Chapter 2 - 1

Jes... jess... jesss...

Bunyi kereta terdengar nyaring. Dua belas jam perjalanan. Dan sekarang perlahan kereta berhenti distasiun yang dituju.

Dia tak bisa tidur semalaman. Makanya pagi ini matanya terlihat mencekung kontras dengan kulitnya yang kecoklatan karena sinar matahari.

Anda sudah sampai di Stasiun Senin... Stasiun Senin...

Pemberitahuan dari pusat informasi stasiun menggema di telinganya. Menambah galau isi kepalanya. Tangannya masih terkepal kaku dan berat. Belum lagi suara para penumpang yang krasak krusuk dan bau makanan yang membasi membuat perut lelaki dengan seragam coklat itu sedikit mual.

Tentu saja karena dia juga belum makan nasi dari sore. Hanya segelas air mineral dan sepotong lemper yang diberikan wanita yang duduk didepannya. Tak ada nafsu makan sama sekali semenjak mendapat telpon dari adiknya. Memikirkannya saja sudah membuat perutnya kembali mual.

Jika permasalahan yang akan dia hadapi cuma menyangkut dirinya sendiri. Tentu saja dia dapat menyelesaikannya dengan kepala dingin dan cekatan.

Tapi jika permasalahan sudah menyangkut orang lain dan keluarganya. Dia tak bisa gegabah.  Apalagi semua orang sudah berkumpul dan undangan sudah disebar luas. Dia tak bisa mundur atau semuanya hancur.

Bersyukur kali ini semua orang belum ada yang mengenal calon istrinya. Karena dia memang sudah tak tinggal dikota ini.

Tidak seperti dulu saat dia bersama Pingkan. Semua orang mengenal mereka. Kerabat dan teman-teman tau hubungan merja walau akhirnya tak bisa mereka bayangkan.

Mengusap wajahnya pelan. Andre mengecek ponselnya lagi. Rentetan pesan yang tak ingin dia baca dan deretan telpon dari orang-orang yang dia sayangi.

Nampak raut wajah kecewa itu. Tapi saat ini dia sedang tak ingin berdebat ditelpon. Tak ada gunanya dan tak ada penyelesaiannya. Sudah jelas dia mengatakan kemarin sore pada mereka. Bahwa pagi ini dia akan sampai dirumah tepat waktu.

Lelaki gagah itu masih mengenakan seragam coklat kebanggaannya. Tak sempat berganti pakaian, hanya dilapisi sweater abu-abu hadiah dari pacarnya saat jalan-jalan ke Korea. Entahlah apa masih bisa disebut pacarnya saat ini. Di saat yang paling penting bagi mereka.

Wajah lelah itu tak mengurangi ketampanannya. Andre menatap lagi perempuan yang duduk didepannya. Perempuan itu mulai mengemasi barang-barangnya. Melipat jaket dan merapikan tasnya.

Tentu saja mereka menjadi penumpang terakhir yang turun. Semua krasak krusuk dan manusia yang berjejal berdesak-desakan berebut ingin keluar lebih dulu sudah turun.

"Kamu siap?" Ujar Andre pelan.

Perempuan didepannya mengangguk pelan. Dandanan menor dan seksi yang biasa dia gunakan sudah berganti dengan balutan dress panjang dan hijab yang menutupi kepalanya sampai ke pinggulnya. Dia nampak berbeda 180 derajat dari biasanya. Orang tak akan dapat dengan mudah mengenali dirinya yang sekarang.

"Jangan gugup. Kamu hanya perlu memainkan peran ini sebentar." Ujar Andre lagi padanya lagi.

Perempuan itu mengangguk sebentar dan tersenyum menenangkan. Dia sudah biasa, pekerjaan apapun sudah dia lakukan. Dia tak pilih-pilih atau memang takpunya pilihan lain. Dia akan melakukan apa saja demi bisa mendapatkan uang. Termasuk yang dilakukannya saat ini.

Bukannya sekarang yang terlihat gugup lelaki itu sendiri. Sejak semalam dia menawarkan banyak makanan yang dibelinya di stasiun. Tapi tak satu pun dari mereka disentuh Andre. Lelaki itu hanya berulang kali nampak melamun dan mendesah.

Berat memang menjadi dia. Pakaian yang dipakai dan pangkat yang menggantung dipundaknya menjadi beban terberatnya. Dia mengerti dengan sangat bagaimana pernikahan seseorang dari lingkungan mereka. Karena dia bagian dari masa lalu itu.

***

"Nak..."

Tubuh tua itu memeluk erat anak lelaki satu-satunya. Dia menangis...

"Ibu." Andre balas memeluknya. Mengusap punggung tubuh tua itu.

Ya Tuhan sejak kapan tubuh ibu jadi sekecil ini batinnya.

"Jangan khawatir bu. Semua akan baik-baik saja. Andre tak akan mengecewakan ibu lagi."

Bayangan perceraiannya dengan Pingkan tiga tahun yang lalu. Lalu berlanjut dengan pertikaian mereka soal anak, Andre dan keluarganya tak bisa menemui putri semata wayangnya sudah membuat ibunya menderita.

"Tapi nak, orang tua Magdalena belum menemukan gadis itu sampai sekarang.  Sedangkan ijab kabul mu harusnya berlangsung dua jam lagi." Suara itu mengandung kekecewaan yang jelas.

"Bu..."

"Salahmu juga bang. Harusnya abang dari jauh-jauh hari cuti dan pulang kesini. Jadi jalang itu tak akan mempermalukan keluarga kita." Cibir Noni.

Perempuan beranak satu itu geram bukan main. Geram karena lagi-lagi kakak kandungnya salah memilih wanita.

Apakah dia bodoh? Dengan tampang dan jabatannya itu wanita mana yang tak tergoda dengannya. Tapi kenapa lagi-lagi nasibnya sangat buruk soal perempuan.

"Tadinya abang pikir, lebih baik menghabiskan cuti dua Minggu bersama-sama setelah menikah. Abang tak..."

"Ah sudahlah. Tak ada gunanya membahas ini. Sekarang apa keputusanmu yang kau bilang semalam." Nana, kakak perempuan satu-satunya Andre menyela.

Semua yang berada diruangan itu terdiam. Kalau saja ayah mereka masih hidup. Mungkin saja dia sudah langsung mengumumkan pembatalan pernikahan tanpa perlu menunggu Andre datang.

"Mbak tolong panggil kesini keluarga Lena sekarang juga. Hanya keluarga inti, ayah ibu dan kakaknya saja."

"Apa rencanamu? Kami harus tau dulu!" Tegas Nana lagi. Wajahnya terlihat jelas sedang tegang.

Akad nikah Andre direncanakan berlangsung jam tiga sore dilanjut  pesta disebuah hotel jam enam malam. Kalau memang mereka harus mengumumkan pembatalan. Waktunya masih sempat pikir Nana.

"Aku tetap akan menikah!" Tegas Andre.

"Apa!!!" Serempak Bu Mirna, Nana dan Noni berteriak.

"Gimana gimana??" Noni berjalan maju dengan tampang marah sambil mengendong bayinya yang masih tertidur lelap.

"Heii sadar kamu!" Teriak Nana.

"Dengar dulu!" Andre mengeram.

Lelaki itu duduk dipinggiran ranjang dengan kepala tertunduk. Memikirkan ulang apa yang menjadi rencananya sejak awal. Dia tak ingin gegabah, juga tak ingin menyesal. Resiko yang dihadapinya pun juga terlalu berbahaya. Tapi dia tak ingin mundur. Harga dirinya, Harga diri keluarganya dan dendamnya pada Lena yang sudah kabur darinya.

Dia menatap sekeliling kamar. Kamar yang dia tempati sejak kecil. Sudah dua kali dijadikan kamar pengantin seperti ini.

"Gadis berjilbab yang Andre bawa namanya Mitha. Aku akan menikahinya nanti siang."

"Apa?!"

Lagi... Koor teriakan mengema dikamar itu. Mereka semua tak percaya dengan apa yang merrka dengar. Tanda tanya besar bercokol didalam kepala mereka. Bagaimana bisa???

"Lalu bagaimana dengan keluarga Lena. Kita harus bagaimana?"

"Mereka mau tak mau harus setuju duduk di pelaminan sebagai keluarganya Mitha. Andre akan berbicara dengan mereka nanti. Kalau mereka tak setuju, dan mau mundur juga silakan. Tapi jangan sedikitpun mengacaukan rencana pernikahanku hari ini."

"Ya Tuhan..."

Bu Mirna terduduk lemas dikursi Dia memegangi kepalanya yang makin berdenyut sakit. Sejak semalam dia sudah tak bisa makan, memikirkan nasib putra kesayangannya. Kenapa dia begitu sial, padahal Andre lelaki yang baik hati. Dosa apa yang sudah mereka lakukan hingga Andre benar-benar tak beruntung dengan perempuan.

"Buu..." Andre dengan cepat bersimpuh dihadapan ibunya. Mengusap punggung tangannya, merasa berdosa sudah membuat wanita tua itu kembali kecewa.

"Maafkan Andre Bu."

Dia menunduk dipangkuan Bu Mirna.

Sebenarnya dia sama terguncangnya. Hatinya hancur berkeping-keping. Dia sungguh mencintai Magdalena. Selama ini dia yakin gadis itu juga sangat mencintainya dan bisa mengimbanginya. Sebagai seorang istri dan sebagai pendamping dari seorang aparatur negara.

Magdalena seorang gadis yang cantik lulusan sarjana diluar negeri, punya karir yang cemerlang, selain itu tutur kata dan sifatnya selama ini mencerminkan seseorang kepribadian yang baik walaupun mereka LDR.

"Bukan salahmu nak." Belai Bu Mirna sayang.

"Kamu hanya sedang tak beruntung. Ibu yakin suatu hari kamu akan diberikan pendamping yang benar-benar menyayangimu tanpa pamrih. Yang hanya melihat kebaikanmu tanpa menoleh masa lalumu."

"Lalu saat ijab kabul nama siapa yang kamu sebut. Nama perempuan brengsek itu atau nama gadis yang kamu bawa? Sedangkan buku nikah kalian nanti sudah bertuliskan nama Magdalena." Cemas Noni. Banyak yang dikhawatirkannya.

"Maka dari itulah aku akan bicarakan soal ini dengan orang tua Lena. Mau tak mau mereka harus setuju dengan semua rencanaku."

TBC