Akhirnya sekelompok orang bertopeng itu berhasil dihentikan berkat pria itu dan juga unit bantuan dari istana. Aku berlari menuju pak Nam yang sudah meringis menahan sakit. Para pengawal sigap membawa pak Nam keluar dari lingkaran sekolah ini. Dua orang pengawal mengawaliku masuk ke dalam mobil. Mobil berjalan dengan cepat, yang membuatku kehilangan momen untuk menatap si pria itu.
"Apa yang terjadi?" Tanya ayahku. Pak Nam berlutut di bawah kaki ayahku, meminta maaf karena tidak dapat lagi menjagaku. Aku tau apa artinya itu. Eksekusi.
***
Aku berlari menuju ke ruang bawah tanah. Wajahku pucat, dan dipenuhi keringat. Aku terjatuh di anak tangga terakhir. Aku memegang lututku, meringis kesakitan. Asisten rumah tangga berlari kecil ke arahku. Sebelum sampai, aku berdiri dan berjalan menuju ruang bawah tanah.
Suasana ruang bawah tanah sangat suram. Ayahku duduk di kursi agung layaknya duduk di singgasana sambil menonton pertunjukan tari erotis.
Seluruh pengawal yang mengawaliku saat di sekolah tadi berdiri di atas panggung dan di bawah tali leher. Aku mencari seseorang dan berharap dia tidak di sana. Aku mengelilingi panggung itu. Tiba di belakang panggung aku menangis histeris.
"pak Nam apa yang kau lakukan! Ini bukan salahmu!" Teriakku. Pak Nam hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca. Ayahku yang melihatku langsung melotot. Seakan ingin mengatakan DIAM! Aku berjalan menuju ke arahnya, bersujud di kakinya dan berkata, "Mereka tidak bersalah. Aku mohon jangan lagi kau menumpahkan darah di rumah ini. Aku mohon."
"Satu!" seru ayahku memerintah. Pengawal pertama maju ke arah tali dan menyangkutkan lehernya pada tali itu. Aku menutup mulut, menggeleng. Air mata sudah mengalir deras membasahi leherku.
"Mati!" seru ayahku lagi. Pria itu melepaskan dirinya, menggeliat kesulitan bernapas. Aku yang tidak bisa melakukan apa-apa hanya berdiri menutup mulut. Pria pertama sudah meninggal.
"Dua!" seru ayahku lagi. Lagi-lagi pengawal kedua melakukan hal yang sama seperti tadi. Pria kedua meninggal.
"Ketiga!" seru ayahku lagi, yang bersemangat dengan eksekusi ini.
"Tunggu!" teriak seseorang menghentikan. Pak Nam. Pak Nam, maju dan berkata, "Bisakah aku mempercepat kematianku? Aku sudah cukup lama untuk menderita." Mendengar kalimat-kalimat itu aku tercengang, tak menyangka dengan perkataan pan Nam. Air mataku semakin tidak bisa berhenti. Hatiku ingin membawanya lari, namun kakiku kaku, tidak dapat merespons perintah dari otakku.
Ayahku terdiam untuk beberapa saat hingga akhirnya berkata, "Mati!"
Sekejap mata, pak Nam langsung mengakhiri hidupnya. Aku menangis histeris, berteriak, "Jangan!" Tubuh pak Nam sudah menggantung lemah. Aku berlari mendapati tubuhnya.
"Bangun!" Kataku, sambil menggoyangkan tubuhnya.
"Prinsip utama dan terutama X line adalah gagal sama artinya membunuh dirinya sendiri." Kata ayahku datar. Aku mengusap air mata di pipiku.
"Apa kau manusia? Tega sekali kau yang bahagia melihat para pengawalmu mati seperti itu! Salah mereka apa ha!" teriakku.
"Ini semua demi kau anakku."
"Diam! Jangan melemparkan batu kepadaku!"
"Ayah tidak pernah melakukan hal itu."
"Mereka tidak pernah bersalah! Mereka selalu menjagaku layaknya seorang ayah kepada anaknya. Terlebih lagi pak Nam!" kataku mengakhiri emosi ini. Aku berlari ke taman. Aku tidak tahan berlama-lama melihat tubuh pak Nam.
***
Seminggu berlalu, aku tidak pernah keluar dari kamar. Aku menyesal telah mengenal pak Nam. Kematiannya membebaniku. Seharusnya aku tidak datang ke sekolah pada hari itu. Seharusnya aku membawa lari pak Nam. Seharusnya aku melawan ayahku. Seharusnya aku membunuh ayahku!
Aku benci kata 'seharusnya' tapi kenapa sekarang aku lebih sering menggunakan kata 'seharusnya'. Aku benci diriku yang bodoh ini! Aku benci kehidupanku yang menyedihkan ini!
Setelah eksekusi, jasad pak Nam langsung di bakar dan abunya tidak akan pernah di tabur. Dan tidak akan ada orang luar yang mengetahui kematiannya, sehingga ia tidak dapat untuk di kenang.
Aku berjalan keluar kamar, menuruni anak tangga. Tanpa sengaja aku melihat ke arah ruang tamu. Ada seorang pria yang berdiri di depan ayahku. Aku mengenalnya. Iya, aku mengenalnya. Lari dari jurusan, aku mendekati mereka berdua.
"Apa kau siap menjadi Mafioso?" tanya ayahku kepada pria itu. Pria itu mengangguk mantap. Ayahku berdiri, tersenyum kepadanya, dan berkata, "Untuk tugas pertamamu, kamu urus narkotika yang akan datang dari Kanada." Pria itu berdiri, tersenyum, dan menundukkan kepalanya kepada ayahku. Sekejap mata, senyuman pria itu memudar, setelah melihatku yang menatapnya tajam.
***
"Aku pikir kau lain dari yang lain, tapi ternyata tidak ada bedanya." Kataku kepada pria itu. Pria itu tersenyum, mengelus rambutku dan berkata, "Parasit dari parasit."
Aku melepaskan tangannya dari kepalaku. Kepalaku semakin panas karena tangannya.
Seketika aku menyesal karena telah mencintainya. Aku pergi meninggalkannya.
Dia menghadangku dan berkata, "Aku mencintaimu." Apa ini? Mafioso baru sudah berada ngadi-ngadi? Baiklah ini keputusanku. Aku menatapnya tajam lalu berkata, "Aku membencimu!"
"Apa karena aku Mafioso?" tanyanya dengan suara keras. Aku membalikkan badan lalu tersenyum kepadanya. "Dasar gila!" makiku dalam hati.