Chereads / Laga Eksekutor / Chapter 12 - 12 - Penembak Jitu

Chapter 12 - 12 - Penembak Jitu

Ketika membayar denda, Mahesa hampir tidak bisa menutup mulutnya. Itu karena yang lain didenda tiga juta, dan dia satu-satunya yang lima juta. Ini masih benar bahwa siapa pun jangan menyinggung wanita, terutama wanita cantik.

Ketika Zafran keluar, dia melihat Mahesa dan seorang wanita cantik yang menakjubkan berbicara dan tertawa bersama. Dia terkejut dan bingung di dalam hatinya. Siapakah wanita cantik itu? Apakah itu pacar Mahesa?

"Kenapa kamu tidak pergi?" Mahesa melangkah maju dan menepuk kepala Zafran.

Zafran menarik Mahesa ke samping, dan bertanya dengan suara rendah, "Mahesa, kapan kamu berhubungan dengan wanita cantik ini? Pantas saja kamu tidak ingin tidur dengan wanita di tempat pijat. Kecantikannya begitu indah, selain Linda, aku belum pernah melihat wanita secantik itu."

"Itu istri kakakku, jangan bicara yang tidak masuk akal, aku akan pergi. Aku tidak ingin bermalam di sini." Mahesa menampar dahi Zafran lagi sambil berkata dengan marah.

Zafran menelan ludahnya dan berkata dengan heran, "Mahesa, aku terkejut, bagaimana kamu bisa menemukan wanita yang begitu cantik? Padahal kamu tidak memiliki perilaku yang begitu baik."

"Sial!" Mahesa menatap Zafran dengan wajah pucat.

"Hei, bercanda, bercanda. Mahesa, ada baiknya kamu memikirkan satu orang wanita saja." Zafran diam-diam menatap Siska, "Sekarang aku pria sejati, aku bisa melakukannya juga di masa depan."

"Sial!" Mahesa tidak memperhatikan Zafran yang tertegun. Dia berjalan menuju Akbar dan Linda sambil tersenyum. Ketika dia melihat Linda, dia merasa lebih bangga.

"Linda, aku akan pergi sekarang. Jika kamu membutuhkanku, datanglah ke Jade International untuk menemuiku. Aku bekerja di sana." Mahesa tertawa dengan keras.

Mata Linda memancarkan tatapan membunuh. Dia mencubit Akbar yang berdiri di samping. Dia berpura-pura tersenyum dan berkata, "Oke, jika aku membutuhkannya, aku akan pergi menemui dirimu."

Mahesa terbatuk. Dia menyesal mengapa dia harus mengganggu Linda. Bukankah lebih baik dia segera pergi? Bagaimana jika wanita ini benar-benar akan mendesak dirinya?

"Hei, aku bercanda." Mahesa terkekeh.

"Aku serius," kata Linda dengan sungguh-sungguh.

"Ya sudah, aku pergi dulu. Selamat tinggal, Linda yang cantik." Mahesa tersenyum gemetar.

"Cepat pergi dan selamatkan dirimu." Akbar berkata pada Mahesa sambil mengusap rasa sakit di pinggangnya.

Saat melihat Mahesa dan tiga orang lainnya berjalan keluar dari gerbang kantor polisi, Linda menggertakkan giginya dengan marah. Dia akan selalu mengingat perbuatan Mahesa pada dirinya. Lalu, dia menoleh untuk melihat Akbar yang tampak senang. Dia memberinya tatapan galak, "Apakah itu lucu?"

"Tidak, tidak, tidak, aku hanya ingin tertawa." Akbar bergegas pergi seperti kelinci. Dia tidak ingin menyinggung Linda, jika tidak, itu akan memberinya masalah.

Di saat yang sama, mobil Porsche yang warnanya merah marun tiba di depan Mahesa, Siska, dan Zafran. Ketika Zafran melihat mobil Siska, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak membuka mulutnya, "Ah, kakak ipar, apakah ini mobilmu?"

Siska merasa sangat bangga. Dia memegang erat lengan Mahesa dan menempelkan dadanya padanya. Dia berkata dengan wajah bahagia, "Tentu saja, Zafran."

"Wah, kakak ipar, kamu adalah kecantikan terindah yang pernah aku lihat." Zafran tersenyum konyol.

"Benarkah?" Siska tertawa lebar. Wanita mana yang tidak ingin dipuji?

"Aku mengatakan yang sebenarnya, kakak ipar. Bagaimana aku bisa berbohong padamu?"

Mahesa melirik Zafran tanpa berkata-kata. Dia menendang pantatnya, dan berkata dengan marah, "Oke, berhenti menyanjung. Ayo masuk ke mobil, dan kami akan mengantarmu pulang dulu."

Zafran beringsut ke dalam mobil. Porsche itu bernilai lebih dari dua milyar. Dia hanya bisa melihat mobil yang begitu bagus itu selama ini. Tapi hari ini, dia bisa duduk di dalamnya. Betapa senangnya dia. "Aku benar-benar boleh duduk di sini? Apa itu tidak akan mengganggumu?"

"Berhenti bicara omong kosong. Cepat masuk ke mobil. Kita akan pergi jika kamu tidak masuk ke mobil." Mahesa menatap Zafran dengan wajah menakutkan.

"Tunggu, aku belum pernah naik mobil yang bagus." Begitu Mahesa selesai berbicara, Zafran dengan cepat membuka pintu dan duduk di dalam mobil. Dia melihat sekeliling mobil itu seperti seseorang yang penasaran.

"Istriku yang baik, ayo pergi." Mahesa diam-diam meremas pantat Siska.

Siska tersipu dan berkata, "Cabul!"

Setelah mengantar Zafran, Mahesa dan Siska pergi ke rumah Siska. Mahesa telah berjanji untuk menemani Siska malam ini.

"Suamiku, jika bukan karena kamu terjebak di kantor polisi, apa kamu tidak akan pergi ke tempatku?" kata Siska sambil mengemudikan mobil. Nadanya sedikit tidak puas.

Mahesa meletakkan tangannya di atas kaki indah Siska dan menggosoknya ke depan dan belakang. Dia berkata sambil menyeringai, "Siapa bilang? Aku belum bisa datang ke sini karena sesuatu terjadi akhir-akhir ini. Aku tidak tahan jika tidak bertemu dengan istriku yang baik."

Siska menepuk tangan Mahesa pelan. Dia menutup mulutnya, "Aku tahu. Kamu pasti pergi ke adik kecilmu lagi."

"Apakah suamimu terlihat seperti orang yang seperti itu? Tania adalah gadis yang sangat sederhana." Mahesa tersenyum pahit.

"Hei, kenapa kamu mengulurkan tanganmu lagi? Aku sedang mengemudi." Siska tersipu dan berkata dengan genit.

"Mengapa kaki istriku begitu mulus?" Mahesa menyeringai.

"Suamiku, maukah kamu tinggal di tempatku saja?" Siska mengerutkan keningnya.

Saat memikirkan apa yang harus Mahesa lakukan setelah tiba ke rumah Siska, dia sangat bersemangat. Dia ingin segera tiba di sana.

Porsche berwarna merah itu melaju di jalan raya. Dalam beberapa menit, rumah Siska sudah semakin dekat. Siska tinggal di area perumahan yang disebut Rose View Garden. Sekitar sepuluh menit lagi, mereka akan tiba di sana. Ini sudah lewat tengah malam, tapi lampu dari gedung-gedung masih bersinar di mana-mana. Kehidupan malam di Surabaya sangat hebat.

"Istriku yang baik, apa kamu tidak bisa mengemudi lebih cepat?" Mahesa mendesak dengan cemas.

"Apa kamu terburu-buru?" Siska tersipu dan berkata dengan santai.

"Hei, bukankah ini salahmu? Kamu terlihat begitu menarik." Mahesa menatap payudara Siska yang montok dengan mata yang penuh nafsu. Mahesa mengulurkan tangannya ke punggung Siska, mengusapnya dengan gemas.

"Oh, suamiku, kamu akan mati. Berhenti membuat masalah dan tunggu sampai kita tiba di rumah."

"Istriku yang baik, kenapa kita tidak bermain-main di mobil saja? Di sekitar sini sangat gelap, pasti tidak ada siapa-siapa." Mahesa semakin terpesona.

"Tidak."

"Kenapa tidak?"

"Oh, sial, kamu tidak diizinkan menyentuhnya." Siska memperlambat kecepatan mobilnya sambil mengawasi bagian depan. Dia juga harus menahan gangguan dari Mahesa.

DOR!

Ketika Mahesa sibuk mengganggu Siska, kaca jendela mobil dihancurkan dengan keras oleh benda yang tidak diketahui. Itu peluru! Dan dilihat dari kekuatan tembaknya, pasti dilakukan penembak jitu.

Wajah Mahesa tiba-tiba berubah. Bagaimana bisa seorang penembak jitu tiba-tiba muncul di sini? Pasti targetnya adalah Mahesa atau Siska. Pada saat ini, otak Mahesa bergerak cepat. Dia menganalisanya dengan hati-hati. Dia membuat kesimpulan bahwa tembakan itu ditujukan pada Siska.

Siska adalah saudara perempuan dari Big Brother. Pasti Big Brother memiliki musuh yang juga mengincar Siska. Tapi, siapakah dia?

Melihat Siska yang sudah ketakutan, Mahesa buru-buru menekannya ke dalam pelukannya. Dia menginjak pedal gas, dan mobil tiba-tiba melaju ke depan. Untungnya, Siska hanya takut dan tidak terluka. Mahesa menarik napas lega, "Istriku, jangan takut, ada aku di sini."

"Suamiku." Siska juga menyadari ada bahaya. Wajahnya terlihat pucat.

"Jangan takut, jangan takut." Mahesa dengan lembut menepuk punggung Siska. Dia menenangkannya. Ekspresinya juga menjadi serius.

Saat mobil itu melesat sejauh seratus meter, tembakan kedua datang lagi. Itu menghancurkan kaca depan. Setelah itu, tembakan juga terjadi berturut-turut yang membuat mobil hilang arah dan dengan keras menghantam sisi jalan. Siska masih berada di pelukan Mahesa.

Tetapi ketika Siska memutar tubuhnya, dia merasakan sesuatu yang hangat dan lembab. Dia mengangkat tangannya untuk melihat dan berseru, "Ah! Suamiku, kamu terluka."

"Ssst, aku baik-baik saja, jangan katakan apa-apa."

Mahesa menutupi mulut Siska dan mencoba menenangkannya, "Istriku, aku baik-baik saja, ini hanya cedera ringan. Dengar, tetap di dalam mobil dan jangan keluar. Jangan bicara."

Mahesa melepaskan pelukannya, tetapi Siska mencengkeramnya dengan kuat. Dia berkata sambil menangis, "Suamiku, jangan pergi, aku takut, aku takut sesuatu akan terjadi padamu."

"Tidak apa-apa, suamimu tidak mudah dikalahkan. Tetap di sini dan jangan bergerak."

"Tapi…"

"Tetap di sini dengan patuh." Setelah berbicara, Mahesa dengan cepat membuka pintu mobil dan berlari ke dalam kegelapan.

Di sebuah bangunan yang sedang dibangun di kejauhan, ada sosok hitam yang berdiri. Pembunuh itu sangat percaya diri dan yakin bahwa dia dapat dengan mudah membunuh target. Kemudian, si pembunuh mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menelepon sebuah nomor, "Targetnya sudah mati!"

"Apa? Sudah mati? Siapa yang menyuruhmu membunuh? Bukankah aku menyuruhmu menakut-nakuti dia?" Seorang pria berteriak di telepon.

Pembunuhnya itu mencibir, "Maaf, aku terlanjur membunuhnya."

"Sial, misimu gagal. Aku bahkan tidak bisa mendapatkan uang." Orang di telepon sangat marah.

"Aku tidak peduli." Setelah berbicara, pembunuh itu menutup telepon. Ada raungan lain di telepon, tetapi tidak mungkin bagi si pembunuh untuk mendengarnya. Sebaliknya, senapan penembak jitu itu dimasukkan ke dalam tasnya.

"Apakah kamu akan pergi seperti ini?" Tiba-tiba, suara seseorang datang dari belakang. Pembunuh itu terkejut dan dengan cepat mengeluarkan pistol dari tasnya. Dia menoleh ke arah sumber suara di kegelapan. "Siapa?"

"Orang yang tidak kamu bunuh." Mahesa berjalan keluar dari kegelapan. Dengan bantuan lampu yang redup, dia bisa melihat penampilan pembunuh itu.