Chapter 73 - Dilamar

Bryan masih tak percaya yang ia dengar. Selama ini Deanisa bahkan tak mengenal nama lengkapnya.

"Seberapa banyak kamu tau tentang Kakak?" tanya Bryan lagi

Nisa tersenyum kecut dan dengan polosnya memberi jarak kecil antara jempol dan jari telunjuk. Dan Bryan hanya bisa menundukkan wajahnya. Bryan cuma bisa menghela napas sebelum menghempaskan lagi tubuhnya ke ranjang. Melihat sikap Bryan, Nisa jadi serba salah.

"Maaf Kak," ujar Nisa dengan suara kecil sambil melihat Bryan lagi. Bryan menoleh dan menarik tangan Nisa untuk ikut berbaring.

"Sini Snowflakes. Kakak pengen peluk kamu!" gumam Bryan menarik Nisa dan memeluknya lagi. Nisa hanya bisa pasrah dan berbaring lagi dengan lengan Bryan sebagai penopang kepalanya. Sesungguhnya Nisa sangat menyukai wangi parfum Bryan. Ketika bercampur dengan keringat jadi menghasilkan wangi yang membuat Nisa betah. Tak heran jika banyak wanita yang menyukai Bryan. Mengingat hal itu membuat Nisa jadi kembali nelangsa. Haruskah kini ia berakhir jadi mangsa Bryan Alexander selanjutnya?

Tangan Bryan kemudian meraba jari Nisa dan memasukkan cincin lamaran itu di jemari Nisa. Nisa menengadahkan wajahnya melihat Bryan yang malah tersenyum.

"Ini namanya pemaksaan!" ujar Nisa protes dengan bergumam. Bryan malah mencium keningnya sambil tergelak.

"Jika dengan cara itu Kakak bisa memiliki kamu, Kakak akan melakukannya!" Nisa jadi makin cemberut melihat sikap Bryan yang makin semena-mena padanya. Cincin lamaran itu resmi melingkar di jemari Nisa.

Nisa memilih menunduk lagi tapi ia kemudian meliaht sesuatu dari sisi tubuh Bryan. Nisa akhirnya meraba tato melody yang pernah ia lihat pertama kali saat mereka bertemu. Semakin Nisa melihat semakin ia merasa pernah melihat bentuk itu sebelumnya. Bentuk tatonya sama dengan liontin yang dipakai Nisa. Nisa meraba dan mengeluarkan liontin dari balik bajunya. Benar sama persis. Dan Nisa menaikkan pandangan mencari jawaban pada wajah Bryan sementara dia sudah senyam senyum saja.

"Kenapa, kamu baru sadar kalo bentuknya sama?" tanya Bryan lalu menopang kepala dengan sebelah tangannya. Nisa mengangguk dengan polosnya.

"Ini adalah inisial nama kamu, simbol melodi dibingkai hati, dan Kakak meletakkannya di bawah jantung agar kamu tetap berada di situ selamanya," ujar Bryan memberi alasan separuh menggombal. Nisa masih terperangah. Sebegitukah besarnya Bryan mencintai Nisa sampai ia mengukir nama tengah Nisa di dadanya?

"Sejak kapan Kakak buat tato itu?"

"Umur 17 tahun, dua tahun setelah tinggal di New York." Bryan menjawab dengan santai. Itu artinya tato itu sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Bryan tak mengukir tato lain ditubuhnya selain itu.

Hal itu membuat perasaan Bryan jadi makin tidak karuan. Jika Nisa boleh mengakui, itu merupakan hal teromantis yang pernah ia alami dalam hidupnya. Tapi Nisa pasti tidak akan mau memberitahu Bryan soal hal tersebut. Tak menanggapi apa-apa, Bryan membaringkan Nisa lagi sambil terus membelai rambutnya.

"Kamu lapar?" Nisa mengangguk.

"Ya udah..." Bryan mendekat dan mencium pipi Nisa.

"Ayo kita makan malam!" bisik Bryan tersenyum. Nisa hanya bisa pasrah ditarik keluar dari kamar setelah mereka merapikan pakaian. Kini, Bryan sudah tidak lagi melepaskan Nisa. Ia bahkan berani menggandeng Nisa di lobi HG dalam perjalanan menuju mobil di lobi parkir. Juan yang mendampingi hanya bisa menundukkan kepala melihat keduanya bergandengan tangan.

Sampai di mobil Bryan masih terus mencium pipi Nisa bahkan sesekali menempelkan hidungnya di leher. Nisa yang merasa risih terus menolak Bryan.

"Jangan terus mencium Nisa, kalau ada yang lihat giman?" ujar Nisa terus mencoba melepaskan diri dari rangkulan Bryan.

"Emangnya kenapa? Kamu kekasih Kakak! Kakak udah gak mau perduli orang mau ngomong apa soal Kakak, Snowflakes," jawab Bryan membuat Nisa terperangah lagi. Nisa tak tau harus merasa seperti apa dipanggil sebagai kekasih oleh Bryan kini. Tapi yang jelas, ia harus mengambil sikap tegas pada Bryan.

KEDIAMAN MAHENDRA

"What, apa maksud Papa?" tanya Arya dengan nada agak tinggi. Ini tidak mungkin terjadi. Orang tua Arya malah setuju mau menjodohkannya dengan Dira. Sementara ia tak tau apa-apa dipanggil pulang oleh Ayahnya untuk menyampaikan berita yang membuat jantungnya berhenti.

"Loh, bukannya kamu dan Dira memang teman dekat, jadi apa yang salah?" balas Surya dengan wajah tanpa bersalah.

"Gak pa, dia suka sama Bryan bukan Arya, dan Arya gak mau dijodohkan sama Dira, Arya bukan anak kecil Pa! Arya bisa cari calon istri sendiri!" sahut Arya bersikeras. Surya mendengus kesal karena anaknya mulai mendebatnya lagi.

"Arya, minggu depan kamu ulang tahun yang ke 27, Papa harus nunggu berapa lama lagi kamu mau nikah!"

"Pa... Arya belum tua, Pa. Ngapain juga nikah buru-buru!" Arya makin menjawab Ayahnya. Sesungguhnya ia tidak suka berdebat dengan orang tuanya tapi Ayahnya terus memojokkan dengan beragumen.

"Belum tua gimana kamu udah mau kepala tiga!"

"Masa cowok harus nikah buru-buru sih, Pa. Papa aja masih muda!" Surya menepuk jidatnya. Arya memang paling pintar membantah.

"Papa tau kamu anak yang mandiri. Kamu juga udah punya perusahaan sendiri dan mapan. Apa lagi yang kamu tunggu? Dira bukan pilihan yang jelek, kalian saling kenal dari kecil trus Albert juga teman baik Papa!"

"Pokoknya Arya gak suka sama Dira, Papa. Kayak gak ada cewek lain aja! Lagipula apa sih yang Papa cemasin? Suatu saat Arya pasti akan nikah kok!" sahut Arya lagi masih tak mau kalah.

"Iya satu saat itu pas Kak Arya umur 60, Pah, udah bangkotan," celetuk Dara tiba-tiba memotong pembicaraan. Mata Arya spontan mendelik, rasanya ingin sekali Arya bangun dan mencubit anak kecil itu.

"Dara, jangan menyela pembicaraan papa, gak sopan!" sahut Surya pada anak bungsunya itu. Arya memberikan kepalan tangan kesal pada Dara tapi adiknya itu malah menjulurkan lidahnya pada Arya. Arya benar-benar kesal, ia pastikan akan menghukum Dara nanti.

"Dara, masuk kamar!" ujar Surya lagi menoleh Dara masih terus menjulurkan lidah pada Arya. Arya memberi delikan mengancam sebelum dara pergi. Tapi anak jahil itu tak takut sama sekali pada Kakaknya. Sekarang giliran Ayahnya yang sedikit mendekat.

"Papa gak mau kamu nikah umur 60 seperti yang Dara bilang," bisik Surya dengan wajah aneh.

"PAHHH...." teriak Arya mengacak rambut kesal karena Ayahnya malah termakan omongan adiknya itu.

"Masa Papa mau dengar omongan anak kecil kayak Dara sih!", tambah Arya lagi makin kesal. Ibunya Sinta datang tak lama kemudian duduk di sebelah Arya dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.

"Ma, bilang sama Papa kalo Arya gak mau dijodohkan dengan Dira!" rayu Arya merengek pada Ibunya yang cantik saat ia baru saja duduk.

"Oh kalo itu mama setuju. Mama kurang suka sama Dira," sahut Sinta membuat mata Arya langsung berbinar.

"Liat kan Pa, gak cuma Arya!" ujar Arya cepat. Ia terus bersikeras sambil menunjuk pada Ibunya sebagai salah satu sekutu. Surya malah kesal setengah mati sekutunya membelot.

"Sayang kita seharusnya saling mendukung," bisik Surya pada Sinta, istrinya. Sinta malah mengedipkan mata pada suaminya.

"Tapi... ada tapinya..." ujar Sinta berbalik pada Arya. Arya balik bertanya dengan mengernyitkan kening.

"Kalo kamu gak mau nikah sama Dira Mama gak masalah. Tapi setelah itu kamu mau menikah sama siapa."

"Ya sama pilihan Arya sendiri," jawab Arya cepat dan yakin. Sinta mendelik sambil bertanya dengan matanya.

"Ah Mama. Oke Arya ngaku Arya udah punya pacar, dan Arya berencana bawa dia kenalan sama Mama dan Papa." Sinta mengangguk lalu menoleh pada suaminya seakan bertanya pendapatnya. Tapi Surya malah menggeleng. Arya jadi mengernyitkan kening melihat kedua orang tuanya. Orang tuanya itu memang jika berkomunikasi suka memakai bahasa isyarat yang tak dimengerti Arya.

"Kalian sebenarnya sedang diskusi apa?" tanya Arya tidak sabar melihat orang tuanya malah bermain saling mendelik.

"Besok malam bawa pacar kamu makan malam ke rumah, Mama mau kenalan. Kalo Mama gak tertarik ya terpaksa Mama ikut Papa," ujar Sinta menarik keputusan. Surya mengurut keningnya karena sepertinya bukan itu yang ia inginkan.

"Tapi Sayang..."

"No, kasih kesempatan anak kamu untuk mencari yang dia inginkan oke," ujar Sinta sambil berdiri lalu membelai pipi Surya. Arya langsung menyengir senang.

"Yup, Arya menang!" sahut Arya di depan Ayahnya sambil tersenyum senang. Surya mendengus kesal pada Arya tapi ia tak bisa melawan keputusan istrinya. Di rumah, Sinta adalah bosnya.

Arya sebenarnya tau persis orang tuanya. Pada dasarnya mereka tidak pernah memaksa ia untuk melakukan sesuatu. Orang tuanya selalu membebaskan Arya untuk memilih yang ia inginkan. Arya yakin jika ini adalah bagian dari rencana Dira. Ia mungkin sudah meminta orang tuanya untuk bicara pada orang tua Arya.

Arya memang sudah curiga saat terakhir di Gili. Mengapa Dira jadi begitu posesif pada Arya? Padahal sudah berkali kali Arya menolaknya. Ia harus melakukan sesuatu agar Dira berhenti. Bagaimana pun Arya akan mempertahankan Emily. Ia yakin jika orang tuanya terutama Ibunya akan menyukai Emily.