Chereads / The Little Thing Called Hurt / Chapter 4 - Waktunya pulang

Chapter 4 - Waktunya pulang

Hamparan bunga terpampang begitu luas, menimbulkan warna warni yang memanjakan mata. Warnanya yang cantik membuat perasaan bahagia bagi siapapun yang memandang. Harumnya menenangkan hati. Didunia ini adakah yang tidak menyukai bunga?. Grey tidak terlalu suka, by the way.

Grey melempar pandangan keseluruh sudut. Tidak didapatinya ujung dari tempat yang asing itu. Grey ingat dia sedang melakukan persiapan untuk operasi tulang punggungnya. Di rumah sakit bukan di tempat ini.

Dia tidak tau sedang berada dimana. Yang jelas dia sedang berada ditempat yang membuatnya begitu nyaman. Meskipun dia tidak terlalu suka dengan tanaman yang berbunga tapi tidak bisa dipungkiri tempatnya berdiri sekarang adalah tempat yang sangat sayang jika tidak ditinggali.

'lagipula siapa yang menanam bunga sebanyak ini?'

Grey melangkah pelan, rasa dingin dikaki membuatnya sadar jika ia tidak mengenakan alas kaki. Kakinya telanjang tertutup gaun putih yang kepanjangan. Baju ini, dia tidak ingat pernah membelinya dimana. Ohhh, dia ingat bahwa baju ini bukan miliknya. Dia tidak punya gaun putih dengan renda diujungnya, apalagi ini sangat kepanjangan.

Dia suka baju itu, membuatnya terlihat anggun di tempat yang dipenuhi bunga.

Dia melanjutkan langkah berniat untuk berkeliling. Rasanya dia ingin tinggal disini, akan ia ajak Ayah, Ibu dan Audrey tentunya. Kakaknya itu pasti suka karna bunga adalah salah satu kehidupan bagi wanita itu.

Grey memetik setangkai bunga dandelion, meniupnya. Bulu bulu putih beterbangan di udara. Makin lama semakin banyak, seolah memenuhi taman bunga itu. Dia merasa ada yang aneh dari tempat ini. Kemana semua orang?. Apa tidak ada orang lain disini?. Itu adalah pertanyaan yang sejak tadi ada di kepala Grey.

Dia berhenti ketika melihat pohon besar yang rindang. Sekitar 100 meter. Sepertinya itu adalah satu-satunya pohon besar di tempat ini. Tanpa berpikir panjang, Ia menghampiri pohon itu. Berlari kecil sembari merentangkan kedua tangan. Dia bahagia, itu pernyataan yang jujur. Meskipun tidak ada siapapun disini, itu cukup. Walau tidak ada Ayah dan Ibu. Tidak ada Audrey dan Inara. Tidak ada Adrian. Tidak ada orang lain. Tidak apa-apa, sungguh.

Grey memandangi pohon dengan daun kekuningan itu sejenak sebelum tersenyum dan merebahkan diri di tanah yang berlapiskan rerumputan halus. Ia pejamkan mata, menikmati setiap angin yang berhembus menyentuh kulitnya. Damai sekali.

Grey tidak memikirkan apapun kecuali rasa nyaman. Tidak ada benci, tidak ada kenangan buruk. Tidak akan ada yang menyakitinya disini. Dia tidak akan terluka.

"Apa ini surga? Apa aku boleh tinggal disini?".

"Apa kau suka tempat ini?".

Ughhh, Grey seketika bangkit dari tidurnya. Memutar kepala mencari sumber suara. Tidak ada siapapun kecuali dirinya. Lalu darimana suara itu berasal? Apa dia salah dengar?.

Tidak mendapat jawaban akhirnya Grey kembali membaringkan tubuh, kali ini dia tidak menutup mata melainkan menatap daun daun pohon yang melindunginya dari sinar matahari yang pasti menyilaukan matanya jika dia berbaring dibawah langit terbuka.

"Tempat ini nyaman, jadi aku suka". Dia tidak tau kenapa menjawab pertanyaan yang entah darimana datangnya. Dia hanya berfikir mungkin sedang berhalusinasi. Tanya jawab dengan diri sendiri.

"Tidak rindu keluargamu?". Suara itu kembali muncul dan Grey tidak lagi pusing memikirkan sumbernya. Pertanyaan itu mengganggu hatinya.

"Rindu. Tapi lebih baik bagi mereka jika aku tidak muncul". Itu bukan tanpa alasan. Ayah Ibunya sudah cukup memiliki Audrey, tidak ada dia tidak akan jadi masalah. Mungkin malah akan membuat kehidupan orangtuanya jadi lebih mudah. Setiap orang tua mencintai anaknya tapi Grey pernah atau sering merasa tidak dicintai. Itu perasaan yang egois, Grey sangat tau. Tapi terkadang hatinya merasa dingin. Dia hanya iri, ya mungkin memang seperti itu.

Ada alasan lain kenapa dia lebih senang berada disini. Tidak ada rasa sedih dan benci meskipun dia ingat sikap buruk Adrian padanya. Ia paling tidak bisa melupakan kejadian itu. Memaafkan bukan berarti melupakan bukan?.

Disini tidak ada lagi benci dan kecewa, dia benar-benar bisa ikhlas dan rela. Sesuatu yang tidak Ia dapatkan jika tidak ditempat ini.

"Masih ada banyak hal yang harus kau lakukan". Suara itu terdengar lagi.

"Aku bisa melakukannya disini". Greysena bersikeras seolah-olah tempat itu adalah miliknya, dimana dia bisa tinggal sesuka hati. Kapanpun dia mau. Dia tidak ingin pergi.

"Tidak ada yang bisa kau lakukan disini".

Grey merengut,marah. Tempat itu baru saja Ia dapatkan dan sekarang harus ditinggal begitu saja. Tidak adil sekali. Kenapa sih dia tidak pernah mendapatkan apapun yang Ia inginkan?.

"Kalau begitu biarkan sebentar saja. Beberapa jam lagi. Aku ingin melupakan segalanya, jadi saat kembali aku bisa memaafkan seseorang".

"Luka yang kau pendam hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Setiap orang akan atau pernah terluka. Itu wajar".

Dia tidak pernah menyakiti orang lainㅡsejauh yang dia ingatㅡtapi kenapa orang lain menyakitinya?. Bukankah balasan dari kebaikan adalah mendapatkan hal baik?. Jika meminta hal sesederhana itu adalah serakah maka biarkan dia menjadi serakah.

"Hanya karna kau baik bukan berarti kau tidak akan disakiti. Hidup memang begitu". Suara itu seolah bisa membaca pikiranya. Membuat Grey sedikit takut. Dia mulai berpikir apakah suara itu adalah sisi lain dari dirinya?. Apakah benar jika dia sedang bicara sendiri?.

Ahhh Grey tidak mengerti, sungguh. Dia bingung. Ditambah dengan kalimat yang menganggunya.

'Hanya karna kau baik...'

Benar, kebaikan tidak dinilai oleh manusia. Itu alasan kenapa manusia baik masih bisa disakiti oleh manusia lainya. Bukan manusia yang membalas kebaikanmu atau juga yang membalas hal buruk yang kau lakukan.

Tidak perduli kau baik atau buruk, selama kau tidak ingin disakiti maka tidak ada orang yang akan mampu menyakitimu. Meskipun mereka telah menyakitimu kau tidak akan pernah terluka.

Its yours, mau menikmatinya atau terluka karenanya.

"Selama hati dan pikiranmu bersih dan positif maka hal buruk yang kau dapatkan tidak akan ada artinya. Kau akan tetap berdiri dengan senyuman". Lagi-lagi pikiranya dibajak. Tidak kreatif sekali.

Meskipun begitu tanpa sadar Grey tersenyum. Berterima kasih pada suara yang entah milik siapa.

"Keren sekali. Terimakasih sudah mengingatkanku"

"Saatnya pulang, Grey". Suara itu mengisi telinganya.

Sehelai daun melayang dan jatuh tepat diwajahnya. Dia terpejam dan merasakan kantuk yang tiba-tiba. Sebelum tidur menguasai kesadaranya Grey bertanya pada dirinya sendiri.

'Saat bangun nanti apakan aku akan mengingat memori ini?'