"Oke, kalian semua bisa kembali. Lakukan seperti yang aku katakan, pilah informasi di tangan kalian. Dan yang terbaik adalah mengirimkannya pada mereka sore hari ini." Chandra menatap semua orang.
Linda ingin berbicara lagi, tetapi tangannya dipegang oleh Pak Wijaya di samping. Pria itu memberinya pandangan tegas sebelum Linda bisa mengucapkan kata-kata itu. Namun, Linda adalah polisi cantik yang terkenal dalam sistem kepolisian Surabaya. Dia tidak peduli dengan organisasi rahasia manapun. Jika kasus ini diserahkan pada orang lain, dia tidak akan tinggal diam. Tapi tentu saja, bahkan jika dia memiliki ide ini, dia tidak akan sebodoh itu untuk mengatakannya. Penyelidikannya harus dilakukan secara rahasia.
Linda sudah membuat rencana dan siap menyelidiki kasus ini, terutama Mahesa. Sekarang bahkan organisasi rahasia negara telah terlibat. Itu menunjukkan bahwa kasus ini akan lebih rumit, dan jika penyelidikan terus berlanjut, lebih banyak informasi yang dapat diperoleh.
"Pak Wijaya, Linda, tunggu sebentar." Saat semua orang keluar, Chandra menghentikan mereka.
"Ada apa?" Pak Wijaya memandang Chandra dengan bingung.
"Duduklah." Chandra memberi isyarat kepada keduanya untuk duduk, dan kemudian tersenyum, "Linda, apakah kamu masih marah?"
"Tidak." Linda menyangkal, tetapi ekspresinya mengkhianatinya, "Chandra, aku benar-benar tidak mengerti mengapa kamu membuat keputusan seperti itu."
Chandra mengeluarkan dua batang rokok dan memberikan satu kepada Pak Wijaya. Setelah menyalakannya, dia menarik napas dan berkata, "Linda, kamu tidak memahami status para ketua Naga Tersembunyi di negara ini. Secara singkat, mereka adalah kekuatan utama negara. Kedengarannya bagus, tapi mereka adalah orang-orang dengan izin untuk membunuh orang lain yang dicurigai membahayakan negara."
Chandra berhenti sejenak. "Kamu masih muda, dan dunia tidak sesederhana itu. Negara juga membutuhkan kekuatan untuk melindunginya. Karena mereka telah datang ke sini tadi, itu berarti mereka telah menganggap kasus ini luar biasa. Orang yang menyebabkan tragedi ini jelas bukan sesuatu yang bisa kita tangani."
"Tapi aku hanya merasa tidak nyaman." Linda memiringkan kepalanya.
"Kamu memang begitu keras kepala sejak kamu masih muda, bahkan semua orang tidak bisa berbuat apa-apa denganmu." Chandra tertawa.
"Itu benar. Putraku bahkan takut saat melihat Linda dan berjalan seperti tikus yang sedang melihat kucing." Pak Wijaya juga bercanda.
"Ya ampun paman, bagaimana paman bisa berbicara seperti ini?" Linda berpura-pura marah.
"Oke, oke, kalian bisa meninggalkan tempat ini. Jangan ikut campur lagi, terutama kamu Linda. Aku tahu karaktermu." Chandra memandang Linda.
Linda cemberut, "Oh, aku tahu. Aku tidak akan pergi untuk memeriksanya."
"Itu yang terbaik, kalian bisa kembali dulu. Ingat kata-kataku."
____
Mahesa duduk di kantor dan dengan santai merokok sebatang rokok kecil. Dia tidak akan menyangka bahwa kematian Pak Damas tidak hanya menarik perhatian polisi, tetapi juga menarik organisasi rahasia di negara ini. Jika Mahesa mengetahuinya, dia mungkin tidak akan duduk dengan tenang saat ini.
"Kamu merokok tapi tidak membuka jendelanya?" Sukma masuk ke kantor dan mengerutkan kening.
"Maaf, maaf, lupa." Mahesa berdiri sambil menyeringai dan membuka jendela.
"Hei Mahesa, ini sudah siang, apa yang kamu lakukan di sini? Apa kamu tidak lapar?" kata Sukma lagi.
Baru setelah itu Mahesa memeriksa jamnya. Ini sudah lewat jam dua belas. Mahesa benar-benar merasa lapar. "Hei, haruskah aku mengundangmu makan siang ini?"
"Kamu yakin?" Sukma menatap Mahesa dengan heran, "Apa kamu tidak kehabisan uang? Kamu tidak akan membiarkan aku yang membayar tagihannya, kan?"
"Hei, apakah itu lelucon? Bagaimana aku bisa mengecewakan wanita cantik saat aku mengajakmu makan? Jangan khawatir, aku masih punya uang untuk mengajakmu makan." Mahesa menepuk tasnya dengan bebas.
"Jangan mengingkari janjimu."
"Tentu saja, ayo pergi."
Pada siang hari terdapat waktu satu jam untuk makan dan istirahat. Sebenarnya perusahaan memiliki kantin yang menyediakan makan siang bagi karyawan. Tapi, tidak mungkin mengundang orang untuk makan di kantin perusahaan.
Setelah memikirkannya, Mahesa memutuskan untuk mengundang Sukma ke restoran terdekat sebagai ucapan terima kasih atas bantuannya tadi malam. Jika Mahesa tidak mendapat informasi tentang liontin itu, dia mungkin harus mengerahkan banyak usaha lagi. Itu juga akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk menemukan Pak Damas, pria di balik layar percobaan pembunuhan Siska.
"Hei, Sukma, mau kemana?" Suara Widya datang dari belakang saat Mahesa dan Sukma hendak berjalan keluar.
"Mau makan, Widya, kenapa kita tidak pergi bersama? Seseorang akan mentraktir kita." Sukma tersenyum.
Seseorang mentraktir mereka? Widya melirik Mahesa, dan hanya ada tiga orang di sini, siapa lagi jika bukan pria ini? Ternyata pria itu benar-benar berani mengundang seseorang untuk makan bersama.
"Sungguh? Asyik! Kebetulan aku juga lapar. Apa kamu tidak keberatan jika kamu mentraktir satu orang lagi?" Widya memandang Mahesa sambil tersenyum.
Keberuntungan Mahesa tidak begitu baik. Dia hanya ingin makan dengan Sukma, tetapi ketahuan Widya. Jika mereka makan bersama, wanita gila ini mungkin tidak akan membiarkannya tenang. Mahesa berkata dengan wajah sedih, "Tidak apa-apa, tidak apa-apa, ini kehormatan bagiku bisa mengundang Bu Widya untuk makan."
"Tapi ekspresimu sepertinya tidak mau." Widya tersenyum main-main.
"Bu Widya salah paham. Saya sedang memikirkan tempat makan. Anda tahu saya tidak akrab dengan tempat ini." Mahesa gemetar sambil tersenyum.
"Kenapa kita tidak pergi ke Steak Hut? Kudengar steaknya enak, Sukma, bagaimana menurutmu?" Widya tersenyum. Dia ingin melihat apa yang akan Mahesa lakukan sekarang.
Ekspresi Sukma terlihat sedikit tidak wajar. Steak Hut berada tepat di seberang Gedung Spazio. Harga makanan yang dijual tidak murah. Sukma pikir Mahesa hanya ingin mengundangnya makan siang di tempat biasa karena pria itu sepertinya tidak punya cukup uang. Tanpa diduga, Widya tiba-tiba bertemu dengan mereka dan mengajak ke restoran itu. Apa yang harus Sukma katakan? Apakah dia akan pergi atau tidak?
"Oh, ayo pergi, ayo pergi, aku bisa mati kelaparan." Widya buru-buru mendorong Sukma yang kebingungan itu pergi. Ketika dia berjalan, dia melirik Mahesa. dia merasa terhibur di dalam hatinya. Dia berjanji akan membuat Mahesa terlihat lebih tersiksa sebentar lagi.
Mahesa tidak akan mengira bahwa istrinya itu akan ikut makan siang dengannya. Setelah mengikuti kedua wanita itu keluar dari lift, mereka berjalan menuju tempat makan bernama Steak Hut itu. Sesampainya di sana, Mahesa juga tertarik dengan bangunannya yang elegan. Tetapi dia juga mulai menyadari bahwa tempat mewah seperti itu pasti tidak murah.
Sial! Saat memikirkan ajakan Widya tadi, Mahesa tiba-tiba kembali ke akal sehatnya. Wanita itu sengaja mengajaknya ke restoran mahal. Tapi apa yang bisa Mahesa lakukan sekarang? Mereka sudah sampai di sini. Dia tidak akan pernah bisa mengatakan untuk tidak jadi makan di sini.
Pada saat ini, kedua wanita itu melambai padanya dari jendela. "Oh, kupikir kamu takut masuk karena tidak bisa membayar tagihannya." Widya mencibir.
"Siapa? Siapa yang mengatakan itu? Aku sudah berjanji mentraktir kalian. Pesan saja apa yang kalian inginkan. Aku akan membayarnya." Mahesa berkata dengan riang, tapi hatinya cemas. Dia tahu Widya tidak akan pernah membiarkannya pergi dengan mudah.
Tentu saja, Widya sedang menunggu kalimat ini. Dia mengambil menunya dan tersenyum, "Aku yang akan memesannya."
"Widya, apa kamu yakin?" Sukma menarik Widya dengan panik. Dia selalu merasa tidak nyaman.