Chereads / The Little Thing Called Hurt / Chapter 2 - Mimpi buruk selalu bisa menjadi kenyataan

Chapter 2 - Mimpi buruk selalu bisa menjadi kenyataan

Dia tau ini akan terjadi, hal yang buruk tentang hidupnya. Ada yang bilang bahwa ini adalah bentuk dari kasih sayang Tuhan pada putra-putrinya yang hidup di dunia. 

Jika saja doktrin itu sanggup membuat semuanya mudah, jika saja dia bisa menerima semua itu dengan lapang dada. 

Meski menerima ㅡmau tidak mauㅡ dia tetap saja merasa tidak adil. Selama ini dia sudah menjadi umat yang patuh pada Tuhan, anak yang baik pada orangtuanya, manusia yang baik hati dan perduli pada manusia lain, tapi kenapa ini harus terjadi?. 

Tidakkah Tuhan tau kalau dia sudah sangat patuh? Tidakkah Tuhan sadar akan hal itu? Kenapa Tuhan tidak baik padanya? Kenapa memberinya cobaan seperti ini? Dan lagi kenapa orangtuanya harus kesulitan dimasa senja mereka? 

"Nona Grey, saya sudah mengatakannya sejak awaㅡ".

"Jadi kau tahu ini? Sejak kapan?". Pertanyaan sang ibu yang sangat tidak melegakan. Bukan hal yang salah jika ibunya bertanya, hanya saja saat ini bukan pertanyaan yang dia butuhkan. Lagipula apa yang dia butuhkan? Tidak terfikirkan sama sekali. 

Dia terdiam, saat ini dia tidak bisa memikirkan apapun kecuali apa yang akan dilaluinya. Pisau bedah akan menyentuh kulitnya, memperbaiki bentuk tulangnya, itu yang Dokter dihadapanya katakan beberapa minggu lalu. 

Mendengar untuk yang pertama rasanya berat tapi kenapa sekarang jadi jauh lebih berat dan mengerikan?. 

Dokter Arya sudah pernah memperingatkanya dengan kemungkinan terburuk yang akan dia alami terkait kelainan tulang punggungnya. Berkali kali mengatakan tapi tidak pernah berhasil membuatnya ketakutan, tidak sedikitpun. 

Sekarang terasa sangat lain karena begitu nyata, Dokter Arya bahkan sudah menyiapkan tanggal jika saja dia menyetujuinya. 

Sekarang siapa yang bisa disalahkan?. Tuhan yang memberinya kelainan? Dia yang tidak perduli pada kondisinya? Atau orangtuanya yang tidak menyadari apapun tentang dirinya?  

"Semuanya akan baik-baik saja". Itu pertanyaan atau pernyataan?, Grey yang mengatakannya pun tidak bisa memahaminya. Dia tidak tau, tidak bisa berfikir dan merasa hancur. Terlebih lagi dia memikirkan apa yang akan terjadi pada ayah dan ibunya?. 

'Lagi lagi aku menyulitkan mereka'

"Kita harus melakukannya, tidak ada cara lain selain operasi. Penggunaan Brace juga tidak akan membantu". Dokter Arya meletakkan beberapa lembar foto Brace diatas meja. Grey tidak melirik ataupun meraihnya karena dia tau apa itu. Brace adalah sejenis benda mirip pakaian yang terbuat dari bahan-bahan yang keras. Harus dipakai selama 23 jam, kaku dan pasti tidak nyaman untuk dikenakan. 

"Digunakan 23 jam sehari". Dokter melanjutkan secara singkat ketika ibu Grey meneliti. Ibunya juga pasti tau bahwa benda itu akan terasa tidak nyaman sama sekali. Dia tidak kan sudi memakainya, meskipun harus. 

"Tidak berguna lagi" . Ketika ibunya terlihat mulai antusias pada Brace itu, Dokter Arya melanjutkan. Brace seharusnya digunakan saat kurva lengkungan belum mencapai 30 derajat, tidak akan berfungsi lagi pada kondisinya yang sudah parah. 

"Apa tidak ada cara lain?" .Grey yakin ada getaran pada suara ibunya, ada tangis yang nyaris saja pecah. Dia bisa merasakan itu semua bahkan pada bagian sendi-sendinya, ibunya tidak sekuat yang ia bayangkan. 

Kerutan pada wajah senja ibunya membuat dia yakin bahwa usialah yang membuat semua hal jadi terasa mengerikan. Seharusnya semakin tua beban akan berkurang tapi yang terjadi pada orang tuanya adalah hal yang sebaliknya.

Semuanya makin berat dan dia adalah penyebabnya, mutlak tanpa perlu pembelaan diri. Jika saja dia lahir sebagai Audrey. 

Grey menggenggam erat pinggiran kursi, mencari kekuatan untuk dirinya sendiri,kekuatan yang tidak akan didapat dari ibunya yang saat ini sedang sangat khawatir. 

Dia selalu percaya bahwa apapun yang terjadi sudah diatur dan ditentukan oleh Tuhan, hanya saja dia tidak pernah menyangka bahwa ini akan terasa sangat berat. Keyakinanya tentang tidak ada yang sulit sirna seketika digantikan dengan mimpi buruk yang terasa nyata. 

"Apa operasi ini aman?". Yap, beruntung ibunya bertanya sesuatu yang jawabannya ingin dia ketahui tentang apa yang akan terjadi selama operasi atau setelahnya. Grey tau Dokter bukan Tuhan yang bisa menjamin apapun. 

Dia tau Dokter Arya tidak suka pertanyaan itu, terlihat dari caranya menarik napas yang sedikit terlalu panjang. Tampak berusaha menyusun kalimat agar terdengar menenangkan. 

"Operasi ini bukan operasi kecil jadi saya tidak bisa menutupi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Berita baiknya, nona Grey akan memiliki tulang punggung yang normal lagi meskipun skoliosis adalah kelainan seumur hidup". Dokter Arya berhenti dan itu sukses membuat Grey seolah akan mati karena penasaran. Dia menunggu berita buruknya supaya dia bisa bersiap siap. Wajah dokter muda itu sangat sulit dibaca, Grey tidak bisa menebak apapun, tidak ada yang terpikir. 

Seorang Dokter hanya bisa melakukan yang terbaik dan mengusahan agar tidak terjadi kemungkinan buruk tapi tentang bagaimana hasilnya hanya Tuhan yang bisa menentukan. Itu semua diluar kendali Dokter yang notabene juga manusia. 

"Jika prosedur ini gagalㅡ". Grey menarik napas dan memasang telinga dengan lebih teliti, entah sudah sejak kapan tubuhnya sudah bergerak maju dan menempel pada pinggiran meja. 

"ㅡkelumpuhan total bisa jadi hal terburuk". 

BOOM.... 

Seperti ada bom yang meledak diruangan itu, terlebih dikepala Grey dan juga ibunya. Menghancurkan segalanya menjadi kepingan-kepingan yang tidak berarti. Ibunya yang sejak awal sudah tidak setuju bertambah keyakinan jika operasi ini tidak perlu dilakukan. Tanpa ganggu gugat, atau sanggahan. 

Grey tentu saja merasa Shock tapi tidak membuatnya takut, ketakutanya sudah habis. Operasi ini sudah membuatnya takut dan kemungkinan seburuk apapun tidak akan membuatnya bertambah takut. Sudah dikatakan bahwa rasa takutnya sudah tidak tersisa untuk dirasakan lagi. Semuanya sudah keluar tanpa sisa. 

Lagipula tidak ada sesuatu didunia ini yang dilakukan tanpa resiko, semua memiliki akibat entah itu buruk ataupun baik. 

Dia hanya kurang beruntung karena resiko yang harus diambil adalah kehilangan fungsi tubuhnya. Masih ada kemungkinan untuk sembuh, itu yang saat ini dia pikirkan. Berhenti berfikiran negatif saat orang-orang disekitarmu sedang dalam pikiran yang kacau. 

Yap, dia harus yakin pada dirinya dan Dokter Arya yang akan melakukan semuanya dengan baik. Jika memang dia harus lumpuh itu adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa dia hindari meskipun dia lari ke ujung dunia sekalipun. Tuhan itu adil, dia percaya itu. Menyalahkan Tuhan seperti tadi bukanlah hal yang seharusnya dia lakukan  

Tidak ada sesuatu yang terlalu berat jika kita berusaha. 

"Aku siap Dokter". 

"Tidak, ibu tidak akan mengijinkanmu melakukannya, tidak akan pernah!!". Kalimat tanpa bantahan, Grey sering mendengarnya di rumah ketika ibunya sedang marah, kecewa atau ketakutan. Tapi ini bukan di rumah dan Grey berhak membantah meskipun itu akan menyakiti ibunya. 

Lagipula siapa yang sudi terus menerus merasa tidak nyaman dan sakit karna bentuk tulang yang aneh?.

"Tapi ibㅡ". 

" ㅡakan ibu temukan cara yang lain, bahkan meskipun harus sampai keujung negri". Ibunya keras kepala dan dari situlah dia juga mewarisi sifat yang sama. Bisa jadi dia lebih keras kepala tentang keputusan yang menyangkut hidupnya. 

"Disini atau dimanapun, hanya prosedur ini yang akan semua Dokter tawarkan" . Suara Dokter yang rendah berhasil membuat ibunya menoleh, menatap tajam tanpa persahabatan. Dokter itu tersenyum sekilas kemudian menunduk. 

"Saat jadi orang tua, kau akan melakukan hal yang sama". Nada pemberitahuan yang terdengar jelas tapi entah kenapa yang Grey dengar adalah nada kekhawatiran. Sungguh, ibunya terlalu tua untuk menanggung ini. Tidak bisakah buat ayah ibunya buta dan tuli sementara? sampai dia kembali sehat.

Dia meraih tangan ibunya, mengusap air mata yang menetes di pipi tirus itu. Merapal maaf berkali kali di dalam hati. Memohon agar Tuhan memberi orang tuanya umur panjang agar dia bisa membalas semua kebaikan yang sudah ia dapatkan.

"Masih ada kemungkinan aku akan sembuh bu, percayalah". Dia menggenggam erat jemari ibunya, meyakinkan bahwa dia akan sembuh dan kembali seperti dulu tanpa cacat. Tentu saja tanpa tulang yang bengkok.

"Aku mohon, biarkan aku mencobanya". Ibunya terdiam, menarik tangan dari jangkauanya. Menoleh kembali pada dokter, seolah mencari keyakinan. Dokter Arya tersenyum dan menanggung.

"Saya akan berusaha sebaik mungkin".

Ada helaan napas panjang sebelum kalimat itu keluar "Bagaimana dengan Ayahmu?".

Grey memeluk ibunya dengan sangat erat, bersyukur karna ibunya mengizinkan dia melalui prosedur operasi. Tentang ayahnya adalah hal yang pasti sedikit lebih mudah, tuan Susanto bukan pria yang keras kepala seperti ibu. Ayahnya itu sangat logis, melakukan apapun yang terbaik di dunia ini. Salah satunya adalah menjadi ayahnya, hal terbaik yang pernah Grey dapatkan.

"Terimakasih, bu".