Erza sedikit bersemangat. Meskipun dia tahu bahwa ibunya diusir dari keluarganya karena menikah dengan ayahnya, tapi sepertinya ada alasan yang tidak diketahui. Bagaimanapun Erza merasa senang karena tahu sedikit tentang orangtuanya.
"Aku tidak tahu tentang keluargamu yang lain. Tapi, Erza bisakah kamu membantuku? Ada seseorang yang butuh bantuanmu untuk menyembuhkan penyakitnya." Widuri menjawab sambil menatap Erza.
"Siapa dia?" Erza ragu-ragu.
"Aku akan mengantarmu ke sana. Kondisinya sangat memprihatinkan," ucap Widuri.
"Lalu kenapa kamu menyuruhku ke sana?" tanya Erza bingung.
"Karena tidak ada yang bisa menyembuhkannya, setidaknya sejauh ini," jawab Widuri.
Mereka pun menuju ke sebuah rumah pribadi di pusat kota. Erza juga sedikit kaget kali ini. Area perumahan itu adalah untuk orang kaya. Tidak ada orang biasa yang mampu membangun rumah di sana.
Begitu mobil berhenti, seorang pemuda berjalan dengan seragam militer dan menunduk dengan sopan pada Widuri. Tetapi ketika melihat Erza, wajah pemuda itu penuh dengan rasa jijik. Erza hanya meliriknya. Namun, ketika dia melihat bahwa pemuda itu memiliki pangkat letnan, Erza juga sedikit terkejut.
"Ini yang kubilang padamu, dia Erza, guru Dokter Suwarno. Erza ini Hasan, cucu dari Pak Lukman." Widuri dengan sangat sopan memperkenalkan mereka.
"Apa? Widuri, apa kamu bercanda? Dia adalah guru Dokter Suwarno? Lihatlah dia, dia tidak seperti seseorang yang tahu ilmu medis?" Hasan tidak bisa memercayai telinganya.
"Hasan, apa maksudmu? Mengapa kamu mengolok-olok Erza?" Widuri juga terlihat sedikit marah.
"Bukan begitu. Hanya saja. Lupakan, ayo masuk, ayahku sedang menunggu di dalam." Wajah Hasan sedikit malu, tapi dalam hati Hasan dia masih tidak percaya pada Erza.
"Paman, ini Erza yang pernah kuceritakan padamu." Widuri dan Erza berjalan langsung ke ruang tamu. Ada cukup banyak orang yang berdiri di sana. Erza melirik mereka. Mereka memiliki aura yang kuat. Mereka seharusnya bukan pejabat, tapi tentara. Sepertinya keluarga ini cukup berpengaruh.
"Dia adalah Erza? Apakah dia tidak terlalu muda?" Pak Tanoto menatap Erza dan tidak dapat memercayainya.
"Paman, ini benar. Kakekku diselamatkan oleh Erza, dan dia juga guru Dokter Suwarno." Widuri menjelaskan.
"Tapi, Widuri, dia benar-benar tidak seperti seorang dokter," kata Pak Tanoto, ayah Hasan.
"Kalau paman tidak percaya, ya sudah," celetuk Erza. Sejujurnya, saat ini Erza merasa sedikit tidak nyaman di sini. Bagaimanapun juga, Erza sangat tidak menyukai suasana yang tegang seperti ini.
"Lancang, jaga bicaramu!" Hasan berjalan mendekati Erza dan berteriak keras.
"Jangan dekat-dekat denganku!" bentak Erza.
"Wah, berani juga kamu." Hasan meninju wajah Erza.
"Hasan, apa yang akan kamu lakukan?" Widuri tampak semakin marah.
"Paman, kupikir kali ini, biarkan Erza mencoba. Erza tidak akan membohongi kita." Melihat hal-hal yang lepas kendali itu, Widuri segera mendesak Pak Tanoto.
"Nah, Erza, maafkan aku. Kamu bisa melihat ayahku sekarang." Pak Tanoto mengangguk dan berkata dengan sopan kepada Erza.
"Hari ini, aku tidak membalasmu karena Widuri. Jika seperti ini lagi, aku tidak akan memaafkanmu lain kali. Ingatlah untuk selalu bersikap sopan pada siapa pun." Erza mendengus dingin, dan berjalan masuk bersama Pak Tanoto.
"Hei, sialan! Jika kamu tidak bisa menyembuhkan kakekku, aku akan menghabisimu." Hasan menggertakkan giginya dengan keras.
"Ini ayahku." Pak Tanoto membawa Erza ke sebuah ruangan, dan pada saat yang sama banyak orang mengikuti di belakangnya. Erza melihat seorang pria tua di tempat tidur. Wajahnya agak pucat, matanya tertutup, dan napasnya sedikit susah.
"Aku tidak bisa menyembuhkannya," kata Erza. Mendengar perkataan Erza, semua orang terpana dengan ekspresi kosong di wajah mereka. Mereka tidak mengerti sama sekali, apa maksud Erza? Mengapa dia tidak memeriksa pria tua itu terlebih dahulu?
"Erza, ada apa?" Widuri juga datang ke sisi Erza dan bertanya dengan suara rendah.
"Dia tidak akan hidup setelah tiga hari." Suara samar Erza terdengar.
"Apa? Persetan! Apa yang kamu katakan barusan?" bentak Pak Tanoto.
"Benar. Bagaimana kamu bisa bicara seperti itu?" kata yang lain tidak terima. Kata-kata Erza segera membuat marah semua orang di ruangan itu.
"Erza, pihak rumah sakit hanya mengatakan bahwa kondisi Pak Lukman agak aneh, dan tidak terlalu serius. Kamu bahkan tidak memeriksanya. Kenapa kamu mengatakan itu begitu saja?" Widuri juga tidak percaya.
"Hanya ada tiga hari tersisa." Kata-kata dingin Erza terdengar lagi.
"Tunggu, Erza, apakah ada cara untuk mengobatinya?" Pak Tanoto datang ke sisi Erza dan bertanya dengan hormat. Dia berusaha mengendalikan dirinya. Meskipun dia tidak tahu apakah yang dikatakan Erza itu benar atau tidak, Pak Tanoto masih percaya bahwa Widuri tidak akan pernah membohongi dirinya.
"Bawakan aku baskom berisi air," kata Erza.
"Cepat ambil baskom berisi air." Ketika Pak Tanoto mendengar ini, dia langsung gembira. Tidak peduli apa yang dikatakan Erza benar atau tidak, selama ada cara untuk mengobatinya, dia akan melakukannya. Tetapi banyak orang masih tidak mengerti, mengapa Erza menginginkan baskom berisi air? Mungkinkah dia perlu membasuh wajahnya?
"Ini airnya, tuan." Pada saat ini, seorang pelayan datang dan menyerahkan air itu kepada Erza. Ruangan itu menjadi sunyi. Semua orang fokus pada Erza. Mereka ingin melihat apa yang akan dilakukan Erza. Erza mengambil napas yang kuat, kemudian mengerahkan seluruh energi di dalam tubuhnya. Kini seluruh energinya mengalir di telapak tangan ayah Pak Tanoto. Lalu, Erza mulai mencuci tangannya.
Ketika melihat adegan ini, Widuri tercengang. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Erza dengan mencuci tangannya. Terlebih lagi, Erza mencuci tangannya dengan sangat hati-hati. Dia menghabiskan hampir setengah jam untuk membasuh tangannya yang membuat banyak orang merasa sedikit tidak sabar.
"Bawakan aku tiga cangkir." Saat Hasan hendak marah, suara Erza akhirnya terdengar.
"Cepat, berikan dia tiga cangkir." Bahkan Pak Tanoto tampak sedikit tidak sabar. Setelah Erza mengambil cangkir tersebut, dia dengan hati-hati menuangkan air dari baskomnya ke dalam tiga cangkir tersebut. Prosesnya sangat hati-hati seolah dia takut airnya tumpah.
"Simpan tiga gelas air ini. Beri ayah Anda satu kali seminggu, dan dia akan sembuh." Erza menyerahkan ketiga gelas itu pada Pak Tanoto.
"Nak, apa kamu mempermainkan kami?" tanya Pak Tanoto.
Saat ini, Hasan benar-benar tidak bisa menahannya. Dia segera menghampiri Erza, mengumpat dengan keras, dan melemparkan cangkir ke lantai. Melihat pecahan di tanah, Erza menarik napas kuat, mencoba menekan amarah di hatinya. Anggota keluarga yang lainnya juga tidak memiliki kesan yang baik terhadap Erza. Mereka merasa bahwa Erza benar-benar telah menipu mereka.
Bagaimanapun, Pak Lukman adalah orang yang bermartabat. Bagaimana mungkin dia harus minum air bekas cuci tangan Erza untuk menyembuhkan penyakitnya?
"Terserah kalian mau percaya atau tidak. Aku akan pergi." Setelah Erza selesai berbicara, dia hendak berbalik dan pergi.
"Hei, kami ingin pergi setelah kamu mempermainkan kami? Aku akan memberimu pelajaran dulu." Hasan bergegas menuju Erza.
"Hasan, hentikan." Pak Tanoto segera mencegahnya
"Ayah, orang ini sangat menjengkelkan!" teriak Hasan.
"Erza, maafkan Hasan. Jangan tersinggung. Tapi, kenapa ayahku harus minum air bekas tanganmu?" Pak Tanoto sebenarnya juga sangat geram sekarang.
"Saya melakukan ini tentu saja karena sebuah alasan. Tetapi, tidak masalah apakah Anda akan memberikannya pada ayah Anda atau tidak, saya harus pergi." Erza malas menjelaskan.
"Paman, maafkan aku, aku tidak menyangka akan seperti ini." Widuri juga sedikit tertekan, dan segera meminta maaf. Lalu, dia menyusul Erza.
Setelah Erza dan Widuri pergi, Pak Tanoto berkata pada anggota keluarga yang lain, "Saudaraku, kupikir kita harus menyimpan dua cangkir ini. Bagaimanapun, aku percaya pada Widuri."
"Ayah akan membiarkan kakek meminum ini?" Hasan benar-benar tidak tahan.
"Minta seseorang untuk menyimpan dua cangkir air ini terlebih dahulu. Apa pun yang terjadi, kita harus menyimpannya." Setelah ragu-ragu, Pak Tanoto masih memerintahkan seseorang untuk melakukannya.
____
"Erza, tunggu aku!" pekik Widuri.
"Ada apa?" tanya Erza tanpa menoleh.
"Erza, apakah kamu yakin air cuci tangan tadi bisa menyembuhkan penyakit Pak Lukman?" Sejujurnya, Widuri masih belum bisa memercayai Erza.
"Air bekas cuci tangan orang lain tidak akan bisa, tapi air bekas tanganku bisa," jelas Erza santai.
"Lupakan, aku akan mengantarmu kembali ke kedai kopi." Widuri tidak terlalu peduli. Saat ini, tidak ada gunanya untuk mempertanyakan kredibilitas Erza.
"Terima kasih, Widuri." Erza tersenyum tipis dan berjalan langsung ke mobil Widuri.