Saat mengantar Yudi pergi, Widya tidak bisa menahan amarahnya. Dia mengambil ponselnya dan memencet nomor dengan marah. Setelah telepon berdering beberapa kali, tawa Widodo terdengar, "Widya, kenapa kamu menelepon ayahmu? Ngomong-ngomong, aku dengar kamu sedang dalam mood yang buruk akhir-akhir ini, kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja. Aku ingin bertanya mengapa ayah berjanji kepada Yudi agar aku pergi ke rumahnya tanpa persetujuan dariku?" Nada suara Widya dingin, meskipun orang di telepon adalah ayahnya sendiri.
Sejak kecil, hubungan Widya dan ayahnya yang bernama Widodo tidak begitu baik. Sejak usia empat tahun, Widya tidak pernah melihat ibunya lagi. Dia juga tidak merasakan kasih ibu yang seharusnya dia dapatkan. Setiap kali dia bertanya kepada ayahnya, pria itu memilih untuk menghindarinya.
Dua puluh tahun berlalu dalam sekejap. Selama dua dekade terakhir, perasaaan benci Widya terhadap ayahnya semakin bertambah. Dia ingin tahu tentang ibunya sepanjang waktu, tetapi ayahnya diam setiap kali dia bertanya. Karena alasan ini, Widya tidak tahan lagi dan keluar dari rumah. Dia memilih untuk tinggal sendiri di sebuah rumah.
"Widya, kamu sudah tidak muda. Menurutku Yudi cukup baik. Dia menyukaimu, selain itu, ayahnya juga pemilik perusahaan terkenal," kata Widodo dengan hati-hati. Tetapi sebelum selesai berbicara, Widya menyela, "Cukup, kamu tidak perlu mengurus hidupku."
"Nak, mengapa kamu tidak patuh sama sekali? Ayah melakukan ini untuk kebaikanmu sendiri. Aku tahu bahwa kamu sangat membenciku karena ibumu, tetapi Ayah memiliki alasan." Widodo menghela napas dengan berat.
"Alasan, apa alasanmu? Sejak kecil, aku ingin tahu di mana ibuku, apa yang sudah kamu lakukan? Apa kamu mengerti aku? Sudahkah kamu mempertimbangkan untuk memberitahuku? Jangan mengira kamu bisa meminta apa pun dariku. Aku hanya ingin ibuku." Widya berkata dengan dingin.
Ada keheningan lagi di telepon. Setelah sekian lama, Widodo berkata, "Oke, mari kita tidak membicarakan topik ini. Besok malam, aku sudah mengaturnya. Kamu harus pergi menemui Yudi, jika tidak, aku tidak tahu di mana harus menaruh wajahku."
"Aku tidak akan pergi. Apakah harga dirimu penting atau kebahagiaanku yang lebih penting?" Widya menolak.
"Widya, jangan lupa, kamu adalah putriku. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan." Ketidakpedulian Widya akhirnya membangkitkan amarah Widodo.
"Kubilang, kamu tidak perlu peduli dengan urusanku. Aku sudah menikah." Widya berkata dengan tidak sabar.
"Apa? Apa yang kamu katakan?" Widodo sangat terkejut. Apa yang dia dengar barusan, putrinya mengatakan bahwa dia sudah menikah? "Widya, jangan bohong pada ayah."
"Mengapa aku bohong padamu? Apa kamu tidak percaya? Baiklah, aku akan memberitahumu besok." Setelah itu, Widya menutup telepon dengan marah. Setelah menutup telepon, air mata Widya tidak bisa ditahan. Dia tidak memiliki cinta dari ibu sejak dia masih kecil. Sekarang dia juga tidak tahu apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal. Lalu, kini ayahnya memaksakan sebuah pernikahan untuknya.
Widya mengambil selembar kertas dari laci. Ada beberapa baris nomor telepon tertulis di atasnya. Widya dalam keadaan linglung. Setelah beberapa menit, dia menghela napas, lalu berdiri dan mengangkat telepon untuk menelepon sekretarisnya, "Sarah, masuk."
Setelah beberapa saat, seorang wanita berkacamata hitam masuk, "Bu Widya, ada apa?"
"Batalkan semua jadwalku di sore hari, aku punya sesuatu untuk dilakukan," kata Widya.
Sekretaris itu ragu-ragu. Jelas, dia tidak mengerti mengapa Widya seperti itu. Masih ada beberapa urusan penting yang harus diselesaikan di sore hari. "Bu Widya, ada beberapa janji penting di sore hari."
"Kubilang batalkan!" Widya berkata dengan dingin.
"B-baik." Melihat Widya mulai marah, Sarah menanggapi dengan hati-hati dan keluar dari kantor.
Setelah mengatur suasana hatinya, Widya mengeluarkan alas bedak untuk merias wajah, lalu mengambil tasnya dan keluar. Di pintu Jade International, Widya memarkir Ferrari merahnya di sudut, lalu mengeluarkan kertas dengan nomor telepon yang tertulis di atasnya. Dia bingung, apakah akan menelepon atau tidak. Setelah berpikir lama, Widya akhirnya menelepon nomor itu.
Ada suara pria yang terdengar di telepon, "Siapa?"
"Mahesa, aku akan menuntutmu." Widya mencibir.
Mahesa tercengang, ternyata itu suara wanita, ada apa? Tunggu, setelah mendengarkan nada bicara wanita ini Mahesa sepertinya tidak mengenalinya. "Nona, siapa kamu? Sepertinya aku tidak mengenalmu, dan bagaimana kamu mengenalku?"
"Kamu lupa hanya dalam beberapa hari? Kamu terlalu pelupa." Suara Widya lebih dingin lagi.
Mahesa tertegun. Wanita yang ditiduri olehnya akhirnya menghubunginya. "Widya, ada apa?" Mahesa bertanya dengan hati-hati.
"Berhenti bicara omong kosong, cepat keluar, aku di luar perusahaanmu!"
"Aku sedang bekerja sekarang. Aku diberitahu oleh bos bahwa gajiku akan dipotong jika aku keluar kantor." Mahesa dengan bijaksana menolak. Dia tidak ingin melihat wanita itu. Jika dia melakukannya, dia pasti tidak akan selamat.
"Tiga menit. Jika dalam tiga menit aku tidak melihatmu, kamu akan menyesalinya." Setelah mengatakan itu, Widya menutup telepon.
Mahesa tersenyum pahit dan meletakkan teleponnya. Setelah menjelaskan kepada Zafran, dia berjalan keluar dari kantor. Usai keluar dari pintu perusahaan, Mahesa melihat sekeliling dan tidak menemukan wanita itu, jadi dia tidak bisa menahan untuk tidak mengutuknya. Wanita itu pasti hanya iseng.
Ketika berbalik dan akan kembali, di sudut, ada klakson terdengar. Mahesa berbalik dan melihat Ferrari merah menyala di sudut. Dia tertegun. Wanita ini benar-benar kaya. Dia bahkan menggunakan mobil seperti itu.
Mahesa perlahan mendekati Ferrari. Seperti yang diharapkan, Widya telah menurunkan kaca jendela mobil. Dia menampakkan wajah dingin, dan berkata dengan ketus, "Masuk!"
Mahesa menunjuk ke hidungnya, "Aku? Aku harus masuk ke dalam mobil? Aku sedang bekerja, aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu."
"Bermain? Bermain denganku? Masuk ke mobil, cepat!" Widya menatap Mahesa dengan galak.
"Oke, oke!" Mahesa mengangkat bahu. Dia membuka pintu untuk masuk ke kursi penumpang. Kemudian, dia mengirim pesan teks ke Zafran, menyuruhnya keluar sebentar.
Di sisi lain, Zafran tidak menyangka akan melihat semua ini di depan matanya. Dia berkata dengan senyum ambigu, "Mahesa kamu memang pria sejati. Kamu bisa mendapat gadis lain dalam sekejap."
Mahesa duduk di dalam mobil ketakutan, dan memandang Widya dari waktu ke waktu. Setelah beberapa hari tidak bertemu, gadis ini lebih ganas. Tentu saja, setelah memikirkannya, Mahesa tidak mengatakannya, jika tidak, dia tidak akan tahu bagaimana dia bisa hidup saat itu. Widya pasti menghabisinya.
Setelah melihat Mahesa masuk ke dalam mobil, Widya menatapnya dengan galak, lalu menyalakan mobil dan bergegas melaju.
"Hei, hei, hei! Widya, kamu akan mati jika mengemudi seperti ini!" Sampai saat ini, Mahesa akhirnya menyesal masuk ke dalam mobil.
Widya, kecantikan yang luar biasa, mengendarai mobil itu dengan kecepatan penuh. Dia mengendarai mobil sport teratas sekelas Ferrari. Dia mungkin tidak tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi kecelakaan nanti. "Diam saja. Kamu hanya seorang pria yang tidak punya malu!" Widya mendengus dingin. Kakinya menginjak pedal gas lebih kencang. Mobil sport merah itu pun melesat keluar seperti roket.
"Apakah kamu ingin mati?" Mahesa berkata dengan suara keras. Dia menelan ludahnya secara diam-diam. Saat ini kecepatannya melebihi seratus delapan puluh kilometer per jam. Bagaimana Widya bisa mengemudi seperti ini? Ini seperti bunuh diri.
"Apa yang kamu bicarakan? Katakan lagi jika kamu memiliki nyali!" Widya menginjak rem, wajahnya sangat marah.
"Tidak, tidak apa-apa, aku berbicara sendiri!"
"Sial!" Sambil melirik ke arah Mahesa, Widya memacu mobilnya lagi dan melesat di jalan raya.