Selama di perjalanan, aku memikirkan apa yang sebenarnya ada di hati Delan. Apa dia menyukaiku? Apa yang dia suka dariku? Apa karena harta? Tahta? Walaupun jarang keluar begini, aku bukanlah wanita polos! Aku tidak mudah di bodohi.
"Pak, berhenti di simpang depan saja ya," perintahku sambil menunjuk tujuanku. Aku keluar setelah memberikan bayaran taksi. Aku berjalan ke sebuah toko kerlap kerlip.
"Cila! Cari barang itu ya? Tempahan khusus?" panggil serta tanya temanku kepadaku. Namanya Luna, dia pemilik toko kecantikan paling famous di kota ini.
"Iya, pesananku sudah selesai?" sahutku. Wanita berambut pirang itu mengangguk, lalu sigap mengambil perananku.
"Sesuai dengan pesanan, cat kuku merah maron, khusus untuk my queen yang paling can... tik sedunia." cetus Luna memujiku. Jangan heran dengan wanita ini, dia emang heboh, lebay setinggi pohon kelapa.
"By the way, bodyguard kamu yang minggu lalu itu ke mana? Kok gak nongol? Lama-lama aku jadi sering kepikiran sama dia deh," lanjut Luna, basa basi.
Beberapa minggu lalu aku kemari dengan Delan untuk mengecat dan juga memesan cat kuku warna merah maron, dengan bahan khusus. Saat itu Delan datang dengan setelan jas hitam, dengan kemeja di keluarkan separuh, dan dengan rambut di tata rapi. Tentu saja, dengan penampilan seperti itu, Delan mampu memikat sejuta kaum hawa. Termasuk aku.
"Oh... Delan. Dia sedang ada tugas dengan ayahku. Lagi pula dia tuh bukan bodyguard aku tau." Kataku, menjelaskan kepada Luna. Luna mengangguk cemberut. Aku rasa kesal karena tidak bisa bertemu dengan Delan. Eh... Delan itu kan punya aku!
"Oh iya. Cila, sebenarnya pekerjaan papa kamu apa sih?" tanya Luna sambil mengecat kukunya. Aku tertegun. Apa yang harus aku jawab? Diam sebentar.
"Permisi!" kata seseorang yang baru saja masuk. Seorang pria dengan hoodie hitam sama denganku. Ya, tentu saja Delan. Melihat kedatangannya, aku menelan ludah. Ngapain lagi sih nih anak datang?
"Eh, Delan ya...! Kenalin nama aku Luna." Sapa Luna yang tersenyum, sambil menyodorkan tangan. Delan tersenyum, lalu mengangguk sebagai balasan dari sapaan Luna. Luna gugup, pelan-pelan, di tariknya tangannya, lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
"Nona Cila, anda harus pulang sekarang juga. Ini perintah dari tuan," ucap Delan kepada ku. Aku mengabaikannya, mengambil pesananku lalu membayarnya ke kasir. Luna yang sudah malu, tidak berani berbicara.
***
"Ngapain sih jemput-jemput segala! Aku bisa pulang sendiri," bentakku memarahi Delan. Delan berhenti di depanku, mengelus rambutku, tersenyum, lalu berkata, "Aku mengkhawatirkanmu." Aku yang mendengar jawaban itu, terkaku. Kenapa? Kenapa aku? Kenapa harus dia? Aku? Pikiranku bercampur aduk, entah bagaimana.
Aku mengikuti Delan yang sudah berjalan jauh. Aku bingung harus bagaimana. Apakah aku harus membalaskan perasaannya? Tidak! Pertanyaan yang benar adalah, apakah aku bisa menerimanya? Dia seorang mafioso, satu-satunya makhluk yang paling ku benci, selain parasit, ayahku. Aku benci situasi begini.
Aku duduk di kursi belakang, Delan di sampingku. "Pak kita ke rumah ya." Dengan tegas namun sopan, Delan memerintah. Aku menatap Delan, dan sepertinya aku mencium bau sesuatu. Parfum wanita.
"Pelacur mana yang kau pilih?" tanyaku. Ya, aku menggunakan kata-kata yang kasar.
"Ngomong-ngomong, kamu suka sekali ya cat kuku warna merah maron? Maknanya apa sih? Pasti ada makna di balik itu," ucapnya mengalihkan. Dahiku mengerut, dan mataku menyipit.
"Pak! Berhenti!" ucapku lantang, kepada sopir pribadi ayahku. Dalam hitungan detik, mobil berhenti, lalu aku keluar. Delan mengikuti, semakin cepat langkahku, semakin cepat pula langkah Delan. Aku berlari, menutup rambutku dengan topi hoodie. Tak sadar ternyata aku menangis. Delan terus mengejarku, namun tidak berteriak untuk menghentikanku. Kenapa? Kenapa tidak berteriak? Hentikan aku!
Aku berhenti di pinggir sungai. Ramai orang memperhatikanku. Satu dua orang menunjuk-nunjuk aku. Aku tidak peduli. Aku mengusap mataku dengan lenganku. Delan berhenti sekitar tiga meter di belakangku. Aku berbalik arah, menatap wajah Delan lemah. Mata kami berlaga, ingin berbicara namun tak punya kata.
Beberapa menit kemudian, aku berbicara lirih, "Ap yang kau pikirkan tentang aku? Mengapa kau memberikan begitu banyak perhatian kepadaku?" Delan menatapku, matanya yang berbinar mengisyaratkan rasa kasihannya akan aku.
"Aku mencintaimu Cila."
"Atas dasar apa?"
"Karena kau Cila. Seorang gadis yang terjebak dalam gelapnya dunia. Seorang yang di lahirkan dari rahim pelacur. Seorang gadis yang terpaksa hidup bersama parasit dan menjadi parasit. Dan aku ingin membawamu pergi jauh dari itu semua," Kata Delan. Semua yang dikatakan Delan benar. Tentang hidupku yang menyedihkan. Itu benar.
"Aku benar-benar mencintaimu Cila. Sejak pertama kali kita bertemu. Mata hitam yang berbinar, rambut hitam pekat bergelombang, wajah tirus, bibir merah. Semuanya, baik luar maupun dalam hatimu, aku menyukainya. Kau, beda dari yang lain. Kau wanita yang tangguh. Kau wanita yang hebat. Tidak banyak wanita yang bisa bertahan di posisi seperti ini."
Aku diam, tak siap kata. Aku menangis dan berkata, "Lalu, mengapa kau ikut bersama ayahku ha! Dasar otak mesum!"
Delan mencium hoodienya, lalu tertawa kecil. "Ah... Bau parfum ini. Parfum ini punya adikku. Yang kupakai sebelum berangkat bersama tuan. Parfumku habis, dan tidak sempat membelinya, karena buru-buru. Dan di tempat itu, aku tidak melakukan apa-apa. Aku bahkan tidak masuk. Aku hanya mengawal tuan saja. Tidak lebih." Jelasnya panjang lebar. Seketika air mataku berhenti menetes, aku mengusap sisa air mataku dengan jemariku.
"Apa aku bisa mempercayaimu?" tanyaku. Delan tersenyum sambil mengangkat bahunya.
"Tunggu! Apa kau cemburu? Cemburu jika aku bermain wanita?" tanya Delan yang baru saja peka.
"Bukan cemburu! Siapa sih yang suka, kalau gebetannya main cewek?" sahutku. Tanpa sadar membuka kartuku.
"Apa gebetan? Apa kau menyukaiku?" tanya Delan sambil mengorek telinganya.
"Bukan itu!" teriakku.
Delan mendekat, diam sejenak di hadapanku. Tersenyum, lalu berkata, "Cila? Apa kau mau, kita jadian?" Aku menatap mata Delan lamat-lamat. Jika selama ini aku menjumpai mata licik, munafik, tulus belaka. Maka ini sebaliknya. Terpancar ketulusan di matanya, yang sudah pasti sangat jarang ku temui.
Aku terdiam untuk sesaat, hingga akhirnya dapat berbicara, "Tidak!" Delan menelan ludah. Kaget mendengar jawaban yang baru saja keluar dari mulutku. Delan membalikkan badan, berjalan meninggalkanku. Aku mengikutinya, aku mengerti perasaannya.
Aku berlari kecil, ku peluk tubuhnya dari belakang dan berkata, "Tidak mungkin aku menolak pahlawanku. Pria yang menyelamatkanku, yang melindungiku setiap saat. Tidak peduli saat itu hujan badai maupun musibah kekeringan. Dia tetap bersamaku."
Delan melepaskan dekapanku, menatapku dalam. Air matanya menetes. "Aku bahagia Cila," katanya singkat. Tanpa aba-aba, pria itu langsung mendekapku di tubuhnya. Lagi.
Aku rasa ini keputusan yang tepat. Aku mengubah cara pandangku. Tidak semua orang sama. Buruk pekerjaannya bukan berarti dia juga buruk bukan?