"Eh Mba yang tadi di busway kan ya?"
"Hehe iya, makasih ya tadi."
"Iya Mba, sama-sama."
"Ga usah panggil Mba, Mas. Saya bukan orang jawa, hehe. Panggil aja Kia."
"Loh, tunggu-tunggu. Lu kenal sama pelayan Cafe ini? Kenal dari mana?"
"Engga si, bahkan gua belum tau sekarang namanya siapa? Siapa namanya Mas?"
"Arsa."
"Ohh, Mas Arsa. Jadi dia itu tadi udah nolongin gua. Gua kan buru-buru karena takut telat masuk kelas, terus naik busway, gua kecapean karena lari tapi ga dapat tempat duduk. Terus akhirnya gua bisa duduk karena Mas Arsa yang mengalah."
"Ohh gitu. Yaudah, saya pesan kopi cappucino yang panas ya Mas satu. Lu apa Ki?"
"Saya es kopi susu aja sama cemilan rotinya."
"Baik Mba. Sebentar ya Mba."
Tidak lama pelayan Cafe tersebut datang kembali dengan membawakan pesanan aku dan Rina. Pelayanan di sini memang sangat baik. Pelayannya yang ramah dan cara bekerjanya yang cukup cepat tetapi memuaskan memang membuat orang yang datang ke sini merasa nyaman dan ingin kembali ke Cefe ini. Tidak heran jika Cafe ini banyak sekali pelanggan yang berdatangan. Sepertinya Cafe ini tidak pernah sepi dari pembeli.
Cukup lama kami berdua di Cafe tersebut. Akhirnya tepat pada pukul 5 sore aku dan Rina memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
*****
"Tadi gimana kuliahnya? Lancar?"
"Cape gua. Apalagi tadi gua telat masuk kelas. Abis gua di omel-omelin sama dosen gua di depan anak-anak."
"Wajar aja lu di omelin, kan lu yang salah."
"Iya sih. Eh itu telepon lu ga di angkat?"
"Dari Eka."
"Eka? Emang dia tau kalo kita jalan berdua?"
"Tau."
"Terus?"
"Ga apa-apa katanya."
"Lu udah bilang ke dia gitu emangnya?"
"Iya."
"Gilaa..." Teriakku sembari menepuk tangan tepat di depan wajahnya.
Tidak bisa di bohongin. Aku memang tidak bisa meninggalkan hubunganku dengan Randi. Walaupun aku tidak bisa memilikinya sebagai kekasih, paling tidak aku masih tetap bisa berteman dengannya. Karena menurutku dia adalah orang yang sangat dewasa. Hanya dia yang bisa mendengarkan semua ceritaku tanpa menghakimiku. Hanya dia yang selalu membuat aku tertawa bahagia.
Kali ini aku sedang pergi kembali bersama Randi. Sebenarnya setelah dari Cafe tadi aku tidak langsung pulang ke rumah, tetapi aku pergi ke tempat yang berbeda untuk menemui Randi. Sudah sekitar 4 bulan aku tidak bertemu dengannya karena kesibukan kami masing-masing. Ternyata Eka mengetahui jika Randi kali ini sedang jalan bersamaku, dan kini Eka menelpon Randi.
"Hallo sayang... Iya besok kita ke puncak. Kenapa sayang?"
"Dih, alay lu pacarannya, bucin."
"Hahaha. Eh katanya Eka mau ngomong sama lu Ki."
"Ngomong sama gua?"
"Iya, hallo. Kenapa Ka?"
"Jangan dekat-dekat ya sama kak Randi. Jangan pegangan tangan. Jauh-jauhan. Jagain kak Randi."
"Loh, gua di suruh jagain cowok? Haha, ga salah tuh? Tenang aja, gua ga bakalan rebut Randi dari lu. Gua cuma teman doang."
"Okeh kalo gitu Ki."
"Apa? Lu bilang apa? Lu panggil gua dengan panggilan nama gua aja? Ga sopan banget lu. Lu sama gua beda 3 tahun."
"Yaudah ya Ka, nanti aku telepon lagi. Bentar lagi aku juga pulang."
"Ga tau sopan santun tuh pacar lu."
"Hahaha, iya nanti gua kasih tau."
"Kok dia bolehin lu jalan sama gua?"
"Iya, ada syaratnya tapi."
"Apaan syaratnya?"
"Besok dia minta di ajak jalan-jalan juga."
"Ohh, haha."
Setelah berbicara dengan Eka, suasana terasa berubah begitu saja. Aku dan Randi yang awalnya biasa saja. Senang-senang saja. Kini rasanya kami berdua merasa canggung. Keheningan menyelimuti kami berdua. Aku merasa tidak enak kepada Eka dan juga merasa sedih karena masih saja sempat-sempatnya jalan dengan cowok orang.
Daripada kami berdua berdiam-diaman, aku memutuskan untuk pulang.
"Yaudah balik aja yu, besok juga gua masuk pagi." Padahal kenyataannya besok aku tidak ada jadwal masuk kelas.
"Oh, yaudah yu."
"Eh ngomong-ngomong, karcis parkirannya sama lu Ki?"
"Engga, tadi lu ga ngasih ke gua."
"Terus mana dong?"
"Lah au. Emang ga ada?"
"Ga ada. Apa tadi yang gua buang bukan struk pembayaran makanan ya, tapi karcis parkiran?"
"Aduhh luu, ada-ada aja. Lu buang dimana emang?"
"Di got sini nih seinget gua."
"Hahaha, kaya gembel malam-malam main di got. Lu si ada-ada aja."
Bukannya marah, justru aku tertawa sangat geli karena ulah Randi. Dia telah membuaang karcis parkirannya. Jika tidak ada karcis, kami tidak bisa keluar dari parkiran mall ini.
Kami berdua menyalahkan blits hp dan mencari karcis tersebut di got. Orang-orang yang berlalu lalang melihati kami berdua dengan tatapan yang agak aneh. Mungkin mereka berpikir kurang kerjaan sekali malam-malam malah main di got. Seperti tidak ada kerjaan yang lain saja.
"Nih Ki, ketemu."
"Huh, untung ketemu. Gua mah bisa pulang naik ojek online. Lah lu, apa kabar motor lu, hahaha."
"Haha, sialan."
Setelah karcis itu ketemu, Randi langsung mengeluarkan sepeda motornya dari tempat parkir dan mengantarkan aku pulang ke rumah. Di jalan kami juga masih saling bercerita tentang keadaan kami berdua selama 4 bulan kemarin kami yang tidak bisa bertemu. Ternyata banyak kejadian yang belum di ketahui oleh satu sama lain. Sampai pada akhirnya tiba di rumahku.
"Mampir?"
"Engga deh, Eka udah bawel banget nyuruh gua pulang, haha."
"Oh gitu, yaudah. Thanks ya bucin..."
"Haha, sial. Yoi."
Aku segera masuk ke rumahku dan bersih-bersih. Rasanya hari ini adalah hari yang lumayan melelahkan untuk diriku. Sampai aku kepikiran tentang Randi dan Eka. Aku merasa kesal dengan Eka yang tidak bisa menghormati aku. Dia memanggil aku dengan sebutan nama panggilanku begitu saja. Lagi pula Randi terlalu bucin alias budak cinta dengan Eka. Apa yang Eka mau selalu di turuti olehnya, dan besok waktunya Eka dan Randi yang jalan bersama. Aku masih merasa kesal karena tahu jika Eka dan Randi akan pergi bersama. Padahal seharusnya aku tidak boleh memiliki perasaan itu. Karena Eka adalah pacar Randi. Jadi wajar saja mereka pergi berdua. Justru yang tidak wajar adalah kelakuanku tadi yang jalan bersama dengan lelaki orang.
Walaupun aku sudah tidak berusaha menjadi wanita yang Randi suka, tetapi aku tetap berusaha untuk mendapatkan hatinya dengan menjadi diriku apa adanya. Eka memang adalah wanita yang beruntung. Dia bisa menjadi dirinya sendiri apa adanya dan bisa mendapatkan Randi. Mulai saat itu aku yakin pasti ada satu keistimewaan di dalam diri kita yang membuat orang lain suka terhadap kita. Entah itu karena wajahnya, perilakunya, kepribadiannya, kepintarannya, ataupun yang lainnya tanpa kita merubah diri kita sendiri.
Setelah memikirkan semua hal itu, sekarang aku merindukan Ihsan. Yang jelas-jelas sudah sah menjadi suami wanita lain.
-TBC-