Chereads / Pengawal Nona CEO yang Paling Setia / Chapter 42 - Tiga Wanita

Chapter 42 - Tiga Wanita

"Erza, terima kasih kali ini. Bolehkah aku mengundangmu untuk minum malam ini?" Ketika semua orang sudah pergi, Doni menghampiri Erza.

"Lupakan. Itu tidak perlu" Suara Erza sangat pelan. Doni tersenyum tipis, dan meninggalkan ruang rapat tanpa berbicara.

"Erza, kamu dan dia?" Alina datang dengan ekspresi penuh tanya di wajahnya.

"Pak Juri sudah meninggal. Tentu saja, Doni tidak akan berpengaruh buruk lagi untuk perusahaan. Selain itu, kemampuannya sangat bagus." Erza menjawab rasa penasaran Alina.

"Aku tidak pernah tahu kamu peduli dengan perusahaan." Kata-kata Erza benar-benar masuk akal, tetapi Alina tidak percaya bahwa Erza akan begitu peduli dengan perusahaan.

Pada saat ini, ponsel Erza tiba-tiba menerima pesan teks yang dikirimkan oleh Lana. Istrinya itu memintanya untuk menemuinya di ruangannya.

"Alina, perutku mual setelah makan siang. Aku akan pergi ke toilet dulu." Erza bergegas keluar dari ruang rapat.

Erza lari ke ruangan Lana, sedangkan sekretarisnya, Sinta, tentu saja dia tidak bisa menghentikan Erza.

"Lana, ada apa?" tanya Erza setelah masuk ke ruangan Lana.

"Mengapa kamu minum hari ini?" Lana mengerutkan kening.

"Sesuatu terjadi tadi. Aku bertemu dengan teman lamaku dan minum-minum." Erza mengutuk dirinya karena dia terpaksa berbohong lagi kepada Lana. Ini karena dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya, jadi dia hanya bisa menciptakan sebuah kebohongan yang indah.

"Huh." Lana mendengus dingin. Ketika Widuri mengantar Erza ke kantor tadi, Lana kebetulan melihat mereka dari jendela. Dia tidak menyangka sekarang Erza akan berbohong.

"Ada apa? Apakah kamu sedang tidak mood?" tanya Erza cemas.

"Tidak." Lana menjawab tanpa menatap Erza.

"Kalau begitu, aku akan pergi dulu." Erza merasa Lana sepertinya akan meledak, dan lebih baik dia keluar dari ruangan itu secepatnya.

"Keluar sama." Awalnya, Lana memanggil Erza karena ingin mengobrol dengannya, tetapi dia tidak menyangka bahwa semakin banyak Erza berbicara, semakin dia merasa marah.

"Lana, ada apa?" Meskipun Erza benar-benar ingin pergi untuk menghindari kemarahan Lana, dia sadar bahwa Lana sepertinya ada masalah.

"Tidak, omong-omong, apa menurutmu Doni baik-baik saja sebagai wakil presdir besok?" celetuk Lana.

"Dia tidak punya masalah apa pun. Setidaknya dia tidak akan merugikan perusahaan." Erza bisa menjamin hal tersebut.

"Baguslah." Meskipun Lana tidak tahu mengapa Erza begitu yakin, dan pria itu baru saja berbohong pada dirinya, Lana tetap percaya pada Erza. "Ngomong-ngomong, apa kamu tidak ingin aku mempromosikan Alina?" Tiba-tiba Lana berkata seperti itu. Saat berbicara, mata Lana juga menatap langsung ke arah Erza. Sejujurnya, Erza sedikit tidak nyaman dengan Lana. Erza selalu merasa bersalah.

"Tidak perlu." Erza mengambil napas dan menenangkan dirinya. Dalam hati Erza, dia sangat ingin membantu Alina mendapatkan posisi yang lebih tinggi karena selama ini Alina banyak membantu dirinya.

"Kamu tahu bagaimana perasaanku jika aku tahu seandainya hubunganmu dengan Alina bukan sebatas rekan kerja?" Lana menatap Erza dengan tatapan dingin.

"Kamu cemburu?" Erza menggoda Lana.

"Tidak, siapa yang akan cemburu?" Lana melirik Erza.

"Itu bukan apa-apa. Ketika aku datang ke perusahaan…" Erza tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia ingin memberitahu Lana semuanya, tapi tiba-tiba dia sadar bahwa dia seharusnya tidak mengatakan apa-apa.

"Apa? Sepertinya kamu cukup bersyukur dekat dengan Alina." Lana berusaha mengintimidasi Erza. Bagaimanapun, melihat Erza dan Alina yang begitu dekat, Lana merasa sangat tidak nyaman. Tapi, tentu saja Lana tidak menunjukkannya.

"Tentu saja aku bersyukur punya rekan kerja seperti Alina. Apa kamu tidak suka punya karyawan sepertinya?" Saat berbicara, tangan Erza langsung menyentuh wajah Lana.

"Aku membencimu!" teriak Lana.

"Kenapa kita tidak melakukannya sekarang?" Keinginan Erza untuk menyerang Lana tiba-tiba muncul.

"Tidak. Kamu keluar saja." Seluruh tubuh Lana kini terasa sedikit panas, dan dia dengan cepat mengusir Erza. Setelah Erza keluar dari ruangannya, dia terlihat sedikit salah tingkah.

Kini Erza sudah berada di ruangan Departemen Perencanaan. "Apakah kamu tertidur di toilet?" Begitu Erza berjalan ke pintu masuk, Alina muncul di depannya.

"Alina, bisakah kamu berhenti muncul tiba-tiba dan membuatku takut?" Erza mengelus dadanya karena kaget.

"Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun, apa yang perlu ditakutkan?" Alina balik bertanya. "Pergi ke rumahku malam ini."

Karena tidak ada jawaban, Alina bertanya lagi, "Erza, kamu akan datang ke rumahku, 'kan?"

"Baiklah." Erza ragu-ragu, tapi dia tidak bisa menolak lagi.

"Oke, kalau begitu aku akan menunggumu di rumah pada malam hari. Jika kamu tidak datang, kamu akan tahu akibatnya." Saat berbicara, Alina membuat gerakan tangan seperti gunting. Pada saat yang sama, mata Alina juga melihat ke bagian tertentu di tubuh Erza. Tindakan Alina ini membuat Erza takut hingga dia langsung merapatkan kedua kakinya.

"Aku berjanji, aku berjanji." Setelah berbicara, Erza berlari kembali ke ruangannya. Dia merasa sedikit tertekan karena masalah ini. Jika dia ke rumah Alina, maka dia harus pulang malam. Lana mungkin tidak akan senang. Tetapi, jika dia tidak pergi ke rumah Alina, wanita itu pasti tidak akan memaafkannya.

Ketika jam pulang kerja, Alina menatap Erza dengan penuh kemenangan. Dia juga membuat gerakan seperti gunting lagi. Itu artinya jika Erza tidak datang, maka Alina pasti akan menggunting benda paling berharga di tubuh Erza.

"Halo?" ​​Erza melihat nomor yang tidak dikenal tepat saat dia berjalan keluar dari kantor.

"Paman, ini aku." Suara Tasya terdengar.

"Itu kamu? Ada apa?" Erza tidak menyangka bahwa Tasya benar-benar meneleponnya.

"Ajak aku makan malam, aku bosan makan sendiri," kata Tasya.

"Tidak." Erza menjawab dengan cuek.

"Kamu adalah pacarku, mengapa kamu tidak mau menemaniku?" Erza merasa sedikit tidak nyaman ketika dia mendengar suara genit Tasya.

"Siapa yang pacarmu? Jangan bicara omong kosong." Erza hendak menutup telepon.

"Kamu berjanji padaku hari itu, tidak ingat? Apakah kamu tidak mau bertanggung jawab? Jika kamu tidak bertanggung jawab, aku akan memanggil polisi sekarang." Nada bicara Tasya tampak bersungguh-sungguh.

"Oke, oke, ada yang harus aku lakukan hari ini. Mari kita makan malam di hari lain." Erza benar-benar kehabisan kata-kata.

"Benarkah?" tanya Tasya memastikan.

"Tentu saja benar. Aku akan meneleponmu saat aku punya waktu, oke?" Nada suara Erza masih sangat lembut. tentu saja bukan karena hal lain, tapi karena Erza menganggap Tasya sebenarnya adalah gadis yang manis. Dalam hatinya, Erza menganggap Tasya sebagai saudara perempuan.

"Oke, tapi paman jangan berbohong padaku!" Tasya memperingatkan Erza.

"Baiklah."

"Oke, aku akan menutup telepon dulu, pacarku." Setelah Tasya menutup telepon, Erza merasa merinding.

Setelah menunggu Lana di halaman depan kantor sebentar, Erza langsung mengantar Lana pulang.

"Erza." Saat berada di dalam mobil, Lana tampak malu.

"Apa yang terjadi?" tanya Erza.

"Malam ini…" Lana sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Ngomong-ngomong, Lana, aku ada urusan malam ini, jadi aku tidak akan makan di rumah." Erza juga buru-buru berkata.

"Ada apa?" tanya Lana khawatir.

"Tidak apa-apa." Erza benar-benar takut Lana akan mencegahnya pergi. Tetapi ketika dia melihat mata Lana yang kecewa, Erza merasa sedikit menyesal. Namun saat ini, Erza tidak tahu harus berkata apa. Setelah mengantar Lana kembali ke rumah, Lana tidak berpamitan pada Erza. Dia langsung naik ke atas. Erza menghela napas. Dia berpikir apakah dia harus menjelaskan kepada Alina bahwa dia sudah menikah.

Setelah berpikir lama, Erza memutuskan bahwa dia harus menjelaskan semuanya pada Alina karena dia tidak bisa terus membuat Lana kecewa. Erza pun langsung masuk ke mobil dan pergi. Erza sedang di jalan dan tiba-tiba melihat sebuah mobil BMW dan Audi menabrak satu sama lain tidak jauh di depan. Ini bukan masalah besar pada awalnya, tapi Erza melihat bahwa empat pria mengepung seorang wanita dan sepertinya telah melakukan sesuatu. Erza langsung menghentikan mobilnya.

"Sebaiknya kalian pergi sekarang." Ketika Erza membuka pintu mobil, dia mendengar wanita itu berkata seperti itu. Saat berbicara, wajah wanita itu juga memiliki ekspresi serius. Di pikiran Erza, wanita ini pasti bukan orang biasa. Bagaimana tidak? Ketika wanita itu harus menghadapi empat pria bertubuh besar dan berlengan besar, dia tidak takut sama sekali.

"Kamu ingin kami membunuhmu?" Lelaki berbadan besar di seberang wanita itu sepertinya tidak peduli.