Dalam perjalanan, Alya diam seolah-olah membisu.
Aku tak langsung membawa dia ke rumahku, akan terasa tak sopan menurutku membawa orang dekil ke hadapan Ayah.
"Turun," ucapku sambil melepas seat belt mobil. Dia terdiam sebentar, "Rumah mu dekat sini?" tanyanya.
"Kau tak lihat bacaan didepan?" tanyaku tak santai, lagian ini pusat kota yang jarang ada rumah pribadi.
"Aku tak mungkin membawamu ke hadapan Ayah dengan penampilanmu seperti ini," ucapku sambil melihat penampilannya sekarang.
"Memangnya penampilanku kenapa?" tanyanya terlihat kesal.
"Begitu lusuh," jawabku langsung turun tanpa mempedulikan lagi omongannya yang berisik.
Aku mengajaknya masuk kedalam dan memanggil pelayan yang bertugas, "Tolong uruskan dia, beri perawatan yang terbaik dan jangan lupa ganti bajunya," titahku pada pelayan tadi.
Pelayan itu menggangguk, "Baik tuan."
"Eh aku mau diapain nih?" tanya Alya padaku ketika pelayan tadi mengajak Alya masuk ke ruangan.
"Tenang saja," jawabku seadanya.
Akhirnya Alya tak memperpanjang masalah ini, dia nurut saja.
Lihatlah sekarang, aku seperti pacarnya yang sedang menunggu dia perawatan. Menyebalkan sekali.
Salon ini bekerja cepat, jadi aku tak perlu waktu lama untuk menunggunya.
Alya sudah siap dengan penampilan yang cukup formal menurutku, aku melihat dirinya bawah ke atas sampai hatiku berkata 'Ternyata dia cantik juga.'
Sadarlah Artha!
Aku langsung melangkahkan kaki menuju pintu keluar karena urusan pembayaran sudah selesai ketika Alya sedang menjalankan perawatan.
Kami berjalan keluar Salon, memasuki mobil dan menjalankannya menuju rumahku. Dalam perjalanan diantara kami tak ada yang memulai pertengkaran, aneh sekali.
Kami memasuki gerbang yang lumayan jauh dari gerbang ke rumah. Setelah aku memarkirkan mobil, aku langsung keluar dan tak lupa mengajaknya.
Pelayan membukakan pintu, kami masuk dan aku membawanya langsung keruangan Ayah karena aku yakin Ayah ada diruangannya.
Dugaanku benar, karena aku mengetuk pintunya Ayah menjawab "Masuk."
Aku membuka pintu lalu masuk diikuti dengan Alya, "Selamat siang, yah. Ini pesanan Ayah sudah datang," ucapku dan mendapat tatapan menyeramkan dari Alya.
"Jaga bicaramu!" aku mendapat tatapan yang sama dari Ayah. Ayolah aku hanya becanda!
Aku masuk dan diikuti oleh Alya sampai ke hadapan Ayah, "Duduklah," kata Ayah mempersilahkan kami duduk, "Yah, aku mau ganti baju," ucapku karena sudah gerah hampir seharian memakai kemeja.
"Jangan dulu, Ayah ada perlu juga sama kamu."
Aku menurut saja dan langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Ayah dan Alya disampingku. Terlihat Ayah sudah menyiapkan pertanyaanya.
"Benar namamu Alya?" tanya Ayah diluar dugaanku.
"Benar tuan," jawab Alya dengan anggukan dan sepertinya sedikit heran dengan pertanyaannya.
"Dia tidak membayarmu untuk berpura-pura menjadi Alya?" tanya Ayah kembali.
Aku merasa tersinggung karena mau bagaimana pun susahnya membawa dia kesini, aku tak akan melakukan hal seperti itu, "Ayah tak percaya padaku?" tanyaku dengan kesal.
Ayah tersenyum sinis, "Hanya berjaga-jaga saja, mungkin juga kan kamu berbuat nekat."
Aku memalingkan pandanganku menatapnya malas.
"Benar tuan, saya Alya asli meskipun datang dengan paksaan," kata Alya, 'Berani sekali dia,' batinku.
"Apakah saya boleh tahu, ada perlu apa tuan menginginkan saya kesini?" tanya Alya.
"Kamu adalah teman Artha, saya harus mengetahuinya," jawab Ayah.
Aku masih terdiam tetapi kesal karena Ayah sudah ku britahu bahwa dia bukan temanku, berada dalam percakapan ini sungguh membosankan!
"Maaf, mungkin anda salah faham tuan, saya bukan temannya. Kita hanya tidak sengaja bertemu dan melakukan kesalahan," ucap Alya.
"Benar Yah, kita tidak temenan kok!" ucapku membenarkan kata Alya, sepertinya baru kali ini aku menyetujui perkataannya.
"Benar," ucap Ayah singkat.
Apakah semudah itu merayunya? Ya Tuhan terima kasih.
"Pertemanan butuh waktu yang cukup lama, jadi bersabarlah," lanjut Ayah yang membuatku dan Alya sedikit bersabar.
"Jurusan apa kamu Alya?" tanya Ayah kemudian. Alya menjawab, "Psikologi."
"Sudah bekerja?" tanya Ayah, sepertinya akan ada yang tak beres.. Aku bisa merasakannya.
"Belum," jawab Alya singkat. Ayah mengangguk-anggukan kepalanya.
"Menjadi seorang sekretaris sepertinya tidak terlalu buruk ya," ucap Ayah seperti menawarkan.
Alya sedikit berfikir sepertinya dia belum menyadari.
"Maksud Ayah itu menawarkannya pekerjaan sekretaris? Bukannya bulan lalu Ayah baru saja mengganti sekretaris? Lagian kenapa seperti tak ada pilihan lagi?" aku berusaha untuk mengerti apa yang Ayah maksud.
"Bukan untuk Ayah, Artha. Tapi untuk kamu," aku mengerutkan dahi, begitu pula dengan ekspresi Alya saat ini yang tak bisa di deskripsikan. Ayah berucap seperti itu mudah sekali ya?
Tentu saja aku akan menolaknya, "Tidak bisa, Aku juga belum bekerja. Lagian kenapa harus dia? Seorang psikolog menjadi sekretaris?" itu menjadi pertanyaan besar bagiku. Memang tak apa-apa tetapi itu akan membuatnya sia-sia masuk jurusan psikologi, ya meskipun kita tidak tahu ilmunya akan terpakai di masa depan.
"Tentu saja Alya akan dilatih terlebih dahulu," jawab Ayah.
Aku diam, tak mau berbicara lagi. Karena percuma saja jika Ayah sudah menentukan.
"Bagaimana Alya?" tanya Ayah, sepertinya Alya masih mempertimbangkan tawarannya. Aku yakin dia membutuhkan pekerjaan.
"Saya anggap kamu menerimanya, Alya. Selamat mulai besok kamu bisa datang kesini untuk belajar menjadi seorang sekretaris," lihat? Ayah hanya mempedulikan keputusannya sendiri.
Aku menyenggol bahunya karena dia tak kunjung memberikan jawaban, aku harap dia menolaknya.
"Baik tuan, setelah pulang kuliah saya akan kesini."
Aku membulatkan mataku, sedetik kemudian menormalkannya tak ada harapan lagi.
"Bagus," jawab Ayah.
"Jika tidak ada lagi yang perlu dibicarakan saya pamit untuk pulang," ucap Alya.
Ayah menganggukan kepalanya, "Silahkan,"
Aku langsung mengikutinya keluar, setelah sampai diluar aku langsung bilang, "Kenapa diterima sih?!" tanyaku dengan sisa kekesalanku.
"Karena aku ingin segera pulang, aku ingin ketemu Ibu!" ucapnya dengan nada yang sama denganku.
"Kau tak berfikir panjang, kau akan menjadi sekretarisku!"
"Memangnya kenapa? Menjadi seorang sekretaris bukan hal yang memalukan. Hanya saja aku akan mempunyai atasan yang menyebalkan."
Aku mendelik kesal, "Apalagi aku! Sangatlah malang nasibku," kataku sedikit dramatis.
Dia terlihat sangat kesal sekarang, baguslah.
"Sekarang antar aku ke rumah sakit!" ucapnya sambil meninggalkanku begitu saja. Apa itu tadi? Aku diperintah oleh nya seperti seorang supir!
Terpaksa aku mengantarnya sesuai janjiku, karena aku diajarkan untuk menepati janji sekecil apapun itu.
Aku melangkahkan kakiku mengikutinya, aku memegang bahunya dan menariknya karena dia berbelok ke tempat yang salah, "Mau kemana," ucapku membawanya ke arah pintu keluar.
"Kataku juga apa, ikuti aku agar kau tak tersesat!" ucapku dengan menaikkan satu sudut bibirku, dia terlihat kesal sekali.
"Aku tak suka berada di sini," ucapnya tiba-tiba.
"Baguslah," kataku.
"Rumah ini seperti labirin!" ucapnya dengan kesal.
Kami sudah sampai diluar rumah, kami memasuki mobil dan aku mulai mengantarnya menuju rumah sakit.