"Dia disana!"
Seorang gadis cantik terlihat sangat ketakutan dibelakang pohon besar sambil merapalkan doa di dalam hatinya. Gadis tersebut ialah Anaya.
Tiba-tiba saja, semua orang menuduh Anaya sebagai pembunuh. Dua hari yang lalu, sahabat karib Anaya yang bernama Gricella tewas secara mengenaskan. Entah bagaimana ceritanya, Anaya dituduh sebagai pembunuh Gricella.
Semua orang tampak terkejut namun langsung mempercayai hal tersebut karena sebelumnya, Gricella dikabarkan akan bertunangan dengan mantan kekasih Anaya. Hal tersebut menjadi pemicu adanya tuduhan bahwa Anaya membunuh Gricella lantaran iri dan marah. Padahal, Anaya telah merelakan mantan kekasihnya itu untuk Gricella sahabatnya.
"Kena kau!"
Salah satu pengawal istana berhasil menangkap Anaya yang bersembunyi di belakang pohon besar. Dengan wajah pucat pasi, Anaya pasrah ditarik menuju aula besar istana.
Di dalam aula terlihat semua anggota keluarga Mitchell sudah hadir dengan ekspresi yang sama, terkejut. Namun ada satu yang berbeda, ekspresi Sang Kakak. Aneera terlihat memasang ekspresi datar, bahkan Anaya sempat melihat senyum sinis di wajah kakaknya itu.
"Ada apa ini?" Batin Anaya.
Anaya dipaksa untuk berlutut menghadap Sang Ayah, raja Gladeon Mitchell.
"Karena dosa yang telah dibuat oleh putriku, dosa yang telah mempermalukan negara kita, maka sudah sepantasnya...
.Anaya dihukum...mati." ucap Gladeon dengan berat hati.
Anaya terkejut, ia tidak pernah melakukan pembunuhan apalagi sampai membunuh sahabatnya sendiri.
"Tidak! Percayalah, aku tidak membunuh Gricella!" Ucap Anaya histeris.
"Tidak raja, dengan mata kepala saya sendiri melihat putri Anaya membunuh Gricella dengan tangannya sendiri." Ucap Aneera.
Anaya kembali terkejut, bahkan hampir saja terkena serangan jantung jika ia memiliki penyakit itu. Kakaknya, orang yang selama ini selalu bersikap lembut padanya, tega menuduhnya hingga menghadapi hukuman mati.
"Bohong! Kakak, katakanlah yang sebenarnya!" Ucap Anaya.
"Sudah cukup!" Tegas Gladeon.
Gladeon terlihat menunduk sesaat lalu mengatakan kalimat yang sukses membuat Anaya membeku tidak percaya.
"Bunuh dia!" Ucap Raja Gladeon.
Anaya menatap sinis pada Aneera.
"Aku tidak membunuh siapapun." Ucap Anaya yang lebih terdengar seperti bisikan.
Lalu selanjutnya, Anaya merebut pistol dari salah satu pengawal dan menembakkannya sendiri tepat di kepalanya.
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
"Aku tahu kau pasti sedang melamun di sini." Ucap Reyhan.
Reyhan sedang memergoki Richard yang sedang duduk sambil memandangi bunga mawar juliet.
"Pergilah, aku tidak ada waktu untuk meladenimu." Ucap Richard.
Reyhan hanya membalas usiran Richard dengan kekehan. Ia tahu kakaknya yang dingin ini sangat butuh teman untuk bercerita.
"Apa kau gugup?" Tanya Reyhan setelah mendudukkan dirinya di samping Richard.
Richard menoleh ke Reyhan dengan menaikkan salah satu alisnya.
"Besok adalah hari pernikahanmu, meski dengan gadis yang sama sekali tidak pernah kau temui." Ucap Reyhan lagi.
"Aku tidak akan menghadiri acara bodoh itu." Balas Richard pada akhirnya.
"Tapi kau harus, itu sudah tertulis dalam surat wasiat ayah." Ucap Reyhan.
"Aku tidak peduli dengan wasiat itu." Balas Richard.
"Aku cukup mengenal Anaya, dia gadis pemalu." Ucap Reyhan.
"Siapa Anaya?" Tanya Richard.
"Calon istrimu." Jawab Reyhan.
"Aku sedikit mengenal putri Anaya." Ucap Reyhan lagi.
Entah kenapa Richard sedikit tertarik untuk mendengar sesuatu tentang calon istrinya itu.
"Dia sangat pemalu, dia gadis yang sangat cantik meski bukan putri bangsawan kelas atas. Aku rasa dia juga tidak memiliki banyak teman sepertimu. Ketika pertama kali aku menyapanya, dia bahkan tidak berani menatap mataku. Dia sangat pemalu." Sambung Reyhan.
Richard hanya diam mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Reyhan.
"Dia terlihat sangat....rapuh? Karna dia pemalu, jadi aku melihatnya seperti itu. Sangat berbanding terbalik dengan sifatmu, bukan?" Ucap Reyhan.
Richard tidak mengeluarkan suara apapun karena masih mencerna kalimat-kalimat Reyhan. Satu pertanyaan muncul di benak Richard, "Kenapa ayahnya ingin menikahkan dia dengan seseorang seperti Anaya?"
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
"Kau tidak ingat? Ini ayah nak."
"Dia hanya berpura-pura, itu pasti salah satu tipuannya agar tidak dinikahkan dengan pangeran Richard."
"Anaya, kau mendengarku?"
Anaya mengangguk ragu, ia masih tidak percaya dengan semua ini. Apalagi setelah melihat kondisi di sekitarnya, kamar tidur yang jauh dari kata mewah dan justru terlihat sangat kuno. Serta baju yang dikenakan dua orang di depannya sangat aneh, juga terlihat sangat kuno. Ada apa ini ?
"Ayah?" Tanya Anaya.
"Iya ini ayah, Brad. Kau biasa memanggilku dengan sebutan roti." Jawab Brad.
"Brad?" Ulang Anaya.
Melihat Anaya yang kebingungan membuat Brad panik. Dengan cepat ia keluar dari kamar Anaya dan berniat memanggil tabib kerajaan.
Sepeninggalnya Brad, di kamar Anaya hanya ada Anaya dan Helena.
"Aku tahu kau hanya berpura-pura, sekarang tinggal kita berdua jadi berhentilah bersandiwara." Ucap Helena sinis.
Melihat tatapan mata Helena membuat sekelebat ingatan tentang hari kematiannya muncul di kepalanya.
"Bukankah aku sudah mati?" Batin Anaya.
Dari ingatan tersebut Anaya yakin dia sudah mati. Namun, kenapa ia bisa berada di sini ?
"Hei! Aku berbicara denganmu, bodoh!" Teriak Helena sembari menarik rambut Anaya.
Anaya sadar bahwa orang didepannya tidak sepantasnya diperlakukan baik.
"Lepaskan!" Ucap Anaya sembari menepis tangan Helena kasar.
"Aku tidak tahu siapa kau, aku juga tidak tahu kenapa kau terlihat membenciku, dan yang buruknya aku tidak ingat bagaimana aku bisa di sini!" Ucap Anaya menggebu-gebu.
Helena terkejut dengan perubahan Anaya, anak tirinya itu tidak pernah berani menatap matanya apalagi sampai membalas perkataannya.
Tabib kerajaan datang bersama Brad di waktu yang sama.
"Dilihat dari perubahan drastis ini, hanya ada satu kemungkinan. Anaya mengalami hilang ingatan." Ucap tabib tersebut.
Brad terlihat berkaca-kaca. Ia terlihat sangat menyesal.
"Anaya, apakah kau sangat membenciku hingga menjadi hilang ingatan?" Ucap Brad berat.
"Tuan, aku tidak hilang ingatan. Aku hanya hidup kembali dan tersesat di sini." Ucap Anaya tegas pada tabib di samping ranjangnya.
Tabib tersebut terlihat tersenyum, ia paham Anaya pasti kebingungan.
"Ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tapi sepertinya ingatan Anaya tergantikan dengan ingatan orang lain." Ucap tabib tersebut akhirnya.
Anaya masih bingung dengan apa yang terjadi, ia berpikir hanya ada satu pertanyaan. Jika pertanyaan itu terjawab, maka jawaban dari semuanya akan diketahui.
"Tuan ehmm, siapa ? Roti ? Tahun berapakah ini?" Tanya Anaya.
"Tahun 1727. Kenapa kau menanyakannya?" Jawab Brad.
Daaannn terjawab sudah. Bukannya terkejut, Anaya justru terlihat menampilkan senyum menawannya.
"Jadi, aku bertransformasi? Ini hebat! Aku tidak percaya aku seberuntung ini! Aku bisa merasakan dunia tanpa alat-alat canggih dan semacamnya. Wahh." Batin Anaya.
〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️〰️
Di tengah hamparan rumput di depan sungai Anwel, terdapat seorang pria tampan yang sedang melamun menatap sungai. Pria itu adalah pangeran Richard. Setelah perbincangan singkat dengan Reyhan siang tadi, sore ini Richard sengaja mengasingkan diri di sekitar sungai Anwel untuk menjernihkan pikiran dari isi surat wasiat ayahnya yang hingga sekarang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
"Manis, kamu bersembunyi dimana ? Aku tidak akan memakanmu, aku akan merawatmu, aku janji."
Tiba-tiba saja suara seorang mengintrupsi lamunan Richard. Richard pun menoleh ke sumber suara dan mendapati gadis cantik yang sedang membungkuk seperti mencari sesuatu sambil mengangkat rok gaunnya tinggi-tinggi.
Menurut peraturan zaman dahulu, perempuan dilarang mengangkat roknya terlalu tinggi apalagi hingga memperlihatkan kakinya. Hal tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak sopan.
Richard menatap heran dengan gadis tersebut yang sepertinya tidak menyadari keberadaannya.
"Ah, disana kau rupanya. Ayo turun, aku akan merawatmu. Aku janji." Ucap gaids itu lagi.
Richard menoleh ke arah tatapan gadis itu tertuju, sebuah pohon besar. Tidak, bukan pohon besar itu, lebih tepatnya ular hijau di pohon itu.
Apa gadis itu ingin menangkap ular? Luar biasa, pikir Richard.
Baru kali ini Richard melihat seorang gadis ingin menangkap ular. Kebanyakan gadis-gadis akan takut pada ular.
Dengan berhati-hati, gadis itu menangkap ular yang masih bergantung di atas dahan pohon. Ular itu nyaris saja akan menggigit Sang Gadis, namun dengan cepat gadis itu menangkap kepalanya dan memaksa mulut ular tersebut untuk terbuka lebar.
"Ayo, keluarkan semua bisamu. Eh, ada sungai. Kau harus mandi." Ucap gadis itu.
Hingga sampai di pinggir sungai, Sang Gadis tetap tidak menyadari tatapan Richard yang sedari tadi melihatnya.
"Lihatlah, kau sangat manis." Ucap gadis itu lagi.
Saat akan mengangkat ular tersebut, gadis itu terkejut melihat adanya Richard.
Richard yang akhirnya disadari kehadirannya segera berdiri dan berjalan mendekati gadis itu.
"Apa kau penguntit?" Ucap gadis itu dengan mata menyipit.
Richard terkejut dengan tuduhan tiba-tiba gadis di depannya ini. Apa dia tidak tahu siapa Richard ? Haruskah Richard membunuhnya agar dia sadar sedang berhadapan dengan siapa?
Pria itu tidak menjawab tuduhan Sang Gadis, ia memilih untuk berjalan lebih dekat agar si gadis merasa terintimidasi.
Namun, harapan Richard sia-sia. Gadis itu justru menatap nyalang Richard dengan dagu yang diangkat tinggi-tinggi seakan mengatakan "aku tidak takut".
"Ah, Yang Mulia Pangeran. Maafkan sifat tidak sopan putriku ini." Ucap Brad yang tiba-tiba datang.
"Putri...mu?" Tanya Richard seakan tidak percaya.
Dari yang diberitahukan oleh Reyhan tadi siang, putri panglima perang kerajaan memiliki perangai yang sangat pemalu. Tapi gadis di hadapannya ini sangat berbeda dengan yang diceritakan Reyhan.
"Iya, Yang Mulia. Putri hamba baru saja kehilangan ingatannya, itu sebabnya ia bersikap sedikit berbeda. Mohon maafkan kesalahan hamba, Yang Mulia."
"Tunggu, itu bukan kesalahanmu. Tidak seharusnya kau meminta maaf. Dan lagi, dia pangeran ? Dia HANYA pangeran bukan raja, tidak perlu terlalu menghormatinya." Ucap Anaya protes.
Richard memelotokan matanya tidak percaya. Benarkah dia si putri pemalu itu ?
Brad menyenggol lengan kiri Anaya agar diam.
"Aku tidak peduli." Ucap Anaya sambil berlalu pergi, tentu saja dengan ular barunya.
"Akan kupastikan kau tidak akan berani mengucapkan satu patah katapun mulai besok." Ucap Richard penuh ketegasan kepada Anaya.
Mendengar ucapan Richard, Anaya sedikit bingung namun sedetik kemudian dia melambaikan tangannya merasa tidak peduli.
Dalam peraturan zaman dahulu, melabaikan tangan kepada bangsawan kelas atas merupakan tindakan yang tidak sopan. Karena dianggap mengabaikan bangsawan kelas atas.
"Mohon maafkan putri hamba, Yang Mulia." Ucap Brad lagi setelah kepergian Anaya.
Richard lalu meninggalkan Brad begitu saja tanpa mengatakan apapun.