Tatapan dingin itu bertemu dengan tatapan kesal sekaligus takut. Sheren menatap dingin teman-teman sekelasnya yang kentara sekali tengah mengucilkannya. Dia lalu melangkahkan kakinya menuju bangku yang biasa jadi tempat duduknya. Dan bangku itu kini telah berubah, bukan Rhea yang duduk di sana. Adeline menatap Sheren dengan tatapan ramah. "Selamat pagi, She! Gimana kabarmu?"
Sheren tersenyum manis. "Kabarku sangat sehat dan bahagia! Aku ternyata bisa memiliki banyak teman baru yang menyayangiku!" Sheren sengaja mengatakan jawabannya dengan nada keras, sehingga mantan teman-temannya bisa mendengar kalimatnya.
Adeline tertawa mendengar respon Sheren, lalu berkata, "Wah bagus sekali! Memang benar, orang yang menusuk kita paling kejam adalah orang yang dekat dengan kita."
Sheren duduk di kursinya, dia lalu berbisik, "Kamu gak takut dirundung mereka Line?"
Adeline tertawa. "Takut dirundung mereka? Tentu saja tidak takut! Memang mereka siapa? Raja? Daripada itu, bagaimana persiapanmu untuk ke Austria?"
"Aku sudah siap untuk ke Austria. Menurutku, pertunjukan nanti tidak akan ada bedanya dengan pertunjukan piano yang pernah kuikuti sebelumnya. Tapi yang berbeda adalah posisiku sekarang. Aku yang sekarang adalah representasi dari banyak orang."
"Kamu tahu She? Aku berharap sekali kamu bisa bergabung menjadi anggota Winter Orkestra. Karena selama ini, kami tidak pernah memiliki pianis tetap."
"Wah gimana ya Line? Kontrakku dengan Golden Team bahkan baru dimulai."
Adeline mengangguk. "Iya juga. Ah iya, bagaimana jika nanti di jam istirahat kita berlatih bersama?"
"Setuju!"
***
Ruang orkestra sekolah sangat sepi di jam istirahat. Di sana, hanya ada Adeline dan Sheren yang tengah melakukan pemanasan. Sheren kemudian menatap Adeline seraya berkata, "Line, sebenarnya yang menyebar isu tentang aku yang akan datang ke kafe Rhea siapa ya? Apa tujuannya? Aku yakin orang itu adalah seseorang yang aku kenal."
Adeline menghela nafas prihatin. "Maaf Sheren, aku belum berhasil menemukan siapa orangnya. Aku akan berusaha lebih keras untuk mencari tahu. Tapi, aku curiga orang itu adalah Sashi."
"Sashi?"
"Iya, Sashihara. Aku tahu kalian dulu berteman lumayan akrab, tapi Sashi tidak sebaik itu. Sashi selalu haus perhatian karena orang tuanya tidak pernah memberinya kasih sayang dan perhatian. Sashi juga gemar menyebarkan gosip aneh-aneh di luar kelas. Tapi, aku belum bisa menemukan bukti valid mengenai itu."
Sheren tersenyum tulus. "Terima kasih ya Line karena mau menjadi temanku, terutama di saat seperti ini."
"Bukankah itu gunanya teman?"
Sheren tertawa. Kemudian, dia mulai memainkan intro lagu yang akan mereka bawakan di Austria nanti. Suara biola dan piano itu berpadu dengan sangat baik dan cantik. Membuai telinga siapa saja yang mendengarnya. Walau hanya dua alat musik yang dimainkan, namun tidak mengurangi keindahan yang dihasilkan oleh dua alat musik itu.
***
Sepulang sekolah, Sheren bisa bernapas lega karena dia tidak memiliki jadwal apa-apa hari ini. Anehnya, dia juga merasa lega kala dia tidak menyapa teman-teman sekelasnya dan tidak berbasa-basi dengan obrolan-obrolan tidak penting yang selalu dia lakukan dulu. Mungkin karena sekarang dia tidak lagi berbasa-basi seperti yang dia lakukan dulu, maka dari itu hatinya sangat lega sekarang.
Sheren tengah merebahkan badannya di atas tempat tidurnya. Kasur bersprei buah stroberi warna merah muda ini sudah lama tidak dia pakai. Dan Sheren merasakan kegembiraan yang meletup-letup di dadanya karena dia berhasil melakukan hobi rebahannya setelah sekian lama tidak dia lakukan dengan benar.
Sebuah ide tiba-tiba melintas di benaknya secepat meteor. Dengan sigap, dia mengambil laptopnya. Kemudian menyalakan laptopnya. Sembari menunggu, mulutnya menggumamkan nada-nada dalam gumaman yang indah. Sheren kemudian mengarahkan tetikusnya ke simbol program komputer khusus membuat musik. Dan beberapa menit kemudian, dia telah tenggelam dalam dunia nada yang berwarna-warni.
Musik selalu bisa mengungkapkan perasaan dengan baik. Tak perlu menuliskannya dalam lirik secara gamblang, namun paduan antara lirik dan nada yang saling mengisi membuat musik mampu menyampaikan perasaan yang tak bisa disampaikan dengan kata-kata. Musik juga mampu membuat waktu bagi dunia Sheren terasa berhenti, walau pada kenyataannya tidak.
Jam di layar monitor laptop Sheren menunjukkan angka 16.00, tak terasa dia telah menghabiskan waktu tiga jam nonstop untuk membuat musik. Sheren meregangkan badan sejenak, kemudian dia menutup program komputer pembuat musik setelah menyimpan datanya. Sebuah dorongan untuk membuka media sosialnya muncul, dengan iseng Sheren membuka media sosialnya. Mengecek satu per satu komentar yang masuk di akunnya. Sebuah tanda centang biru tersemat di samping nama penggunanya. Matanya terpatri pada beberapa komentar yang menghujatnya. Rentetan kalimat menyakitkan tertulis di sana.
'Oh, jadi ini ya member yang numpang tenar itu?'
'Apa hebatnya dia sih? Penampilannya biasa saja, malah mirip tengkorak berjalan.'
'Suaranya cukup bagus, tapi bagaimana bisa dia debut di dalam tim yang berisikan orang-orang yang sudah sangat terkenal? Apakah dia menjual tubuhnya pada perusahaan?'
'Dia tidak sehebat itu! Aku harap kamu segera hancur!'
Sheren merasakan amarahnya mendidih, namun di satu sisi dia merasa kecewa dan sedih. Dia marah karena ada banyak komentar jahat di foto-foto serta video-video yang dia unggah di media sosialnya, padahal dia tidak mengunggah konten negatif. Dia kecewa karena banyak orang yang membencinya, karena berarti kehadirannya tidak diinginkan. Dan dia sedih karena tertampar kenyataan bahwa dirinya tidak berbakat di mata orang lain. Sheren lalu mematikan laptopnya setelah keluar dari laman media sosialnya. Gadis cantik itu memejamkan mata dengan erat. Kalimat-kalimat itu berhasil melukainya dengan dalam.
***
Masker hitam, jaket bertudung warna ungu, celana jeans hitam dipadu dengan terusan berwarna ungu polos, serta sepatu flat ungu adalah penampilan Sheren malam ini. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan seorang diri supaya beban pikirannya sedikit lepas. Mama hari ini berada di luar negeri, sedangkan Ayah sedang ada di Banjarmasin. Dan Shaka belum pulang dari tempat lesnya. Kaki-kaki Sheren menelusuri trotoar dengan pelan. Kalimat-kalimat jahat itu terus berputar-putar di otaknya. Ditambah lagi, Sheren tidak memiliki seseorang yang bisa diajak berbagi.
Dari arah yang berlawanan, dua orang pemuda tengah berjalan-jalan santai di trotoar. Mereka bercanda satu sama lain.Baik Sheren maupun dua orang pemuda itu tidak menyadari bahwa mereka berjalan saling mendekat. Sheren berjalan sambil menunduk, sementara pikirannya melayang jauh ke kalimat-kalimat jahat itu.
"Ah maaf!"
"Loh Sheren?"
Sheren menabrak kedua pemuda itu. Kemudian, manik matanya mengerjap menatap wajah familiar dua orang itu. Lucas dan Shawn berdiri di depannya, menatapnya dengan pandangan penasaran. Lucas menatap Sheren heran seraya berkata, "Kamu dari mana? Kamu sendirian?"
Pertanyaan Lucas mampu membuat pertahanan perasaan Sheren koyak seketika. Gadis itu menangis tersedu-sedu layaknya anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Hal itu membuat Lucas dan Shawn panik. Shawn meraih bahu Sheren, kemudian memeluknya erat. Membiarkan Sheren menangis dalam dadanya. Sementara itu, Lucas mengusap punggung Sheren. Ada banyak pertanyaan di benak Shawn dan Lucas, namun mereka memilih untuk menanyakannya nanti.
***
Adinda menyerahkan secangkir susu coklat hangat pada Sheren. Shawn dan Lucas memutuskan membawa gadis itu ke rumah Adinda. Menurut Shawn, curhat dengan sesama perempuan bisa menenangkan hati Sheren. Jadi, mereka membawa Sheren ke rumah Adinda setelah tangis gadis itu reda walau belum berhenti.
"Maaf merepotkan," gumam Sheren parau. Kedua matanya bengkak dan merah akibat menangis terlalu lama.
Adinda mengusap kepala Sheren lembut. "Enggak apa-apa kok. Gimana perasaanmu?"
Lucas mengambil cangkir susu yang sudah kosong dari tangan Sheren. Kemudian, meletakkannya di meja. "Teman-temanmu melukaimu ya?"
Sheren menghela napas. Dia kemudian menceritakan permasalahannya dengan mantan teman-temannya dan komentar-komentar jahat yang dia dapat. Lucas, Shawn, dan Adinda menghela napas panjang bersamaan. Komentar-komentar hujatan dan ujaran kebencian selalu menjadi masalah serius. Orang yang mengirim komentar tersebut sering kali berdalih bahwa dia melakukan itu hanya untuk lelucon atau untuk kritik. Namun, tidak dibenarkan juga jika mereka melontarkan kalimat penghinaan dan ujaran kebencian.
"Kita laporkan ke agensi yuk? Supaya tidak ada komentar kebencian lagi yang menganggu kesehatan mental seseorang," usul Lucas.
"Jangan! Kasihan Luc!" tolak Sheren.
Adinda menghela napas. "Lalu, kamu maunya gimana?"
"Enggak tahu," cicit Sheren kebingungan.
Shawn menatap Sheren dengan tatapan teduh. "Begini saja, kita tidak akan melaporkannya ke polisi. Tapi, kita akan memberitahu Alana untuk langkah pencegahan agar menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Setuju?"
Sheren mengangguk lemah. "Oke." Dia lalu melanjutkan dengan senyum lemah, "Maaf karena merepotkan kalian."
Adinda menepuk pundak Sheren dengan lembut. "Enggak apa-apa kok, sama sekali enggak merepotkan. Kamu mau menginap di sini? Atau pulang?"
"Pulang saja karena saudaraku sendirian di rumah. Aku harus menjaganya," kata Sheren.
Shawn terkekeh geli. "Kebalik Sheren. Bukan kamu yang menjaga Shaka, tapi Shaka yang menjagamu. Lagian, kamu memangnya bisa beladiri jika terjadi sesuatu?"
"Ya enggaklah."
Lucas menepuk paha Shawn dengan tangan kirinya untuk meminta perhatian Shawn. Shawn menatap Lucas dengan ekspresi heran. "Kenapa Cas?"
"Anterin Sheren pulang setelah ini," jawab Lucas.
***
Mobil yang dikendarai Shawn melintasi jalanan Surabaya yang padat oleh kendaraan. Sheren menatap Shawn yang dengan terampil memutar kemudi, kedua kakinya bergerak terampil menginjak pedal gas, persneling, dan rem secara bergantian. "Shawn," panggil Sheren.
"Ya, ada apa She?"
"Terima kasih ya untuk semuanya. Dan maaf, dulu sikapku sangat buruk terhadapmu."
"Tidak apa-apa, itu adalah kewajibanku untuk membantumu."
"Tapi aku gak enak, Shawn. Bukan hanya padamu, tapi juga pada Lucas dan Adinda. Aku tidak membantu kalian dalam membangun tim, dan aku selalu merepotkan kalian."
Shawn tersenyum. Manik matanya menatap Sheren sekilas. "Jangan bicara begitu. Kami bukan hanya rekan kerjamu, tapi juga keluargamu. Jadi, membantumu bukanlah beban melainkan kewajiban. Kami melakukannya dengan senang hati."
"Tetap saja Shawn! Aku merasa menjadi beban untuk kalian."
"Kamu bukan beban untuk siapa-siapa, Sheren. Kehadiranmu justru menambah keunikan dalam tim kita."
Sheren tersenyum lemah menatap Shawn. Gadis itu kehilangan kata-kata, karena berapa kali pun dia minta maaf dan berkali-kali pula Shawn mampu menjawab kalimat-kalimat maafnya dengan alasan yang membuat hati Sheren hangat.
***
Surabaya, 11 Mei 2020
Aku kehilangan banyak hal untuk berada di sini; kebebasanku, privasiku, dan juga temanku. Tapi aku tahu, aku juga mendapatkan banyak hal baik di tempat ini. Salah satunya adalah keluarga baru.