasa terhina dan dihinakan kekasihnya.
"Tidak ada yang akan yang menolongmu. You're mine."
Angga bersiap melepaskan celananya. Rere semakin histeris dengan kenekatan Angga. Kecewa dan terluka kekasih yang selama ini sayangi ternyata bajingan. Meski pria itu tengah mabuk Rere tak bisa memakluminya.
Duarr.........
Seseorang memukul kepala Angga dengan vas bunga hingga pria itu pingsan.
"Tia." Rere menangis haru. Bangkit dari ranjang lalu memeluk sahabatnya erat.
"Jangan takut semua baik-baik saja." Tia mengelus kepala Rere. "Aku akan bereskan sampah ini."