Chereads / Cerita Kia Untuk Randi / Chapter 10 - Pertemuan Pertama

Chapter 10 - Pertemuan Pertama

"Oh itu..."

"Ya udah bagus, lu sekarang tanyain ke dia ya, emang benar dia udah punya cewek?"

"Ya ampun El, haha. Iya tar gua tanyain deh."

"Sekarang aja, gua pengen tahu langsung."

"Iya nih gua tanya."

Kia segera mengambil ponselnya dan membuka aplikasi whatsapp nya. Kia dan Randi memang sekarang sudah saling bertukar nomor. Ingat teman curhat Kia? Yang setiap harinya Kia selalu mengirim pesan kepadanya hanya untuk sekedar bercerita tentang Ihsan? Atau ingat dengan seseorang yang bisa membuat Kia tertawa hanya karena kekonyolannya? Yap, itu adalah Randi.

Kia sebenarnya tidak memiliki perasaan apapun terhadap Randi. Kia hanya menjadikannya sebagai teman curhat ketika dia merasa kesal atau bahagia dengan Ihsan. Randi pun mengetahui jika Kia benar-benar menyukai Ihsan. Namun sepertinya masalah ini akan menjadi salah paham di antara Kia dan Elina.

"Ran, gua mau nanya deh."

"Nanya apa si?"

"Lu udah punya cewek?"

"Hahaha, kenapa lu nanya kaya gitu? Tumben banget."

"Ya jawab aja si, gua nanya juga."

"Engga."

"Ohh, terus cewek yang suka komen-komenan sama lu di facebook siapa?"

"Kok lu jadi possesif dah, kepo banget lu tumben, wkwk."

"Jawab aja si, susah amat."

"Cewek yang mana si? Gua mah emang ganteng, makanya banyak cewek-cewek yang komentar di facebook gua, haha."

"Idih najis."

"Hahaha."

"Tuh kan El, dia ga bakalan jawab, ga pernah serius orangnya kalo di tanya." Jelas Kia kepada Elina.

"Ya udah deh, makasih ya Ki."

"Iya, maaf ya."

"Ngapain minta maaf. Justru bagus kalo lu bisa dekat sama Randi. Nanti kalo lu tau sesuatu tentang dia langsung kabarin gua aja ya Ki."

"Iya El."

Setelah itu kami semua melanjutkan untuk belajar bersama lagi, dan aku berusaha untuk melupakan kejadian barusan dengan bersikap seperti biasanya kepada Elina. Seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami berdua.

"Udah sore nih, besok juga harus sekolah lagi, pulang yu." Ajak Riska kepada kedua sahabatnya.

"Ya udah yu pulang, nanti angkotnya ga ada kalo kemalaman." Sahut Elina.

"Ya udah, makasih banyak ya kalian udah mampir ke sini. Besok-besok belajar bareng lagi ya."

"Oke. Insyaallah nanti kita belajar bareng lagi ya Ki." Jawab Riska.

"Pulang dulu ya Kia. Ibu Kia, pamit ya, assalamualaikum."

"Iya hati-hati ya kalian, waalaikumsallam."

Akhirnya mereka semua pun pergi meninggalkan rumah Kia. Di jalan Elina sempat memikirkan sesuatu dan bertanya kepada kedua sahabatnya.

"Ternyata Kia udah saling kenal dan semakin dekat ya sama Randi?"

"Kenapa nanya? Bukannya seharusnya lu senang ya? Itu kan yang lu mau? Kia bisa dekat sama Randi supaya lu tau semua tentang Randi?" Jawab Riska.

"Iya si, tapi Kia ga bilang ke gua kalau dia udah tukaran nomor ponsel dan kirim-kiriman pesan sama Randi. Kalau tadi ga ketahuan, mungkin Kia bakalan nutupin terus semuanya dari gua."

"Berpikir possitif aja. Mungkin dia mau cari tau benar-benar dulu tentang Randi, kalau udah tau baru di kabarin ke lu. Dan mungkin sampai saat ini dia belum tau tentang Randi. Lu tau sendiri kan tadi Randi jawabinnya ga serius banget ke Kia, gimana dia mau kasih tau lu."

"Iya juga si. Ya udah lah. Mau fokus aja sekarang ke ujian."

"Nah iya, gitu dong. Dari SD otak lu cuma Randi doang isinya, hahaha."

"Ish."

Akhirnya mereka melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah masing-masing. Karena besok juga adalah hari sekolah, ada beberapa tugas yang sudah menanti mereka untuk mereka kerjakan.

Author's POV :

"Kok Elina ga marah ya sama gua? Padahal gua udah nutup-nutupin semuanya dari dia," ucapku di dalam hati.

"Ran, tadi yang nyuruh gua nanya kaya gitu ke lu itu Elina." Aku langsung memberi tahu masalah itu kepada Randi.

"Terus apa masalahnya sama gua? Haha."

"Gua ga bilang-bilang kalo gua suka chatan sama lu ke dia."

"Wayo lu, salah sendiri, wkwk."

"Lu kenapa ga suka si sama Elina? Dia kan manis, pintar lagi."

"Suka bukan cuma masalah manis dan pintar aja, asik, haha."

"Dia udah berjuang selama ini buat lu."

"Siapa suruh berjuang, wkwk."

"Et iya dah, terserah lu."

Memang seperti itulah jika berbicara dengan Randi. Tidak pernah serius. Selalu saja bercanda, tetapi kadang tingkahnya dia yang seperti itu mampu membuat aku tertawa dengan mudahnya begitu saja.

*****

Drt... Drt... Drt...

Ketika aku sedang belajar tiba-tiba ponselku bergetar. Karen aku kepo siapa yang telah mengirim pesan singkat kepadaku, langsung saja aku membuka ponsel tersebut dan membacanya.

"Ki."

Ternyata pesan tersebut datang dari Randi yang memanggil namaku. Langsung saja aku membalas pesan singkat darinya.

"Kenapa?"

"Lu lagi dimana?"

"Di rumah. Tumben banget lu nanya. Kenapa?"

"Sibuk ga?"

"Lagi belajar. Kenapa si?"

"Ajarin gua matematika dong."

"Sini datang aja ke rumah gua langsung, wkwk. Kalo berani :v"

"Share location sekarang."

"Mampus, kalau dia benar ke rumahku gimana?" Ucapku di dalam hati.

Sebenarnya aku yang tidak berani untuk melihat dia secara langsung. Karena selama aku dekat dengan dia, chatan sama dia, selama itu juga aku belum pernah melihat dia secara langsung. Pernah waktu itu ketika di rumah Elina. Itu juga hanya sekilas dan dari kejauhan. Jika dia benar datang ke rumahku, bagaimana ini. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Kan ini hanya mau belajar bareng, dia juga yang minta.

Setelah aku mengirim lokasi rumahku kepadanya. Tidak lama kemudian dia sampai di depan sekolahku. Karena dia tahu jika rumahku tidak jauh dari sekolahku. Sehingga dia mematokkan sekolahku untuk pergi ke rumahku.

"Di mana rumah lu?"

"Emang lu udah sampai mana?"

"Depan SMP lu."

"Ya udah masuk aja ke dalam gangnya. Lurus, terus belok kiri, rumah gua di depan warung."

"Oke, wait."

Tidak lama kemudian dia mengirimkan pesan kembali.

"Keluar lu. Gua udah di depan rumah lu."

"Aduh gimana ya, kok gua deg-degan mau ketemu dia. Apa karena selama ini gua ga pernah ketemu dia ya. Biasa aja Ki, biasa aja," ucapku di dalam hati.

Langsung aku ke luar gerbang rumahku dan membukakan pintu untuknya.

Ternyata aslinya lebih tampan daripada di foto. Dengan tubuhnya yang cukup tinggi, kulit sawo matang, hidung mancung, senyum manis, gigi kelinci. Pantas saja Elina sangat suka terhadapnya. Udah ganteng, humoris lagi. Eh ya Ampun, ingat Ihsan Ki, ingat. Ingat juga kalau Randi itu adalah cowok yang selama ini di sukai sama Elina, sahabat kamu sendiri.

"Nyampe juga lu, kirain nyasar."

"Engga lah, keren gua mah. Tanpa GPS bisa ke sini, sekali lihat langsung hafal."

"Iya iya iya. Ya udah pulang silahkan haha."

"Haha sialan."

"Lagian bukannya minta di ajarin sama Elina aja lu, dia kan lebih pintar dari gua."

"Ga mau ah, tar gua bukannya di ajarin, malah nunduk terus dia."

"Hahaha parah parah. Ya udah masuk."

Akhirnya Randi pun masuk ke rumahku, tetapi hanya di depan teras saja, tidak masuk ke dalam rumahku. Karena peraturan di dalam keluargaku tidak boleh membawa masuk cowok begitu saja ke dalam rumah.

"Siapa nih Ki?" Tanya Ibuku kepadaku.

"Teman."

"Teman sekolah?"

"Engga si."

"Loh terus teman dari mana?"

"Namanya Randi. Mau belajar matematika dia."

"Oh gitu, yaudah lanjutin."

"Assalamualaikum Bu." Sapa Randi kepada Ibuku sembari mencium tangan Ibuku. Ternyata orangnya cukup sopan. Tidak seperti yang aku bayangkan selama ini.

Setelah itu kami berdua melakukan belajar matematika bareng bersamanya. Gerogi. Gemetar. Itu yang aku rasakan ketika berada di sampingnya. Rasanya fokusku hilang begitu saja ketika sedang mengajarinya. Walaupun begitu tetap berlanjut kami berdua untuk belajar matematika bersama.

"Gempa?" Tanya Randi kepadaku.

"Emang apa?"

"Itu tangan lu gemetar terus."

"Sial," ucapku di dalam hati.

Drt... Drt... Drt...

Lagi-lagi ponselku bergetar. Kali ini pesan masuk dari Ihsan.

"Kia."

"Ahhh, Ihsan kirim pesan ke gua Ran," ucapku untuk pamer kepada Randi sambil menunjukkan pesan itu kepadanya.

"Alah, palingan juga masalah OSIS, haha."

"Sotoy, gua mau bales dulu sebentar."

"Iya, kenapa San?"

"Hari Sabtu besok lu ikut acara LDKO anak OSIS baru kan?"

"Insyaallah San. Riska juga udah bilangin gua kok."

"Oh gitu, sorry ya gua kemarin lupa bilangin lu buat rapat."

"Ah iya, ga apa-apa. Santai aja kok. Tapi anak OSIS baru ga lupa lu bilangin kan?"

"Haha engga lah. Kan ini acara mereka."

"Oh ya udah. Syukur deh."

"Ya udah, gitu aja ya Ki. Sampai ketemu nanti di LDKO."

"Iya San."

Ternyata perkataan Randi barusan benar. Ihsan mengirim pesan kepadaku hanya karena masalah OSIS saja. Benar juga kata Riska, Ihsan bukan sudah tidak perduli lagi kepadaku, tetapi dia benar-benar lupa. Mungkin karena banyak urusan yang harus dia selesaikan, sehingga lupa memberi tahuku tentang masalah ini.

"Dia ngingetin gua buat LDKO. Masih perduli juga dia, benar kata Riska. Dia bukannya udah ga perduli, tapi cuma lupa."

"Iya lupa, makanya di ingatin sama Riska, baru dia ingat."

"Jangan sok tau lu."

"Haha coba aja. Dia kan udah punya ayang beb Ajeng."

"Ish."

Semua perkataan Randi sebenarnya ada benarnya juga. Entahlah. Akhirnya aku melanjutkan belajar matematika lagi bersama Randi.

Bukannya belajar. Kami berdua justru lebih banyak menghabiskan waktu dengan membahas hal lain yang tidak berguna tetapi mampu membuat perutku terasa di kocok karena aku tertawa terlalu terbahak-bahak.

Belajarnya 5 menit, bercandanya 2 jam. Seperti itulah yang kami lakukan dari pukul 4 sore hingga pukul 6 sore yang pada akhirnya Randi berpamitan kepadaku untuk pulang ke rumahnya.

"Ih senyum-senyum." Ledek Ibuku.

"Apa si Bu, engga juga."

"Bohong. Emang sebenarnya teman kamu dari mana si itu?"

"Ga tau, kenal dari facebook aja."

"Ih jangan sembarangan kenal orang gitu aja. Nanti kalo di culik gimana?"

"Kan Ibu udah kenal orangnya, tau rumahnya juga, masa iya dia nyulik, ga bakalan Bu."

"Iya si. Tapi Ibu suka. Sepertinya dia anak yang baik. Lain kali ajak main ke sini lagi yah."

"Ish Ibu, apaan si, dia cuma teman doang. Ya udah ah, aku mau mandi dulu."

Aku langsung menuju ke kamar mandi dengan tipi-tipis bibirku masih saja tersenyum bahagia. Perasaan yang seharusnya tidak aku rasakan kepada Randi. Dia adalah laki-laki yang selalu di damba-dambakan oleh sahabatku sendiri.

Andai saja yang ke rumahku tadi adalah Ihsan. Pasti aku sangat merasa lebih bahagia daripada ini, dan aku tidak akan pernah melupakan kejadian tersebut.

-TBC-