"Sayang dengerin, Kakak!" Yara menangkup wajah Cira menatap jauh ke dalam mata Cira.
Mereka baru saja sampai di pekarang rumah Cira. Kini Buma tengah mengatur mobil Yara atau lebih tepatnya mobil Nala agar lebih gampang untuk keluar.
"Kamu gak boleh jauh dari kita-kita. Baik itu Abang kamu, ataupun Kakak dan sahabat Kakak!" ujar Yara melepaskan wajah Cira dari tangkupannya.
Mengangguk gemas membuat Yara tersenyum. Tangan Yara terulur untuk mengusab rambut Cira, tepat saat Buma selesai dengan pekerjaannya. Sebuah lengkungan terpampang nyata di wajah Buma.
"Dek masuk! Nanti Bang Bagas sama Bunda nyariin!" Buma membuat Cira dan Yara spontan menengok ke arahnya. Dengan langkah lunglai Cira masuk ke dalam rumah, acara yang ia perkirakan akan berkesan indah di hadinya dan hati Yara buyar semua. Itu semua hanya digantikan dengan beberapa lebam di muka Yara.
Buma tak langsung pergi mengekor Cira, melainkan ia menyampiri Yara dulu.
"Yar, bisa pulang sendiri?" tanyanya basa basi.
"Hm," gumam Yara
Buma menghela nafas. "Perasaan saat lo kemarin-kemarin ketemu gue gak judes gini, kok sekarang beda?" Sangat beda bukan? Yara dulu biasa-biasa saja pada mereka
Yara tak langsung menjawab, ia malah terdiam melihat ke segala arah.
"Huft, gak papa. Soal Cira tadi?" tanya Buma mengalihkan pembicaraan.
"Gue bakal cari tau siapa mereka," ujar Yara berambisi. Matanya mulai berapi-api.
"Gue tau salah seorang dari mereka yang lo hajar tadi." Yara spontan melihat Buma. Tatapan mereka terkunci satu sama lain, entah faktor apa yang membuat Yara terdiam membeku tak bisa memutuskan pandangannya.
☆☆☆☆☆
"Syut! Syut!" Entah bagaimana keadaan mereka bertiga sekarang. Kepala yang kompak melihat keluar jendela, menciduk pasangan yang begitu romantis jika dilihat dari sudut mata para lelaki jomblo ini.
"Tara kepala lo tundukin dikit! Gue gak bisa lihat dengan jelas!" Wara terus memarahi Tara yang katanya 'kepalanya menghalangi'
"Is apaan sih, Bang! Gue juga mau liat!" rajuk Tara. Sedangkan Bagas yang letak kepalanya paling atas masih terus memandang dua insan di bawah sana.
"Ih Ih itu mereka ngapain?! Pandang-pandangan gitu coy! Ha ha ha." Tara yang berada di bawah membuat pertahanan mereka tidak stabil dan ....
Brak!!!
"Aduh bokong bohay gue!!!" Tara jatuh tersungkur dengan wajah berada di bawah sembari mengusap bokongnya yang katanya 'bohay' itu.
"Ya Tuhan muka tamvan gue!!!" Dengan lebay Bagas mengambil hanphone, berkaca ria. "huh, untung masih ganteng."
"lebay lah klean ini!" Segera Wara kembali melihat ke arah luat jendela. "Is tuh kan, si Yara udah balik!"
"Mana-mana?" Dengan cepat Bagas melihat kembali mereka berdua, matanya mebulat saat tak sengaja menangkap sebuah benda yang begitu diincarnya. "lamborgini sian? Woy si Yara pakai laborgini sian!" heboh Bagas meloncat-loncat tak jelas
"Biasa aja kali Bang!" datar Wara
"Bukan gitu loh! Tu mobil lamborgini sian salah satu yang paling mahal di dunia, masa si Yara belinya ngebunuh orang mulu!" ceplos Bagas. Mereka terdiam membeku.
☆☆☆☆☆
Segera Yara memutuskan tatapan mereka. "S-siapa?" tanya Yara berusaha menghilangkan kegugupannya
"Leader musuh gank gue," santay Buma masih terus menatap Yara
"Oh."
"Oh doang?" ujar Buma tak terima jika dia dijawab dengan singkat
"Ya terus? Lo mau gue jungkir balik sujud syukur karena lo tau secuil info?!" Yara berkacak pinggang.
"Ya gak gitu juga!"
"Yaudah! Gue mau balik, mau langsung cari tau semuanya." Yara melangkah pergi.
"Tunggu!" Buma mencekalnya. "Kenapa?"
"Gue ikut!" Yara menatap Buma datar lalu menghempas tangan Buma dengan kasar. "Yaudah!"
Mereka berdua pergi dari rumah Cira.
☆☆☆☆☆
"Kita mau langsung cari tau ke mana?" tanya Buma di tengah perjalanan mereka. Kini Yara lah yang menyetir. Ia tak mau dibantah akan satu hal ini.
"Gue udah pasang alat pelacak di baju orang gue hajar tadi," ujar Yara
"Semulus itukah mereka bekerja? Ini bahkan terlalu pandai bahkan melebihi gue." batin Buma
"Sejak kapan?" tanya Buma berusaha biasa saja
"Saat gue lagi berantem sama dia. Tinggal ambil alat pelacaknya di saku gue, lalu tempel ke bajunya. Bereskan," ucap Yara begitu enteng.
"Lo bawa alat pelacak?" Yara menengok kali ini karena pertanyaan Buma yang sedikit mulai menarik di indra pandengarannya.
"Lo tetap harus priper, apalagi sebagai seseorang yang punya musuh banyak! Misi bisa terjadi dari mana dan kapan saja," bijak Yara. Buma menatap lurus ke jalan susah payah menelan salivanya.
"Kalian kenapa bisa jadi gank Padmarini dan pembunuh?" Tiba-tiba pertanyaan itu keluar bebas dari mulut seorang Buma tanpa sadar.
Yara terdiam membuat Buma merasa tak enak kepadanya. "Eh, maaf," ucap Buma tak enak hati
"Gapapa. Maaf juga gue judes sama lo. Entah kenapa saat gue diganggu sama lo di bukit, gue jadi gak suka liat muka lo," ujar Yara akhirnya memberitau risalah kenapa sifatnya bisa berubah kepada Buma
"Oh jadi karena kejadian di bukit itu." Buma manggut-manggut mengusap dagu. "slow aja. Jadi gimana lo bisa jadi pembunuh?" Buma kembali mengulang pertanyaanya.
"Jadi waktu itu ...."
☆☆☆☆☆
"Ayah!!!" Yara kecil berteriak sekuat tenaga. Tubuhnya dipaksa untuk tetap diam di tempat.
"Jangan siksa Ayah Yara!!!" Yara kecil terus memberontak agar lingkaran tangan kokoh yang berada di pinggangnya terlepas.
Tak!
Orang yang dipanggil Yara dengan sebutan Ayah terbunuh tepat di depan matanya.
Pisau tertancam dalam di perut orang itu, cipratan darah ada di mana-mana, lantai yang tadinya putih kini menjadi berwarna merah.
"Sekarang giliranmu!" Orang yang membunuh Ayah Yara berjalan ke arah ibu dari seorang Ayara.
"Ayah!!!" teriak Yara lirih. "Gak! Ayah jangan meninggal! Yara harus gimana, Yah? Jangan tinggalin Yara sama Bunda!" Bunda Yara tak bisa berbuat apa-apa. Ia menengok anaknya sebentar lalu beralih menatap sosok yang telah membunuh suaminya. "biarkan Putri kecil saya pergi, dan kalian bisa dengan mudah membunuh saya, saya mohon! Bukankah suami saya yang kalian incar? Biarkan Putri kecil saya pergi! Saya tau kalian masih mempunyai hati." Sosok itu terdiam.
"Tenang saja," ujarnya. Bunda Yara tersenyum, dalam batin setidaknya ia bisa merasa lega karena anaknya tidak disiksa seperti dia dan suaminya. Ia tau bahwa Putri kecilnya itu pasti bisa bertahan hidup.
"Ayar?" Bunda Yara menengok pada putri kecilnya yang masih senantiasa dikekang oleh orang tak dikenal.
"Bunda!" Yara berujar begitu lirih. Penjahat yang tengah mengekang Yara menengok pada rekannya. Rekan penjahat itu mengangguk. Orang yang menahan Yara tiba-tiba melepaskannya.
Yara menubruk bundanya. "Ayah," ucap Yara sambil terus menangis. Kini Yara berlari memeluk tubuh sang Ayah yang telah terbaring tak berdaya bersama darah yang terus keluar.
"Argh! Ayah!!!" Yara mengambil tangan besar sang Ayah lalu ia tempelkan di pipi kecilnya. "Ayah Bangun! Bangun Ayah! Jangan tidur! Ini apa, Yah? Kenapa keluar dari tubuh Ayah?! Ayah bangun! Nanti Ayah merah-merah. Ayah!!!" Yara kecil terus meneriaki sang Ayah agar bangun.
"Ayah?" Yara memukul pelan pipi Ayahnya.
"Bunda, Ayah kok gak nyaut?" Bunda Yara mendekatinya, mengusap air mata sang anak dengan lembut. "Kamu ambil air di sana yah? Buat cuci, Ayah. Supaya Ayah bisa bangun lagi, cairan ini bikin Ayah pingsan," ujar sang Bunda memerintah Yara agar pergi dari sini sekarang juga.
"Di situ?" tunjuknya ke arah luar. Bunda Yara mengangguk berusaha menahan air matanya.
"Cari air untuk Ayah, Yah!" Yara mengangguk sumringah tak merasakan adanya kejanggalan.
Yara segera berlari untuk menemukan air secepat mungkin agar sang Ayah bisa cepat bangun.
"Bunda pergi, baik-baik yah, Sayang. Bunda tau kamu kuat, Bunda harap kamu bisa bertahan di dunia luar sana yang begitu kejam membunuh secara perlahan," ujar Bunda Yara menatap hampa.
"Kau boleh membunuhku." Sosok yang diperintah seperti itu menelan salivanya.
"Saya hanya melaksanakan tugas," ujarnya. Bunda Yara tersenyum sinis. "cepatlah!"
Tak!
Mulut Bunda Yara terbuka lebar, jantungnya serasa berhenti, perut bagian sampingnya begitu terasa ngilu. "Tu-han t-tolong ja-ga anakku! Per-temukan di-a dengan o-rang yang a-kan se-lalu men-jaganya," ujar Bunda Yara terbata.
Bruk!
Bunda Yara terjatuh, kepalanya bersentuhan dengan kepala sang suami.
"Kasian sekali mereka," ujar rekan dari orang yang telah membunuh kedua orang tua Yara.
"Itulah kejamnya dunia, pasti ada yang membenci dan bersifat toxic." Mereka berdua melenggang pergi, tetapi tak lupa pura-pura memberi tau orang sekitar. "Saya mencium bau amis dari rumah itu," ujar penjahat itu setelah mengganti pakaian mereka agar lebih terpampang nyata jika mereka tak tau apa-apa.
Yara kembali dengan muka ceria, ia berhasil membawa segelas air yang ia minta dari Akang warung yang baik hati.
Langkahnya terhenti ketika melihat banyak orang berada di halaman rumahnya. Betapa kaget ia ketika petugas ambulance membawa dua orang yang begitu dikenalinya luar dalam.
Gelas yang dipenuhi air terlepas begitu saja dari genggaman Yara. Yara bersembunyi disebalik pohon, entah apa yang mengarahkannya untuk tidak mengunjungi kedua orang tuanya.
Yara kecil segera lari dari area rumahnya. Pikirannya berkecamuk, ini semua tak harus ia alami dan berada dipikirkannya.