Hangat dan luas menyelimuti rumah itu. Bukan rumah, bagi Naca itu istana. Ternyata Dave membawanya ke kediaman pribadinya. Ada banyak pelayan dan penjaga di sana. Naca sampai tidak henti-hentinya tercengang. Mulutnya terus terbuka lebar bahkan ketika dirinya tiba di sebuah kamar yang penuh harum maskulin. Sangat menyengat dan nyaman. Tunggu, aromanya seperti jas yang dipakai Dave. Seketika Naca sadar bahwa itu kamar Dave. Dia menunjuk Dave aneh.
"Kau ... kenapa membawaku ke sini? Tempat macam apa ini?!" pekiknya bodoh.
'Rumah yang benar-benar mewah! Aaa, jiwa miskinku meronta-ronta!' sambungnya dalam hati.
Dave tidak peduli. Dia menyalakan laptop di meja yang hanya berisi lampu tidur. Naca mengerjap. Kemudian, menghampirinya.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya mulai santai. Bibirnya ditekuk karena penasaran.
"Tidak ada CCTV, dinding tidak memiliki telinga dan mata, juga tidak akan ada penghianat yang mendengar setiap obrolan kita. Dengarkan aku dan lihat ini baik-baik. Inilah alasan mengapa aku tidak mau menikah denganmu, tetapi aku tetap memaksamu." Dave menunjukkan video yang telah diputarnya dalam laptop. Naca memperhatikannya dengan seksama. Dia mendekat sampai matanya memicing.
"Apa ini? Tunggu dulu, kenapa kau seolah-olah takut memperlihatkan ini di tempat lain? Maksudmu akan aman jika di rumahmu? Kenapa? Apa tidak boleh diketahui siapapun?" tanya Naca beruntun.
"Cerewet!" desis Dave tajam membuat Naca sedikit terkesiap.
"Menakutkan!" gumam Naca meledek.
"Aku bisa mendengarnya," jawab Dave kesal. Dia memasukkan tangannya ke saku celana.
"Bagus kalau begitu." Naca tetap menjawab walau terus melihat tayangan video.
"Naca, jangan sampai jariku mengotori mulutmu," kali ini desisan Dave lebih tajam dari sebelumnya.
Naca meringis tidak berani menjawab.
'Ingat, Naca, dia bukan orang baik. Jangan bercanda dengannya. Mungkin saja dia monster, bukan manusia,' batin Naca merasa ngeri.
Video itu menunjukkan sesuatu yang sangat berbeda dengan kenyataan. Naca mengerutkan dahi kala videonya selesai. Menatap Dave dan laptop bergantian. Sangat jelas kebingungan tertera di wajahnya. Dave mengangguk mengerti pertanyaan di benak Naca.
"Ini ... apa?" tanya Naca.
Dave menarik napas dalam, "Sebuah kontrak di mana aku tidak boleh menikah dalam satu tahun ini demi pekerjaan yang penting. Di sisi lain, ayahku yang merupakan pemilik perusahaan tempat ayahmu bekerja ingin aku menikah secepatnya. Intinya aku harus menikahimu karena perihal ayahku dan ayahmu, tetapi aku tidak mau menikah denganmu karena tugasku. Semuanya ada dua pilihan, Naca. Sayangnya aku juga tidak ingin melepaskanmu sebagai budak."
Naca tercengang lagi. Sudut bibirnya terangkat sebelah. Lupakan soal budak dan perjelas tentang teori video yang memperlihatkan kontrak kerja Dave dengan seseorang yang mengerikan juga keinginan bos besar untuk Dave agar cepat menikah, padahal usia Dave masih dua puluh lima tahun. Itu cukup muda bukan?
"Jadi kau minta saranku? Hahaha, aku tersanjung. Padahal tidak ada sangkut pautnya denganku." Naca berkacak pinggang dan memalingkan pandangan. Tawanya dipaksakan kaku dan langsung berubah cuek. Tidak mau menatap Dave.
"Setiap gerak-gerikku banyak yang mengawasi. Itu sebabnya aku mengatakannya di sini. Kau itu bodoh, akan merepotkan kalau terkena bahaya karena aku tidak mau melindungimu. Bisa saja seseorang menculikmu karena ketahuan sedang bersamaku," ujar Dave acuh.
Naca menoleh cepat, "Mulutmu itu tidak pernah diajarkan tata krama atau apa? Selalu saja memancing emosi. Tidak ada ekspresi, tapi banyak bicara."
"Sejauh ini kubiarkan kau, Naca. Sekarang tidak lagi. Cepat katakan apa pendapatmu?" Dave serius. Dia berkedip satu kali.
Naca salah tingkah. Dia mundur selangkah. Bahkan memundurkan wajahnya. Aura kamar menjadi gelap seolah awan mendung berada di langit-langit kamar.
"Kalau begitu, lebih baik jangan menikah saja. Aku juga tidak mau menikah dengan orang aneh sepertimu. Soal hutang, kau percaya atau tidak aku akan melunasinya. Aku sudah dapat pekerjaan sekarang. Tolong beri aku kesempatan."
Awalnya Naca tidak berani menatap Dave, tetapi di akhir ucapannya dia menatap Dave dengan mata yang sangat lebar. Dave tersentak dalam diam. Lalu, dia tertawa keras sampai Naca terkejut.
'Astaga, ini orang tertawa saja sudah mau merusak jantung,' sabar Naca dalam hati.
Seketika Dave diam tak berekspresi lagi, "Meskipun kau bekerja seumur hidup tidak akan mampu membayar hutang ayahmu."
Naca ingin sekali memukul kepala Dave yang angkuh itu. Dia sudah menahan gejolaknya mati-matian sekarang.
'Dasar orang kaya! Soal uang mana pernah dianggap serius? Bisanya cuma meremehkan dan menghina saja!' maki Naca dalam hati.
"Satu minggu lagi, kita akan menikah, tapi hanya pura-pura," lanjut Dave membuat Naca syok.
"Ide gila apa lagi sekarang?" Naca tidak berteriak. Dia bahkan bersuara berat. Laki-laki di depannya sudah gila.
"Itu satu-satunya cara agar aku tidak menikah dan kau tetap menjadi budakku. Dengan identitas pernikahan palsu, kau bisa tinggal bersamamu, tapi sebagai alat pengganti uang." Dave menyeringai.
Bagai terlempar batu besar, Naca menahan sedikit amarah. Entah keberanian dari mana dia maju selangkah lebih dekat dengan Dave.
"Meskipun aku hanya gadis biasa, kau tidak bisa mengatur hidupku atas nama hutang. Aku juga punya harga diri. Aku menolak permintaanmu. Kita lihat saja, apakah kau bisa membuatku sebagai budakmu atau tidak. Cukup sampai di sini. Permisi!" Naca mendesis di akhir perkataannya.
Pada dasarnya memang tanpa emosi, Dave tidak merasa terintimidasi sama sekali. Dia membiarkan Naca pergi, akan tetapi setelah hampir tiba di pintu, Naca kembali. Dia melempar uang dia lembar lima puluh ribu tepat di wajah Dave sampai Dave menutup matanya.
"Itu imbalan tempo hari, Tuan Muda," ujar Naca sebelum pergi.
Tangan Dave terkepal. Namun, tetap membiarkan Naca meninggalkan kamarnya. Dia melihat bayang-bayang Naca yang berlari menuju pintu utama rumah.
Dia menyeringai, "Gadis yang sangat berani."
Naca tidak tahu harus pergi ke mana. Setelah berhasil keluar dari rumah Dave, dia tiba di jalan raya yang sangat besar. Menengok kanan-kiri tidak mengenal jalan itu sama sekali. Apakah dia tersesat?
"Gawat! Ini di mana? Aku tersesat!" Naca mengacak rambutnya bingung.
Trotoar dan traffic light berwarna hijau begitu ramai. Kota Jakarta memang selalu ini, tapi ini bukan daerahnya.
"Aduh, aku harus gimana sekarang? Ah, handphone! Sial, baterainya habis!"
Kekesalan Naca semakin bertambah kala melihat handphone yang kehabisan baterai. Dia berdecak, hanya bisa diam di trotoar. Siapa tahu ada ojek atau kendaraan umum yang lewat dia bisa pulang. Sayangnya sudah hampir setengah jam berdiri tidak ada tanda-tanda tumpangan. Naca mulai gerah.
Tanpa sadar menoleh ke kanan. Terdapat seorang lelaki yang berpakaian santai nan rapi menggunakan jaket berwarna hitam. Dia sedang berteduh di bawah pohon sambil bermain handphone.
'Sejak kapan ada cowok di sana? Perasaan tadi tidak ada. Ah, apa aku tanya dia saja, ya, ini di mana?' pikir Naca.
Mulai mengulas senyum. Memberanikan diri mendekati pemuda itu. Naca meneleng mencoba melihat wajah orang itu lebih jelas.
"Eee, permisi. Maaf, saya ingin bertanya sesuatu," sopan Naca.
Seketika orang itu mematikan handphone-nya dan menyadari kehadiran Naca, "Oh, iya? Ada yang bisa saya bantu?"
Naca meringis, "Ini di mana, ya? Maksudku apa ini masih Jakarta? Aku tidak pernah melihat jalan ini dan kurasa aku tersesat."
'Ya Tuhan! Dia tampan sekali! Senyumnya manis! Lebih baik dari Dave si kejam itu,' pikir Naca.
Tidak berhenti tersenyum, laki-laki itu menjawab pertanyaan Naca. "Tentu saja ini di ibu kota. Kau mau ke mana? Kalau mau aku bisa mengantarmu," tawarnya.
Naca langsung menggeleng dan menyilangkan tangannya, "Tidak, tidak, terima kasih. Aku hanya ingin tau saja, haha."
Laki-laki itu tertawa kecil, "Oh, baiklah. Aku akan pergi ke stasiun televisi. Aku reporter di sana. Tidak apa-apa jika ingin kuantar. Aku sungguh tidak keberatan."
Naca mendadak antusias, "Reporter? Ah, senangnya bertemu dengan reporter sungguhan! Aku baru saja lolos interview. Kita di bidang yang sama, haha!"
Terlalu senang sampai lupa jika berbicara dengan orang asing. Kemudian, dia meminta maaf karena sudah bertingkah aneh dan lancang. Namun, laki-laki itu justru tertawa. Setelah itu mengulurkan tangan membuat Naca terheran.
"Benarkah? Selamat untukmu! Perkenalkan, aku Varelino Zein Akbar. Panggil saja Varel. Haha, entah kenapa aku ingin satu pekerjaan denganmu. Apa kita berada di kantor yang sama?"
Laki-laki bernama Varel itu masih menyunggingkan senyum ramah. Lesung pipinya sedikit terlihat. Usianya dua puluh lima tahun sekarang. Naca terpesona sebentar mengabaikan ukuran tangan Varel.
'Wah! Nikmat apa yang kau berikan ini, Ya Tuhan? Aku bertemu dua lelaki tampan berbeda spesies dalam dua hari? Mengejutkan hatiku!' batin Naca bodoh.
Tergagap dan menerima uluran tangan Varel disertai ringisan yang tidak jelas, "Ahaha, kau baik sekali! Aku Naca Ilivian Sanira, semua orang memanggilku Naca. Jadi ... senior Varel? Apa aku sungguh boleh merepotkanmu untuk mengantarku pulang?"
Varel tergelak dan melepaskan jabatan tangan mereka, "Senior? Lucu sekali!"
Naca termangu melihat Varel tertawa tanpa henti. Padahal Varel sudah berusaha meredamkan tawanya. Sayang sekali ucapan Naca terdengar lucu baginya. Sedangkan bagi Naca, tawa itu bagai hujan di tengah musim kemarau. Sangat menyejukkan jiwa.
'Ah! Manisnyaaa!!!' pekik Naca tak karuan dalam hatinya.
Setelah berbincang saling tarik ulur akhirnya Naca bersedia merepotkan Varel untuk diantar sampai rumah. Menggunakan motor besar yang ternyata motor itu sedang berada di bengkel di belakang tempat mereka berdiri sebelumnya. Mungkin ini kebetulan yang sangat indah. Mereka berpisah ketika Naca telah tiba di tujuan dengan aman. Senyum manisnya Varel tidak akan pernah terlupakan di benak Naca. Dia seperti orang yang mabuk kepayang. Senyum-senyum sendiri bahkan setelah masuk rumah.
Soal jendela yang rusak, tentu saja orang tuanya marah besar. Naca tidak peduli, dia asik membayangkan Varel sampai lupa perihal pernikahan dan ide gila Dave. Hingga malam harinya dia hanya bisa mempersiapkan segala hal untuk mulai bekerja besok. Pakaian, tas, make up, berkas-berkas yang mungkin bisa dia pelajari secara mendadak, dan juga latihan bicara.
Keesokan harinya dia mendatangi kedua orang tuanya hanya untuk mengatakan bahwa dia sudah bekerja. Dengan perlakuan Naca yang seenaknya, mereka ha ya bisa pasrah asalkan gadis itu bersedia menikah.
Saat menunggu bus di halte, Naca mendapat sebuah pesan dari nomor asing. Isinya adalah jumlah hutang sebesar lima ratus juta yang harus dibayar dua kali lipat jika Naca ingin mengembalikannya. Hanya itu dan Naca tahu betul siapa pengirimnya. Langsung memasukkan handphone ke dalam tas. Napasnya mendadak memburu.
"Si datar itu mau mengancam apa lagi? Apa sengaja membiarkanku untuk melunasi hutang ayah sungguhan? Dengan bunga dua kali lipat? What?! Aarghh, dari mana juga dia dapat nomorku?!" geram Naca menggerutu. Dia menahan suaranya takut didengar banyak orang.
Daripada panas memikirkan pesan pemberitahuan yang sangat berharga dari Dave, lebih baik Naca sibuk dengan pekerjaan barunya. Dia tiba di kantor stasiun TV. Diarahkan oleh manajer untuk menemui seorang senior yang bersedia membimbingnya di hari pertama bekerja. Naca selalu tersenyum. Suara sepatu hak tingginya terdengar mantap di ubin yang dingin. Dia menuju salah satu kubikel kerja tempat para reporter.
"Permisi, dia adalah anggota baru kita. Bisakah kau tunjukkan bagaimana pekerjaannya?" tanya orang itu kepada seorang senior yang duduk sambil mengetik sesuatu.
Lalu, senior itu membalik badan sambil menghela napas. Betapa terkejutnya dia saat melihat Naca. Naca pun sama terkejutnya. Mereka saling menunjuk kecil.
"Senior Varel?!" pekik Naca tertahan.
"Naca?!" Varel juga tidak bisa menahan suaranya.
Sontak mereka menjadi bahan pandangan sebentar. Orang yang mengantar Naca memandang mereka heran, "Kalian saling kenal?"
Naca tergagap dan bicara terlebih dahulu, "Ahaha, hanya tidak sengaja bertemu di jalan. Mohon bantuannya, Senior!" menundukkan kepala ramah.
Varel buru-buru berdiri dan membalas keramahan Naca dengan menundukkan kepala, "Mohon kerja samanya." dia kembali berdiri tegak, "Terima kasih. Serahkan anak baru ini padaku," ujarnya pada orang yang mengantar Naca.
"Haha, kalau begitu selamat bekerja!" orang itu melambaikan tangan pada Varel dan menepuk pundak Naca tanda pamit dan menyemangati.
Naca pun mengangguk, "Terima kasih banyak!"
Saat orang itu sudah menjauh, Varel bersendekap. Memandang Naca heran seakan tidak percaya. Naca meringis sebentar lalu sadar berada di kantor sehingga dia harus menjaga sisi emosionalnya.
"Tidak kusangka kita berada di stasiun TV yang sama. Apa ini takdir?" tanya Varel bercanda.
Naca terkekeh, "Ini seperti mimpi kau tau? Eh, maaf sudah lancang. Seharusnya aku bicara formal, ya? Kalau begitu, mohon bimbingannya, Senior!"
Lagi dan lagi Naca menundukkan kepala membuat Varel tertawa.
"Jangan begitu formal padaku. Santai saja dan jangan panggil aku senior. Itu membuatku agak merasa sombong dan tua." Varel mengernyit.
Giliran Naca yang tertawa ringan, "Kau lucu sekali! Aku jadi tidak gugup lagi sekarang."
"Haha, sungguh? Bagaimana kalau kita berteman? Kita menjadi rekan kerja, bukan?" Varel mengulurkan tangannya yang hangat.
Naca mengangguk tanpa berpikir panjang. Dia menerima uluran tangan kedua kalinya itu, "Tentu saja!"
Teman yang sangat akrab dalam waktu singkat. Mereka sangat cocok bicara santai. Lebih mudah bagi Naca mempelajari semua pekerjaannya jika Varel yang menjelaskan. Sampai sore mereka hanya berinteraksi berdua dan Naca bisa mengerti banyak hal. Hingga suatu ketika dia merasa ada keganjalan dalam pola hidupnya belakangan ini. Bukankah ini terlalu mudah? Takdir bermain seperti jalanan aspal yang lurus tanpa ada kerikil. Tidak, hanya ada satu kerikil yaitu Dave.
Memikirkan betapa mudahnya hari-harinya membuat Naca gelisah. Kegelisahan itu tanpa sengaja menggetarkan seluruh tubuhnya. Malam ini dia berjalan di trotoar dalam perjalan pulang. Entahlah, trotoar terasa sangat nyaman baginya sejak dulu. Lupakan polusi udara dan lupakan aroma air selokan yang menyeruak. Lamunannya tidak bisa buyar dengan semua itu.
Dia melihat halte lagi, tetapi rasanya tidak asik. Mendesah panjang seolah tidak ingin pulang. Kakinya terus melangkah pelan.
"Tinggal lima hari lagi. Aku harus cari sesuatu agar mendapat banyak uang. Jika kubayar dalam waktu lima hari, aku tidak perlu menikah dengan si muka datar, 'kan?" gumamnya lirih.
"Siapa yang kau panggil muka datar?"
Tiba-tiba suara bariton yang terus menghantuinya terdengar dari belakang. Sontak Naca terjingkat.
"Aaa, tidak ada! Bukan apa-apa!" matanya sampai terpejam.
Mengerjap sadar lalu berbalik sambil meringis. Benar dugaannya, ada Dave yang berdiri tegak bagai tiang listrik. Tentu saja mimik wajahnya benar-benar datar. Naca ingin tahu berapa persen dalam hidup Dave pernah tersenyum dan tertawa. Apa Dave pernah menangis? Naca menepuk pipinya saat terlintas pertanyaan itu.
Dave mendelik, "Kenapa kau memukul wajahmu?"
Naca berkedip dua kali, "Kenapa kau selalu kaku dan muncul setiap saat? Tidak punya kerjaan sampai terus mengikutiku?"
"Aku baru selesai bekerja. Bau anyir masih terselip di kemeja." Dave sengaja melepas jas-nya dan menyampaikannya di bahu.
Naca langsung bicara cepat, "Aku tidak peduli bau apa itu, yang kupedulikan hanyalah mengapa kau terus muncul dihadapanku? Tidak taukah kalau aku takut padamu?"
"Kalau takut kenapa selalu berani membentakku?" balas Dave tak kalah cepat.
Naca kehilangan kata-kata. Mulutnya terbuka dan tertutup bingung, "Itu ... aku juga tidak tau. Sshhh, kenapa aku berani sekali bicara kasar padamu? Padahal aku seperti kelinci yang akan dimakan harimau saat berada didekatmu. Kecuali waktu hujan dulu. Kau hangat."
Mengingat kala pertama kali bertemu Dave. Punggungnya benar-benar hangat waktu itu. Naca menggeleng lagi untuk melupakan pemikiran jelek yang terlintas.
'Astaga, itu tidak benar, Naca! Sadarlah! Hangat karena dia punya punggung yang lebar. Sudah, itu saja. Selebihnya dia tidak punya kebaikkan sama sekali,' batin Naca.
Dave terkesiap sebentar, "Terserah! Aku hanya memastikan agar kau cepat melunasi hutang dan bunganya. Jika tidak pernikahan pura-pura itu akan benar-benar terjadi."
Naca melotot, "Jangan bilang kau sudah menyiapkan segala prosesnya."
"Bahkan para saksi palsu juga," jawab Dave santai.
"Hiyaaaa! Kenapa kau ingin sekali menghukumku? Apa salahku?!" teriak Naca frustasi. Menjambak rambutnya sendiri.
Orang-orang yang berkendara heran dalam melintas. Namun, tempat itu seakan hanya ada mereka berdua.
"Menjadi anak ayahmu," jawab Dave tanpa beban.
Naca memicing, "Seolah itu hal yang bisa diatur saja. Boleh kutanya sesuatu?"
"Hmm?" Dave mengerutkan dahi.
"Kau betah dengan parfum darah di lengan kemeja putih ini?"
Naca menunjuk lengan kemeja Dave yang ada bercak merah. Baunya memang aneh. Padahal jemarinya bergetar. Sungguh, Naca gemetar seakan belum makan dan hampir pingsan.
"Berani sekali kau," Dave masih cuek.
"Ck, jawab saja!" paksa Naca.
'Wow, tunggu! Dari mana aku dapat keberanian ini sejak kemarin? Seolah-olah kita teman akrab. Dia kriminal besar yang tidak bisa diatasi hukum lagi, Naca! Sadarlah!' Naca membentak diri sendiri dalam benaknya.
"Bukan urusanmu," Dave tetap terlihat sabar.
"Oh, begitu? Satu hal lagi. Kenapa kau tidak membunuhku dan menjual organ tubuhku saja agar mendapat ganti rugi hutang? Semuanya akan terselesaikan, bukan?" Naca memiringkan kepalanya. Sungguh, itu pertanyaan yang menimbulkan maka petaka karena Dave tersenyum.
'Aaa, harimau-nya senyum!' pekik Naca dalam hati.
"Karena aku menyukaimu."
Degup jantung yang sangat hebat. Naca berdebar hanya dengan satu kalimat. Jangan sampai dia salah mengartikannya.
Dave menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan sebentar, "Sangat disayangkan kehilangan pembantu gratis yang mudah dipermainkan sepertimu."
Sontak degupan itu berubah aneh. Benar, Dave melencengkan artinya. Naca tertawa kaku.
"Haha, benar juga! Kau akan kehilangan pembantu gratisan. Kau memang suka menyiksa orang, 'kan?" Naca memalingkan wajah ke jalan raya.
'Dasar keterlaluan! Mempermainkan detak jantung itu kekejaman lain dari psikopat. Kau tidak tau aku hampir mengira itu benar? Haha, padahal jelas sangat mustahil. Tidak mungkin itu terjadi? Suka? Bahkan imajinasi saja tidak akan sampai menggapainya,' pikir Naca panjang.
Dave mendesis kedinginan, "Aku bukan orang seburuk itu, tapi lebih buruk dari psikopat yang kau pikirkan."
Mata Naca melebar. Dia kembali menatap Dave, "Bagaimana kau tau pikiranku?"
"Karena kau bodoh." Dave mendorong dahi Naca dengan telunjuknya sampai Naca mundur selangkah.
"Aw! Jangan sentuh aku! Tanganmu kotor!" Naca mengelus dahinya. Dia mengerti maksud Dave jika isi pikirannya bisa dibaca dengan mudah.
"Mau apa lagi? Pergi sana!" usir Naca.
"Lunasi segera, Naca." Dave mengatakannya untuk terakhir kali. Dia berbalik untuk pergi. Namun, Naca berseru menahannya.
"Tunggu!"
Spontan Dave mengehntikan langkahnya. Dia mengerutkan dahi karena Naca sedang kebingungan merangkai kata-kata.
"Aku tau, kau hanya mempermainkanku," ucap Naca pelan.
"Apa?" Dave tidak mengerti.
"Ada banyak cara untuk menggagalkan pernikahan ini, tapi kau terus menggangguku dengan berbagai alasan. Sebenarnya kau hanya ingin bermain sesuatu, 'kan? Apa itu mempermainkanku? Apa rencanamu?" tanya Naca penuh keberanian lagi.
Dave diam selama beberapa detik. "Kau bisa temukan jawabannya sendiri," jawabnya santai.
"Kalau begitu aku tidak mau membayar hutang dan bunganya. Aku juga tidak mau menikah denganmu sekaligus menjadi pembantu gratis mu! Aku yakin setelah ini kau akan mengancam seluruh keluargaku." ujar Naca cepat dengan sekali tarikan napas.
"Benar!" Dave mengangguk tanpa beban.
"Maka dari itu aku akan memberimu saran terbaik yang pernah ada di dunia ini, Tuan Muda Dave." Naca sampai mengangkat tangannya membentuk pelangi. Dia sangat geram.
"Apa itu?" tanya Dave.
Naca menarik napasnya dalam, "Damai!"
"Konyol!" Dave berdecak dan berbalik. Dia akan benar-benar pergi.
Naca mengejarnya, "Tidak ada salahnya berdamai. Tolonglah, jangan sulitkan aku begini. Damai adalah satu-satunya hal terindah di seluruh alam semesta. Kau tidak mau jadi orang baik yang damai dan mengikhlaskan semuanya?"
"Uangku bagaimana?" Dave sengaja membuat Naca terus mengikutinya dengan langkah cepat. Jujur, Dave menahan tawa.
"Haish! Itulah yang dinamakan ikhlas. Sedekah! Kau tau, 'kan sedekah? Itu sangat dermawan. Nanti kau akan dapat gelar penghargaan tersirat selain sebagai Pembunuh Bayaran," bujuk Naca tanpa henti.
Dave meliriknya tajam barulah Naca berhenti bicara dan tidak mengikutinya lagi. Membiarkan Dave menghilang tanpa tahu tujuan karena Dave hanya berjalan ke depan.
"Pikirkanlah baik-baik tawaranku itu!" teriak Naca keras dan Dave dapat mendengarnya.
Dia mendengkus lantaran tidak dihiraukan. Kaki kesalnya menekan tanah saat melangkah pulang. Arah mereka berlawanan.