Chereads / padmarini / Chapter 28 - Ayar

Chapter 28 - Ayar

"Jadi itu yang bikin lo jadi pembunuh?" Buma benar-benar kaget dengan apa yang Yara ceritakan. Sepahit inikah masa kecil Yara?

"Ya, saat gue umur 12 tahun, gue sama yang lain cari tau tentang kematian bopak nyokap gue, disitulah gue tau kalau mereka yang bunuh orang tua gue hanya melaksanakan tugas. Gue berfikir kalau gitu kenapa gue gak ngebunuh juga, toh gue hanya melaksanakan tugas. But, gue gak pernah nyakitin orang yang justru gak bersalah, semahal apapun gue dibayar," ujar Yara. Buma susah payah menelan salivanya.

"Lo umur dua belas tahun udah bisa nyelesain kasus?" tanya Buma ternganga

Yara meminggirkan mobil. "Kalau lo nanya mulu, gue gak bisa fokus nyetir! Paham?!" Yara menengok Buma, tatapan mereka kembali terkunci sesaat sampai Yara kembali memutuskannya.

"Gua mau ke rumah dulu. Oh iya, lo gak dicariin bokap nyokap?" tanya Yara.

Tatapan Buma menjadi malas. "gak bakal dicari gue mah."

Yara mengerutkan kening. "Yaudah," ujar Yara kembali menjalankan mobil menuju kediamannya bersama Nala dan yang lain.

☆☆☆☆☆

"Lo tunggu sini. Gue gak lama," ujar Yara menekan agar Buma benar-benar tetap stay.

"Iya." Yara mengangguk lalu pergi ke dalam rumah mereka berempat.

"Jadi ini rumah mereka? Makasih Yara, gue bakal ke sini setiap hari." Buma tersenyum licik kemenangan.

☆☆☆☆☆

"Dari mana?" Nala dan yang lain menyender pada dinding dengan tangan yang dilipat di depan dada, menatap Yara tajam.

"Biasa," ujar Yara menyengir

"Biasa apa!" Runi membentak

"Is itu loh, Kak. Kan kalian tau kalau aku pergi bareng Cira," ucap Yara memanyunkan bibirnya

"Ini kemalaman," ucap Nala begitu dingin

"Maaf." Yara menunduk

Nala maju mendekati Yara. "Jelasin!" dingin Nala.

Yara menghembuskan nafas. "Tadi ada yang berusaha nyulik Cira. Aku sempat lawan mereka, dan sekarang aku akan mencari tau lebih dalam," ungkap Yara dengan mata memancarkan sinar benci

"Lo jangan ngadi-ngadi!" Nila molotot tak percaya.

"Aku gak bohong," tegas Yara

"Lo butuh bantuan kita?" Nala angkat bicara.

Yara menyilangkan tangannya. "Gak usah, gue dibantu Buma kok." Mereka kompak menaikan alis saat mendengar ujaran Yara. Bukankah mereka berdua sedang bertengkar?

"Lo dekat sama dia? Bukannya tadi marahan? Kok sekarang udah baikan?" sergah Runi memberikan banyak pertanyaan.

"Satu-satu kalau nanya! Bukan satu-satu aku sayang Ibu!" Nila mengomel

"Is iya," cemberut Runi. "Lo dekat sama dia?" ulang Runi

"Gak!" tekan Yara

"Trus kok sekarang bisa baikan?"

"Yah karena aku gak kayak kalian yang dinginnya minta ampun," ujar Yara menohok, melenggang pergi begitu saja.

"Dek yang sopan!" teriak Nala. Kali ini Yara tak mendengar Kakak tertuanya itu, ia harus bergegas karena Buma telah menunggu di luar.

Yara keluar dengan tas ranselnya. "Maafin aku, Buma udah nunggu di liar. Doain aku bisa mecahin kasus ini." Mereka mengangguk

"Kita akan berunding soal ini besok," ujar Nala mengerti keadaan Yara. Terlebih Cira adalah bagian dari mereka sekarang.

"Aku pergi!" Yara menyalimi ketiga Kakaknya.

☆☆☆☆☆

"Lama gak?" tanya Yara mengagetkan Buma yang tengah bersender pada jok mobil

"Santay," ujar Buma sembari tersenyun manis

"Jyjyk gue liat lo gitu," ujar Yara yang membuat kondisi muka Buma menjadi datar

"Serah lo." Yara diam-diam tersenyum tipis. "Kita pake mobil gue," ujar Yara

"Gue lupa kalau mobil ini punya Nala. Trus mau diparkir di mana? Dan yang mana mobil lo?" Mereka tengah berada di depan rumah Yara yang bisa dibilang tak begitu megah.

Yara tak menjawab malah mengambil handphonenya, lalu tiba-tiba garasi minimalis Yara terbuka ke samping begitu saja. Buma dibuat cengo dengan hal itu segera ia menurunkan kaca mobil, lalu ia keluar dari mobil agar bisa melihat lebih jelas. "Ini rumah apaan dah?"

"Jangan pernah melihat dari luarnya," ujar Yara

Buma menatap Yara lekat. "Mulai sekarang lo pacar gue!" Buma menembak Yara?

"Ogah," jawab Yara santai lalu berjalan ke garasinya mengambil mobil kesayangnnya.

"Gue serisu Ayar," gumam Buma dengan tampang percaya diri.

Yara keluar dengan mengendarai sebuah mobil lamborgini sian berwarnah hitam. Buma kembali dibuat ternganga dengan ini semua.

Pip!!!

"Masuk!" ujar Yara dari dalam mobil. Segera Buma bergegas memasuki mobil Yara.

"Trus mobil Nala gimana?"

"Gue udah SMS Nala, ntar mereka ambil." Buma kembali dibuat geleng kepala. Mobil lamborgini sian dibiarkan begitu saja? Mungkin mereka sudah gila.

☆☆☆☆☆

"Yara kalian punya mobil lomborgini sian dua?" tanya Buma di sela perjalanan mereka.

"Hm."

Buma terpanah dengan ini semua. Ia saja belum bisa membeli mobil, sedangkan Yara? Ia bahkan telah mempunyai lamborgini.

"Maaf nih yah, ini hasil dari lo kerja jadi pembunuh?" ucap Buma sedikit kasar demgan kata 'pembunuh'

Yara menengok Buma sekilas. "Ini halal," ujar Yara singkat. Buma mengangguk, akan dia tanya lain kali saja, pikirnya.

"Lo tadi ambil apa?" tanya Buma lagi.

"Senjata, ambil aja di ransel! ada di jok belakang." Buma mengikuti perintah Yara, ia memeriksa tas ransel khusus senjata milik Yara.

"Lo bawa 4 pistol?"

"Hm, lo kidal kan?" tanya Yara memastikan

"Iya, tapi tangan kiri gue belum terlalu lihay," jujur Buma

"Gak masalah."

Jalan yang mereka lalui semakin sepi, sedang haripun semakin malam.

"Yar, handphone lo nyala."

Yara menatap handphonenya

"Kita sudah dekat, kita gak akan lakuin pembantaian, hanya penyelidikan aja. Gue rasa mereka bukan orang yang hebat dalam ahli bela diri," ungkap Yara kembali mengingat kejadian di mana ia mengetes teknik lawannya

"Terus lo ngapain bawa pistol sampai empat gini?"

"Siaga aja. Lagian gue mau sombong kalau gue punya pistol canggi," sombong Yara sedikit terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Terserah lo deh. Gue mah belum pernah megang pistol," ujar Buma seadanya. Selama ini ia hanya memegang batu dan stik baseball saja.

"Tapi lo tau cara gunainnya kan?" titah Yara sedikit syok jika Buma tidak bisa menggunakannya

"Tenang aja, gue bisa kok gunain ginian," ujar Buma sambil terus memaikan pistol Yara yang peluruhnya telah dikunci agar tak bisa digunakan dulu.

" katanya dekat. Kok gak nyampe-nyampe?" tanya Buma mulai bosan jika pemandangannya hitam semua.

"Tiga pulu menit lagi, lo liat ke depan,samping aja! Siapa tau ada yang muncul," ujar Yara dengan niat menakuti Buma.

"Maaf yah nyonya Ayar! Saya tidak takut dengan begituan." Mulut Yara mengatub saat Buma memanggilnya dengan nama Ayar.

Buma menengok ke arah Yara yang hanya diam saja. "Lo kenapa?"

Yara menggelengkan kepalanya, mengusir semua memori yang lagi dan lagi berputar di jaringan otaknya.

"Jangan panggil gue dengan nama Ayar!"

Buma mengerut kening bingung.

"Penggilan spesial dari ibu lo?" tanya Buma yang sebenarnya tepat sasaran.

"Hm."

"Oh kalau gitu gue juga bakal panggil lo Ayar! Titik!" tekan Buma. Saking semangatnya ia sampai memukul pahanya.

"Kenapa?" Yara menatap Buma bergantian dengan jalanan agar tak menabrak.

"Karena ... gue yang bakal jagian lo! Beri kasih sayang untuk lo! Pengganti orang tua lo," tulus Buma. Itu semu tergambar di bola matanya bersamaan dengan senyuman yang begitu tulus.

Yara membeku, segera ia mengalihkan pandangan menjadi fokus pada jalanan.

"Terserah. Tapi gue saranin lo gak usah sok baik sama gue," ujar Yara menjadi dingin