"Halo, ada yang bisa dibantu?" Resepsionis itu bertanya dengan sopan sambil tersenyum.
"Oh, halo, saya di sini untuk bertemu kepala Departemen Personalia." Mahesa juga tersenyum.
Resepsionis itu sedikit terkejut, tapi tetap tersenyum, "Apakah Anda membawa surat pengantarnya? Jika iya, Anda bisa ikut dengan saya. Saya akan membawa Anda ke sana."
Mahesa menyerahkan surat pengantar dan mengikuti resepsionis itu ke Departemen Personalia. Kepala Departemen Personalia adalah seorang wanita berpakaian putih berusia tiga puluhan. Dia sangat bingung setelah membaca informasi Mahesa, "Kamu adalah Mahesa?"
"Halo, ya, saya Mahesa, saya dulu bekerja di cabang." Mahesa mengangguk.
Meskipun wanita berbaju putih itu tidak tahu mengapa perusahaan tiba-tiba menugaskan Mahesa di kantor pusat, dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar beruntung. Bahkan Mahesa langsung menjabat sebagai asisten direktur di sini.
"Nah, Anda bisa tanda tangan di sini, lalu lapor ke kantor direktur di lantai 59." Wanita berbaju putih itu berkata dengan sopan.
Setelah Mahesa membubuhkan tanda tangannya, dia mengangguk ke wanita berbaju putih itu, "Terima kasih."
Di sisi lain, setelah memasuki kantor, Sukma meletakkan arsip di tangannya. Lalu, dia mengambil segelas air dan meminumnya sekaligus. Dia teringat saat dia berada di lift barusan. Wajahnya kembali terasa panas. Dia bukan wanita murahan, jadi dia tidak pernah sedekat itu dengan seorang pria.
Orang-orang yang mengejar Sukma mungkin memiliki perusahaan yang lebih besar dari tempatnya bekerja saat ini, tetapi dia selalu memiliki kesombongan tersendiri. Dia tidak pernah melirik pria biasa. Dia sangat yakin bahwa pangeran impiannya pasti pria yang berbeda dari pria lain.
Tapi sampai sekarang, Sukma tidak tahu kenapa dia tidak marah saat di lift tadi. Pada saat yang sama, dia memiliki sedikit ketertarikan pada pria mesum itu. Tak disangka, pria itu ternyata adalah karyawan Jade International.
"Yuli, masuk." Sukma membuat panggilan dari dalam ruangannya.
Setelah beberapa saat, wanita bernama Yuli masuk ke kantor dan berkata, "Bu Sukma, apakah Anda mencari saya?"
"Tidak, aku hanya ingin bertanya, apakah ada pegawai baru di perusahaan? Maksudku pegawai laki-laki." Sukma adalah direktur di perusahaan itu. Dia mengenal semua orang di perusahaan, tapi dia belum pernah melihat Mahesa.
"Pegawai laki-laki? Saya tidak tahu, saya belum pernah mendengarnya." Yuli mengerutkan kening dan berpikir sejenak.
Sukma mengangguk dan tersenyum, "Tidak apa-apa, kamu bisa lanjut bekerja."
"Baik, saya akan keluar dulu." Setelah berbicara, Yuli meninggalkan ruangan direktur.
Sukma tidak tahu bahwa dari saat dia memasuki lift, dia terpana oleh mata Mahesa. Sukma selalu berpikir bahwa guncangan di lift tadi menyebabkan mereka berdua melakukan kontak fisik. Namun, sepertinya Mahesa pada saat itu tampak sangat bingung, jadi dia tidak sengaja menyentuh tubuh Sukma. Di sisi lain, pria itu sudah cukup membuktikan pesonanya pada Sukma melalui tindakannya.
Telepon berdering. Sukma mengangkat telepon dan berkata sambil tersenyum, "Widya, aku akan ke kantormu." Setelah menutup telepon, Sukma mengambil tas arsip itu lagi dan berjalan keluar dari kantor direktur ke kantor presiden direktur.
Ketika memasuki pintu, Sukma mengangkat tangannya sambil tersenyum, "Tadi malam aku lembur, Widya. Bukankah aku sudah bekerja keras?"
Widya menyambar tas dokumen itu. Keseriusan di matanya menghilang tiba-tiba, dan dia menatap Sukma dengan genit, "Kalau begitu aku akan memberimu bonus."
"Ah, Widya, sejak kapan kamu jadi seperti ini?" Sukma berteriak. Dia meraih tangan Widya, dan memukul dadanya dengan backhand. Dia juga memegang dada Widya dan meremasnya beberapa kali, "Widya, dadamu telah banyak berubah akhir-akhir ini."
"Hei, jangan begitu, bagaimana kalau seseorang datang?" Widya panik.
"Katakan padaku, apakah ini karena belahan jiwa misteriusmu itu?" Sukma bertanya dengan penasaran.
"Baiklah, Sukma yang baik, jangan menyentuhnya." Widya memohon ampun, dia memilih untuk menghindari Sukma.
"Katakan dengan cepat, aku tidak akan melepaskannya jika kamu tidak mengatakannya." Sukma mengancam.
Widya mengerucutkan bibirnya. Dia panik dalam hatinya, "Benar-benar tidak, kamu telah salah paham. Bukankah aku akan memberitahumu jika aku memilikinya?"
"Benarkah?" tanya Sukma dengan ekspresi tidak percaya. "Lalu ada apa dengan pil kontrasepsi yang aku lihat kemarin?"
"Oh, itu milik orang lain. Aku membelinya untuk orang lain." Widya menjelaskan dengan tergesa-gesa.
Setelah beberapa saat, Sukma melepaskan Widya. Meskipun Widya telah menjelaskan banyak hal, Sukma masih memiliki keraguan. Keduanya sudah seperti saudara perempuan, dan mereka tidak hanya saling mengenal selama satu atau dua hari. Sukma sangat mengenal Widya, begitu pula sebaliknya. Saat Widya mengatakan obat itu dibeli untuk orang lain, Sukma tahu dia berbohong.
Namun, karena Widya tidak ingin mengatakannya, Sukma tidak repot-repot bertanya lebih lanjut. Bahkan jika Widya adalah seorang saudara perempuannya, dia memiliki rahasianya sendiri. Tapi tentu saja, orang yang disembunyikan oleh Widya membuat Sukma semakin tertarik. "Ngomong-ngomong, Widya, aku bertemu dengan orang mesum hari ini. Dia karyawan milik perusahaan kita. Apakah ada pegawai baru di perusahaan kita akhir-akhir ini?"
"Aku tidak tahu, sepertinya kamu harus bertanya ke Departemen Personalia."
"Orang itu sangat aneh, aku belum pernah melihatnya sebelumnya."
"Oh, ya?" Tubuh Widya sedikit gemetar. Dia segera memikirkan Mahesa di dalam hatinya. Tapi dia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan langsung menyerang wanita lain setelah dia dipindahkan ke kantor pusat. Terlebih, wanita itu adalah temannya sendiri.
"Sebenarnya itu bukan salahnya." Sukma mengangkat bahu.
Widya tersenyum beberapa kali. Dia berkata dalam hati, "Sukma, kamu telah dibodohi oleh bajingan itu. Mungkin dia sudah menatapmu dengan penuh nafsu begitu kamu memasuki lift."
"Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku juga harus melakukan sesuatu." Sukma bangkit dari kursi. Dia merapikan pakaiannya yang berantakan, dan kemudian berjalan keluar dari kantor presdir.
Setelah Sukma pergi, ekspresi Widya menjadi dingin. Dia melihat ke luar jendela dan kemudian mendengus dingin, "Huh! Aku ingin melihat bagaimana orang itu akan bekerja sebagai asisten direktur."
"Di mana kantor Bu Sukma?" Di lantai 59, Mahesa menemukan seseorang untuk bertanya. Pria yang memegang dokumen itu menatap Mahesa tetapi tidak berbicara. Dia hanya menunjuk ke satu arah, dan kemudian duduk untuk melakukan urusannya sendiri. Mahesa diam-diam mengutuk di dalam hatinya.
Lantai ini dibagi menjadi banyak area. Orang-orang di setiap area tampak sibuk sendiri, sementara Mahesa harus berjuang mencari ruangan Sukma sendirian. Dia sudah bertanya kepada lima orang berturut-turut hingga akhirnya dia menemukan kantor direktur. "Gila, orang-orang di kantor pusat tidak memiliki hati nurani. Lebih baik aku berada di bagian keamanan di kantor cabang." Mahesa mengumpat diam-diam.
"Silakan masuk!" Sebuah suara yang menyenangkan datang dari dalam ruangan.
Pak Gendut berkata bahwa direktur di perusahaan itu adalah wanita cantik yang menakjubkan. Apakah itu benar? Mahesa penuh dengan ekspektasi. Suara itu terdengar sangat bagus, tapi agak familiar. Mahesa membuka pintu dengan hati-hati, dan berkata sambil tersenyum, "Bu Sukma, saya asisten direktur yang baru saja ditunjuk."
"Baiklah, kamu bisa duduk dulu." Sukma memberikan suara ramah dan tidak mendongak, tapi tiba-tiba dia menyadari ada yang tidak beres. Sepertinya dia tidak pernah meminta asisten. Akhirnya, Sukma melihat ke atas. "Kamu?"
"Kamu?" Mahesa juga berseru. Keduanya saling memandang dengan tidak percaya. "Kebetulan sekali." Mahesa terbatuk, tampak malu.
"Ya, kebetulan sekali, pria cabul!" Sukma memelototi Mahesa.
Ini sungguh sial. Mahesa bertemu dengan seorang wanita cantik yang ternyata adalah direktur perusahaan ini, tapi di saat yang tidak tepat. Awalnya, dia berencana untuk memiliki hubungan yang baik satu sama lain, tapi ini sudah berakhir. Citra Mahesa sudah benar-benar rusak karena kejadian di lift.