Setelah berjalan keluar dari gedung itu, Mahesa melihat sekeliling. Tetapi dia tidak menemukan orang yang mencurigakan sebelum pergi dari sana. Ketika Mahesa berdiri di bawah lampu jalan, dia mengeluarkan liontin platinum dan melihat lebih dekat ke arahnya. Ketika dia melihatnya, tiba-tiba dia memikirkan hal yang penting. Bukankah Jade International adalah spesialis dalam perhiasan? Mungkin petunjuk bisa ditemukan.
Tetapi pada saat yang sama, Mahesa khawatir. Dia dulu hanya seorang penjaga keamanan biasa. Dia tidak tahu bagaimana perhiasan yang dibuat oleh perusahaan. Siapa yang harus ditanyai sekarang? Tanya wanita gila itu? Itu sama saja dengan cari mati. Belum lagi Widya sekarang sedang marah. Bahkan jika dia tidak marah pun, sebagai presiden perusahaan, dia mungkin tidak tahu apa-apa.
Ketika sedang khawatir, Mahesa memainkan ponselnya dan membuka-buka buku telepon. Akhirnya dia melihat sebuah nama, Sukma. Wanita ini pasti tahu. Dia adalah seorang direktur. Dia pasti lebih tahu tentang gaya perhiasan buatan Jade International daripada Widya. Tanpa pikir panjang, Mahesa meneleponnya.
Sukma yang baru saja mandi kini berbaring dengan malas di atas ranjangnya. Dia mendengarkan musik yang merdu sambil memegang segelas anggur merah di tangannya. Dia terus menyesapnya dari waktu ke waktu. Pada saat ini, telepon berdering, dan Sukma bertanya-tanya siapa yang menelepon kali ini.
Sukma mengambil ponselnya. Ternyata orang mesum yang bernama Mahesa itu yang meneleponnya. Ini sudah jam sepuluh. Apakah bajingan ini tidak tahu waktu? Dengan mendengus ringan, Sukma menjawab telepon. Sebelum Mahesa dapat berbicara, dia berkata lebih dulu, "Mahesa, aku bukan wanita sembarangan, jadi kamu tidak boleh bersikap seenaknya padaku. Ingat itu!"
Mahesa memandang ponselnya dengan bodoh, dan akhirnya tersenyum pahit, "Bu Sukma, aku memang orang yang cabul, tapi aku sudah punya keluarga."
"Lalu kenapa kamu meneleponku selarut ini? Apa kamu tidak takut istrimu akan menghukummu?" Sukma diam-diam tertawa.
"Hei, hei, aku belum pulang. Sebenarnya aku ingin meminta bantuan. Bu Sukma tidak akan menolak, kan?" Mahesa menyeringai.
Kenapa Mahesa meminta bantuan di tengah malam? Tiba-tiba, Sukma merasa sangat bingung, dan pada saat yang sama dia menjadi lebih berhati-hati. Dia adalah wanita cantik yang lembut, tapi dia juga tahu bagaimana melindungi dirinya sendiri. Meskipun Mahesa adalah "kerabat" Widya, keduanya baru bertemu hari ini. Dan menurut Sukma, karakter pria ini tidak terlalu baik. Jika Mahesa meneleponnya untuk meminta bantuan saat ini, sepertinya itu tidak akan bagus.
"Maafkan aku, aku ingin tidur. Ini sudah larut malam, aku tidak punya kebiasaan keluar malam." Sukma seolah merasa bersalah.
"Aku tidak memintamu untuk keluar." Mahesa terbatuk, dan dia bisa mendengar rasa takut di hati wanita itu.
Sukma sedikit mengernyit, dan buru-buru berkata, "Mahesa, aku bukan tipe wanita yang kamu kira, perkiraanmu salah. Oke, begitu saja, aku akan tidur."
"Hei, tunggu, hei, Bu Sukma, kamu salah paham. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu padamu." Mahesa berkata dengan buru-buru karena takut Sukma akan menutup telepon.
"Oh? Ada apa?" Sekarang giliran Sukma yang terkejut.
Kemudian, Mahesa memberi tahu Sukma tentang liontin platinum itu dan mengirim fotonya. Tidak lama setelah Sukma melihat foto tersebut, dia menelepon Mahesa, "Aku pernah melihat liontin ini, tapi itu bukan milik perusahaan kita. Ini dijual oleh perusahaan lain bernama Shine Jewelry. Hanya ada tiga liontin yang dipasarkan perusahaan itu, harganya ratusan juta. Mahesa, apakah kamu cukup kaya hingga ingin membelinya? Tetapi sayangnya sekarang sudah tidak diproduksi lagi."
"Apa? Tidak, aku hanya pinjam milik temanku. Bu Sukma, kalau begitu terima kasih banyak." Mahesa berterima kasih pada Sukma dengan tulus.
"Kenapa kamu terdengar sangat senang? Jika kamu benar-benar ingin berterima kasih padaku, undang saja aku makan malam." Sukma tersenyum.
"Oke, jika kamu bisa keluar sekarang, aku akan mengajak kamu makan. Tapi apakah kamu berani keluar?" Mahesa tersenyum.
"Lupakan saja, ini sudah larut malam. Jika kamu memang memiliki niat untuk mentraktirku makan, ayo lakukan di lain hari." Sukma menolak dengan lembut. Dia sebenarnya sedikit takut pada Mahesa. Saat memikirkan mata Mahesa yang memesona, seluruh tubuhnya tidak bisa menahan gemetar.
"Kamu benar-benar takut aku akan memakanmu, ya? Tapi tidak masalah, aku akan mengundangmu ketika ada kesempatan." Mahesa tertawa, "Oke, aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku akan pulang dan bertemu dengan istriku."
"Dasar mesum!" Sukma mengutuk dengan suara rendah, lalu menutup telepon. Tapi dia tersenyum sambil melihat ponsel di tangannya.
Shine Jewelry. Mahesa menuliskan namanya. Dia meremas liontin di tangannya. Harganya ratusan juta. Pasti hanya terjangkau untuk orang kaya. Namun, kata-kata Sukma memberi Mahesa petunjuk yang sangat penting. Hanya ada tiga model liontin ini. Itu bisa mempersempit ruang lingkup penyelidikannya.
Ada juga poin penting lainnya. Kebanyakan orang yang bisa menyerang Siska adalah karena alasan mereka ingin balas dendam pada Big Brother, jadi lingkup penyelidikannya menjadi jauh lebih kecil. Jika bukan orang jalanan, pasti dalang di balik ini semua adalah orang kantoran.
Setelah mengetahui hal ini, Mahesa menelepon Moss lagi. Dia memberitahunya petunjuk yang telah dipelajari, dan memintanya untuk menyerang database Shine Jewelry. Dengan begitu, Mahesa bisa mengetahui siapa tiga orang yang telah membeli liontin itu.
Moss adalah peretas top dan tidak tertandingi di dunia. Beberapa menit kemudian, Moss mengirimkan informasi yang telah dicuri itu ke telepon Mahesa. Orang pertama yang membeli liontin ini adalah seorang miliarder dan bukan dari Kota Surabaya. Orang ini pasti bukan dalangnya.
Lalu ada dua orang lainnya, satu adalah Dimas dan yang lainnya adalah Fino. Keduanya memiliki latar belakang yang bagus. Dimas adalah putra tunggal dari Pak Damas, pemimpin sebuah komunitas elit bernama Small Sword Society. Sedangkan, Fino adalah putra Direktur Utama PDAM. Manakah dari keduanya yang menjatuhkan liontin ini?
Setelah memikirkannya, Mahesa menelepon Tomo. Setelah beberapa kali berdering, dia mendengar suara Tomo dan ada dua wanita yang sedang terengah-engah di sampingnya. Kemudian, ada raungan Tomo di telepon, "Orang gila, kenapa kamu meneleponku sekarang? Apa kamu tidak bisa menelepon dan memilih waktu yang lebih baik?"
Mahesa tidak bisa berkata-kata untuk sementara. Jika tahu, dia tentu tidak berani mengganggu aktivitas panas dari kakak Siska itu. "Ah, itu, sesuatu sedang terjadi." Mahesa menjawab dengan serius.
Saat mendengarkan nada suara Mahesa, ada suara siulan di telepon, dan kemudian terdiam. Lalu, suara Tomo terdengar, "Ada apa? Apa yang terjadi?"
"Aku menemukan dua orang, satu bernama Dimas, putra Pak Damas, dan yang lain bernama Fino, putra Direktur Utama PDAM. Apakah kamu pikir kamu telah berurusan dengan mereka baru-baru ini?" Mahesa bertanya.
"Apa kamu yakin dua orang ini?" Tomo bertanya balik.
"Ya, ada orang lain yang merupakan miliarder, tapi dia bukan dari Kota Surabaya. Kita bisa mengecualikannya. Sedangkan, kedua orang tadi memiliki latar belakang tertentu. Coba pikirkan baik-baik."
Di ujung telepon, Tomo terdiam beberapa saat, lalu berkata, "Tidak mungkin, Dimas dan aku tidak ada masalah sama sekali. Sedangkan untuk putra Direktur PDAM, aku juga sedikit akrab dengan ayahnya."
"Betulkah?"
"Tentu saja itu benar."
"Oh, baiklah, kamu bisa lanjut bermain. Hanya itu yang mau aku bicarakan saat ini." Tanpa menunggu Tomo berbicara, Mahesa menutup telepon. Alisnya semakin berkerut.