Tiada kata menyerah ataupun menghilangkan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Dave tidak akan melepaskan Naca begitu saja. Walau gadis itu bersedia membayar hutang dan berhasil melakukannya, dia akan tetap memperbudak Naca. Alasannya? Dave sendiri bingung karenanya.
Di kamar yang luas tepatnya di lantai dua rumah Dave, terdapat monitor sebesar dinding yang mencakup banyak hal. Dia memasang kamera pengintai di setiap orang yang menjadi targetnya.
Seorang gadis sedang mengotak-atik komputer. Jemarinya sangat lihai di atas keyboard. Dia sedang membuat surat khusus.
"Kau gelisah, Dave," ujar gadis tersebut tanpa berpaling dari layar komputer.
Dave yang duduk di depan monitor sambil memutar-mutar kursinya hanya berdeham sebagai jawaban.
Cantik, tegas, dan cekatan. Dijuluki Cheetah Hitam. Dialah Calissa, tangan kanan Dave. Satu-satunya orang kepercayaan Dave dalam pekerjaan pribadinya maupun sebagai pewaris perusahaan. Selalu memakai pakaian hitam. Usianya dua puluh dua tahun, sama dengan Naca. Kecepatannya dalam melakukan apapun melebihi ketangkasan laki-laki biasa. Sejauh ini hanya Dave yang bisa mengalahkannya.
"Kupikir hanya permainan belaka. Dia tidak lebih dari gadis bodoh yang tidak berguna, tapi kenapa kau menjadi tidak tegas padanya?" tanya Calissa. "Apa karena dia menarik?" sambung Calissa.
Menimbulkan lirikan Dave menajam. Calissa meneguk ludahnya pahit. Tidak berani memandang bos-nya.
"Tidak akan!" desis Dave tajam.
Calissa tersenyum, "Syukurlah! Oh, ada kabar baru. Perusahaan kita akan kedatangan tamu."
Sontak Dave menoleh sempurna, "Kapan?"
Calissa memeriksa berkas yang dia dapat secara mendadak, "Besok."
Dave menyeringai, "Persiapkan dirimu."
"Baik!" Calissa mengangguk. Dia kembali melakukan pekerjaannya.
Ruangan itu adalah ruang besar tempat mereka bekerja secara pribadi. Tidak satu pun orang yang bisa membukanya kecuali sidik jari dari Dave. Tamu yang dimaksud tidak pernah berujung baik, pasti sesuatu yang membuat senyum Dave mampu tersungging.
Di lain tempat dan di malam yang sama. Kamar sedikit boneka dan beraroma harum parfum vanilla, Naca sedang memikirkan banyak cara. Sebuah buku kosong kini penuh dengan coretan tak bermutu. Dia mencoret semua ide yang gagal menurutnya. Bukan hal besar, hanya rancangan untuk mengakhiri hubungan tidak jelas dengan Dave.
"Aaaa, orang itu menyebalkan! Tinggal damai sama ikhlas apa susahnya, sih? Uang lima ratus juta rupiah pasti tidak banyak untuknya, 'kan? Padahal itu sangat banyak menurutku." kesal Naca sembari mencoret-coret kertas dalam buku.
Tangannya lelah. Napasnya terengah. Rambutnya terikat menjadi satu tanpa disisir dan memakai kaca mata minus. Sungguh penampilan yang tidak ingin dilihat oleh cermin.
"Pertama! Terima nikah palsu! Akibatnya aku akan jadi babu!" Naca mencoret kalimat itu. Dia baru menulisnya.
"Kedua! Bayar hutang dalam lima hari. Kalau malam ini habis berarti tinggal empat hari. Tentu saja aku tidak sanggup! Yang benar saja!" dengan teriakan keras dia mencoret kalimat itu juga.
"Ketiga! Ini pilihan baruku, ya! Terima nasib jadi asisten tanpa bayaran demi melunasi hutang. Sebagai keamanan, harus ada kontrak di atas materai. Dia tidak akan bisa bertindak semena-mena padaku jika kontrak itu ditandatangani, haha!" tawanya kaku. Lalu, mereda dengan cepat, "Tapi apa dia mau? Pasti tidak, karena dia hanya ingin mempermainkanku. Huft, kenapa aku terjebak begini?"
Menelungkupkan kepalanya lesu. Handphone-nya berdering singkat. Tertera nama Varel dalam notifikasi pesan. Naca langsung berbinar dan membaca notifikasi itu.
"Wah! Dia mengirim pesan! Apa, isinya apa? Senangnya hatiku, haha! Tenang, Naca. Tenang dulu, jangan terlalu senang ada notifikasi dari orang tampan, eh," gumam Naca tidak bisa mengondisikan diri.
Ternyata hanya pesan tentang buku panduan mengenai reporter dan dunia jurnalistik. Sebagai reporter baru, Naca harus mempelajari semuanya bahkan menghafalnya di luar kepala. Varel yang mengatakan hal itu.
Naca mendesah, "Baiknya! Terlalu baik sampai aku diberi file buku panduan."
Sedikit resah, akan tetapi dia terpaksa membacanya. Membalas baik nan manis pada pesan itu seakan dia menerimanya dengan senang hati.
"Apa boleh buat? Semangat!" Naca kembali mencerahkan wajahnya.
Di samping mempelajari file buku panduan, dia tetap memikirkan cara agar menjauh dari Dave.
~~~
Keesokan harinya, Naca didatangi seorang gadis membawa kamera di meja kerjanya. Naca segera menyapa terlebih dahulu.
"Hai, selamat pagi! Salam kenal! Aku Naca! Mohon bantuannya!" Naca bicara sangat cepat membuat gadis itu tertawa.
"Tidak perlu gugup begitu. Kita rekan sekarang. Perkenalkan, aku juru kamera terhandal di tahun terakhir Afiri Nurila Lisyi. Kurasa kita seumuran." gadis bernama Lisyi itu mengulurkan tangannya dan Naca menerimanya senang.
"Senang bertemu denganmu, Lisyi. Kau mendapat rekor itu? Hebat sekali!" puji Naca tulus.
Lisyi mengibaskan tangannya, "Biasa saja, tapi terima kasih. Ah, kau ditugaskan ikut denganku. Kau beruntung langsung dimasukkan dalam tim redaksi. Kita akan meliput sesuatu yang menghebohkan dunia bisnis, tapi cukup dalam laman website saja. Mungkin kemudian hari akan ditayangkan oleh presenter kita. Jarang sekali dan sangat-sangat langka anak baru langsung diberi tugas berat. Kau patut tepuk tangan." membimbing Naca untuk tepuk tangan.
Naca tertawa tanpa minat karena bingung. Dia juga terpaksa tepuk tangan, "Eee, apa tidak berlebihan, haha? Ini hari pertamaku bekerja, loh. Aku berarti harus apa? Lisyi, artinya aku harus menyiapkan segala sesuatunya, 'kan? Bukankah kita harus rapat dulu atau paling tidak beritahu aku siapa pemimpin redaksi kita. Ya, beritahu aku."
Lisyi menggeleng, "Sayang sekali tidak ada waktu untuk itu. Ini acara mendadak, jadi kau harus bekerja keras. Reporter kita sudah berpencar entah di belahan dunia mana. Hanya tinggal kau. Anggap saja kau pilihan terakhir tim kita. Artinya, jangan sampai membuat kekacauan!"
Tekanan yang dalam. Naca menelan ludahnya susah payah. Ternyata Lisyi punya kharisma yang unik. Cerewet dan profesional secara bersamaan.
"Wow, tamatlah riwayatku," jawab Naca pelan. Kepalanya sampai mundur.
Lisyi tertawa, "Haha, ayo berangkat!" menarik Naca seenaknya.
"Eh, eh, tunggu aku!" Naca bergegas mengambil tas yang isinya penuh dengan bahan latihan.
Tanpa diketahui situasinya dan langsung bertindak. Artinya ini hal serius. Dalam perjalanan menggunakan mobil yang dikendarai Lisyi, Naca terus berpikir.
'Bisnis? Apa tentang korupsi? Jangan-jangan penggelapan dana seperti kasus ayah?!' pekiknya dalam hati. Kecurigaan yang besar.
Rahang Naca berhak jatuh menyentuh tanah. Dia berada di depan kantor perusahaan tempat ayahnya bekerja. Jantungnya ingin melompat dari tempat asal. Bolehkah Naca kabur sekarang?
Rekannya justru asik mengunyah permen karet sambil terus memandangi lantai teratas. Naca mulai panik.
"A-ada apa dengan roof top? Ha? Ada apa?"
"Hah! Jangan getarkan suaramu. Lihat sekeliling, ada banyak wartawan dari berbagai media yang bersembunyi. Mereka sedang menanti seseorang. CEO perusahaan ini," ujar Lisyi tenang. Matanya tak pernah turun pandangan.
Naca tersedak udara. Dia kembali berteriak dalam hati, 'Calon mertua? Tidak, tapi bos besar?!'
"Kenapa?" tanya Naca berusaha tenang.
"Ada isu yang mengatakan di atas sana akan diledakkan. Untuk apa dan siapa yang akan melakukannya masih belum tau. CEO-nya tutup mulut. Ditambah lagi hari ini mereka mengosongkan jadwal kerja. Tidak ada satu karyawan pun di dalam sana. Semua itu membuat kabarnya seolah benar, 'kan? Walau sekarang masih nampak tenang-tenang saja. Kita di sini untuk memastikannya. Itu saja," jawab Lisyi tenang lagi.
Naca meremas udara sambil membulatkan mulutnya, "Itu saja bagaimana? Jelas-jelas ini bukan hal yang bisa dilakukan pemula sepertiku. Kenapa tidak ajak senior Varel saja? Hah, dadaku berdebar. Bukan jatuh cinta, tapi bisa-bisa aku jatuh sakit sekarang juga."
"Heh, kenapa kau mengeluh? Ngomong-ngomong apa hubunganmu dengan Varel? Kalian terlihat dekat kemarin." Lisyi melirik Naca sebentar.
Naca sedikit tenang. Mengibaskan tangannya mulai akrab dengan Lisyi, "Dia pernah menolongku."
Lisyi tertawa, "Varel memang baik seperti pangeran, bukan? Semua orang menyukainya. Kau punya banyak saingan."
Naca mendelik, "Apa maksudmu? Aku tidak menyukainya. Aku hanya kagum padanya. Kalau semua orang suka dengannya berarti bagus. Dia memang pantas disukai."
"Iya, iya, terserah kau saja. Intinya sekarang, kita dalam misi besar, Naca. Ini, ambillah! Pasang di tas-mu baik-baik. Jangan sampai bisa dilihat siapapun. Ini adalah alat rekam yang bisa menyimpan otomatis. Kau hanya perlu menekan tombolnya saat ingin menyalakannya diam-diam. Pakai saja, siapa tau butuh." Lisyi memberikan sebuah benda mirip kamera berukuran kecil.
Lisyi langsung memakainya di tas. Tentu saja tertutup pelindung resleting tas, tetapi masih bisa merekam sesuatu.
"Hehe, kita seperti agen mata-mata. Apa aku harus membawa microfon?" Naca meringis.
Lisyi menyilangkan tangannya, "Tidak perlu. Alat perekam itu sudah bisa menangkap sinyal suara yang cukup jelas. Ayo bersembunyi dulu!"
Naca mengikuti Lisyi dan bersembunyi di tempat parkir. Semuanya penuh mobil mewah yang mampu menutupi tubuh mereka, akan tetapi masih dapat melihat jalan dengan jelas. Dia akhirnya tahu mengapa para jurnalis bersembunyi, ternyata takut ada peledak yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Walau dadanya bergemuruh tak karuan, Naca sangat antusias. Dia merasa berada dalam sebuah film aksi yang alurnya tidak karuan. Ketika dia tersenyum, seseorang membekapnya dari belakang. Sontak Naca meronta, tetapi tidak bisa menghasilkan sedikit suara. Kakinya menendang-nendang. Mencoba memanggil Lisyi, sayangnya tenaga orang yang membekapnya sangat kuat. Hingga dia hilang dari parkiran.
Lisyi mengkode dengan lambaian jarinya tanpa menoleh ke belakang, "Anak baru, kenapa tidak ada polisi, ya? Biasanya pihak berwajib tidak akan melewatkan peristiwa seperti ini, 'kan?"
Tidak ada jawaban. Lisyi menjentikkan jarinya.
"Hei, Naca. Kenapa diam saja? Ck, kau ini ... loh? Naca? Kau di mana? Naca?" Lisyi berbalik badan dan seketika melotot mendapati Naca menghilang. Dia kebingungan langsung berdiri.
"Argh, sial! Anak baru itu ternyata merepotkan! Di saat begini dia hilang?!" menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
'Aaa! Lepaskan aku! Siapa ini? Penculikan! Tolong, ada penculikan! Aroma parfumnya seperti tidak asing,' teriak Naca dalam hati.
Hanya bisa membatin. Tangan besar itu membawanya naik lift. Sebelum tiba di lantai tujuan, Naca menggigit tangan itu membuat seseorang di belakangnya memekik dan melepaskannya.
"Ah! Kau anak anjing, ya?" kesal orang itu. Suara khas laki-laki yang berat dan dikenalinya.
Sontak Naca berbalik, membekap mulutnya sendiri, "DAVE?!"
Benar, dia Dave. Laki-laki itu melotot dan menunjuk Naca kasar.
"Diam! Kau harus membayar ini!" Dave menunjukkan tangannya yang terdapat bekas gigitan Naca.
Naca meringis, "Maaf, aku tidak bermaksud begitu. Mana aku tau itu kau. Kenapa kau menculikku?" berubah berani setelah bertanya.
Dave geram karena seharusnya dia yang bertanya, "Kenapa kau ada di sini?"
Naca tersentak. Suara Dave menggetarkan hatinya, "A-aku tentu saja sedang bekerja. Ini pekerjaan baruku. Aku reporter."
Dave mengernyit, "Apa?"
Lalu, Naca menunjukkan kartu identitasnya dan itu membuat Dave berdecak.
"Aku tau pekerjaanmu, yang kumaksud kenapa kau di sini? Cari tempat lain!" desisnya tajam ketika menyuruh.
Naca berkedip satu kali, "Tidak mau!" Kemudian, dia ingat sesuatu, "Aha! Mumpung ada anak CEO, kenapa kita tidak wawancara saja? Dave, tolong jelaskan semuanya padaku. Sebenarnya apa yang terjadi di sini? Bantulah aku!"
Dave mendorong dahi Naca keras sampai Naca mundur terbentur dinding lift.
"Aw, sakit!" keluh Naca, bibirnya mengerucut.
"Lancang sekali meminta tolong padaku." kening Dave berkerut.
Naca menyadari satu hal. Dahi laki-laki itu berkeringat. Dengan polos Naca perlahan-lahan mendekat. Dave mendelik tidak menduga.
"Kenapa kau berkeringat? Napasmu juga tidak teratur. Kau habis melakukan apa?" tanya Naca lugu.
Dave buru-buru menghapus keringatnya, "Bukan apa-apa."
"Benarkah? Kalau begitu kau akan membawaku ke mana?" Naca berkedip.
"Ke tempat di mana bahan peledak telah disiapkan." Dave mendongak disertai sudut bibirnya sedikit terangkat.
Naca mundur menabrak dinding lift lagi, "Apa?! Kau mau membunuhku di sana? Tidak! Aku tidak mau mati muda!"
Lift berhenti di lantai paling atas. Cukup menggunakan tangga untuk sampai di roof top, tetapi Dave tidak mengajak Naca ke atas. Di ruangan itu dia mencekal tangan Naca sembari celingukan.
"Dia sudah datang?" tanya Dave pada seseorang yang tidak ada wujudnya.
Naca meronta heboh, "Kau bicara dengan siapa? Hantu?"
Pandangannya tidak sengaja jatuh ke telinga Dave. Ada benda kecil berwarna hitam di sana. Seketika dia mengerti.
"Ah, hantunya di telinga. Kau tidak bermaksud membunuhku, 'kan?"
Dave tidak memperdulikan ocehan Naca.
"Ini gawat! Tuan besar diculik. Tamu belum nampak sejak pagi. Kita tidak bisa melacaknya," ujar seseorang dalam alat hitam itu. Dia adalah Calissa.
Dave terbelalak membuat Naca heran, "Apa? Cari tau lokasi ayah sekarang juga! Bagaimana keamanan kalian bisa dibobol dengan mudah? Cepat!"
Dave marah. Cengkeramannya pada lengan Naca pun semakin kuat sampai Naca meringis kesakitan.
"A-apa yang terjadi? CEO diculik?!" gumam Naca terkejut.
Dave melepaskan Naca begitu saja.
"Aw! Biasa saja, dong!" kesal Naca.
Tiba-tiba Dave mendapat pesan dari handphone. Naca ikut penasaran melihatnya. Itu terlalu menakutkan. Isinya sebuah ancaman yang Naca tidak mengerti. Dia terus melihat Dave yang semakin marah setelah membaca pesan itu.
"Serahkan suratnya dalam sepuluh menit. Jika tidak, nasib CEO tua ini ada di tangan kami," Naca menggumamkan isi surat itu, sehingga Dave mematikan handphone-nya.
"Sial! Mereka lebih dulu satu langkah," Dave mendesis.
Naca berpikir keras. Terus berkedip saat menemukan hal yang menarik, "Dave, mereka pasti ada di sekitar sini! Pesan itu dari musuhmu, 'kan? Pasti lebih dari satu karena isinya menyebut kata kami. Wah, sepertinya aku mulai mengerti sedikit. Semua ini ulahmu atas pekerjaan pribadimu. Siapa yang mau kau bunuh kali ini. Para musuhmu itu? Jelaskan padaku apa yang terjadi. Mereka mengancam nyawa pak CEO! Kita harus menyelamatkannya!"
"Diam kau! Aku tau itu! Anak buahku sedang melacaknya!" bentak Dave. Dia menghela napas panjang karena Naca hanya mendelik tidak takut sama sekali. "Surat wasiat seorang miliader ada di tanganku. Dia sekarat dan mempercayakannya padaku karena seseorang akan menyalahgunakannya. Seharusnya surat itu tersampaikan pada putra pewaris yang sekarang ada di luar negeri. Dia yang menyandera ayah lah pelakunya. Dia punya banyak anak buah yang kuat. Aku tidak bisa gegabah. Gedung ini telah dipasang banyak peledak dan sumber utamanya adalah lantai atas. Aku akan melenyapkan mereka semua di sini. Itulah rencanaku," sambungnya kejam.
"Dasar gila!" maki Naca seketika.
Dave tersentak, "Apa katamu?!" mata merahnya menatap Naca.
"Ah? Haha, aku kelewatan mengatakannya. Jangan marah, ya. Maksudku rencanamu itu tidak baik. Kita bisa memberi pelajaran yang lain buat para bedebah itu, haha. Setidaknya jangan saling membunuh." Naca menyilangkan tangannya meskipun lengan sebelahnya masih dicekal Dave.
"Seorang gadis biasa sepertimu bisa menceramahiku? Kalau begitu ikutlah tiada bersama mereka nanti." Dave memalingkan wajahnya.
Naca panik. "Eh, eh, kenapa marah? Aku hanya memberi usul. Begini, menurut pandanganku ...," ucapannya diputus oleh Dave cepat.
"Para bajingan itu telah menghancurkan keluarga sang miliader. Anak dan cucunya dibunuh hanya karena berebut harta warisan. Tinggal satu orang pewaris yang dilarikan ke luar negeri agar selamat. Apakah aku tidak boleh menghukumnya dengan nyawa? Pemilik surat itu sendiri yang memerintahku untuk melenyapkannya. Kalau bisa, sekalian anak buahnya ikut aku lenyapkan. Tugas ini tidak boleh berhenti hanya karena mereka selangkah lebih cepat dibandingkan aku," terang Dave tanpa menarik napas.
Naca tercengang sesaat, "La-lalu, tuan besar kenapa diculik dan perusahaannya yang akan dihancurkan?" kepalanya meneleng pelan.
"Kau pikir aku akan meledakkan perusahaannya sendiri? Semua bahan peledak ini mereka yang memasangnya, tetapi aku telah mengambil alih pengontrolnya. Mereka tidak tau. Jika aku tidak memberikan surat itu dalam sepuluh menit, gedung ini akan mereka hancurkan. Itulah rencana awal mereka," jelas Dave tanpa sadar bersedia menjawab semua pertanyaan Naca.
Naca mengangguk-angguk, "Kalian berbahaya sekali. Seolah-olah permainan ini seperti permainan petak umpet anak-anak. Begini saja, kita cari mereka. Pasti bersembunyi di tempat ayahmu disekap. Jika dalam sepuluh menit anak buahmu tidak menemukannya, maka tuan CEO dalam bahaya, 'kan? Kita juga harus bergerak mencarinya. Pengontrol bom aman bersamamu, jadi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Ayo cepat, Dave! Cari tuan CEO!"
Menggoyang-goyangkan tangan Dave yang mencekalnya justru membuat kerutan di dahi Dave bertambah. Terlebih lagi sorot mata Naca benar-benar tidak ada rasa takut. Meskipun Dave tahu ini pertama kalinya Naca mengalami situasi seperti ini. Jantung gadis itu pasti berdebar kencang.
'Bagaimana bisa dia mengatur ekspresi itu? Gadis macam apa dia?' pikir Dave.
"Kenapa kau menceramahiku? Aku tidak butuh saranmu!" Dave menghempaskan Naca seolah jijik. Dia langsung lari menyusui lorong lantai atas.
Naca mendesis sakit sebentar. Lalu, menyusul Dave untuk ikut mencari calon ayah mertuanya. Dia bahkan berteriak dan membuka seluruh pintu ruangan. Lisyi benar, tidak ada satu pun orang di sini. Dia juga tidak melihat bahan peledak. Entah di mana mereka menyembunyikannya.
'Dave melakukan pekerjaan sulit ini bahkan saat nyawa ayahnya menjadi taruhan demi surat wasiat orang kaya? Aku harus bilang dia baik atau jahat?' pikir Naca bingung.
"Tuan CEO! Anda di mana? Tolong jawab aku! Tuan CEO?!" teriak Naca tanpa henti sambil terus memeriksa satu demi satu ruangan kerja.
"Bisa tidak kau diam dan jangan mengikutiku? Calissa, sudah kau temukan?" marah Dave pada Naca walau tidak mengehntikan langkahnya. Setelah itu dia menekan alat hitam di telinga dan bertanya pada seseorang di seberang sana.