POV Juliet Fadilah
Tak terasa empat hari lagi, kegiatan ospek akan segera dimulai. Hari ini pada pukul delapan pagi, keluargaku sedang bersiap-siap untuk kepindahanku menuju kota Bekasi. Barangku yaitu koper, tas, lemari plastik dua pintu, buku tulis, baju, dan lain-lain, diangkut ke dalam bak mobil pick up. Tidak aku sangka, diriku harus kembali berpisah dengan kamarku.
Sedih rasanya jika harus berpisah, dengan tempat yang sudah kuanggap, seperti istanaku sendiri. Juga, aku harus berpisah dengan keluargaku. Jika ada waktu luang, diriku pasti akan pulang ke rumah. Selesai berkemas, aku masuk ke dalam mobil Kijang Innova berwana putih, seperti biasa aku duduk paling belakang.
Disambung oleh anggota keluargaku, sementara keluarga cabang menaiki mobil pick up, duduk bersebelahan dengan barangku. Perjalanan pun dimulai. Diawal perjalanan kami mengalami suatu insiden kecil. Adikku yang bernama Dina, merasa mual pada perutnya, spontan mamahku memberikan sebuah plastik hitam.
Lalu, adikku langsung mengeluarkan seluruh isi yang ada didalam perutnya. Aroma dari muntah merasuki hidungku, spontan aku langsung menutup hidung, setelah itu dia pun melirik ke arah jendela, untuk menghirup udara segar.
Adikku benar-benar payah, baru naik mobil segitu saja sudah mabuk. Bagaimana jika ia menaiki mobil sekelas ferari? Jika seandainya, kalian adalah aku mungkin kalian juga akan merasa malu. Selesai memuntahkan seluruh isi perutnya, adikku membuka langsung membuang plastik itu keluar jendela.
Tiba-tiba tanpa sengaja, plastik berisi muntahan itu terkena seorang pengendara, yang sedang menyalip kendaraan kami, dari sisi kiri. Dan akhirnya pengendara itu terjatuh ke sawah. Ada-ada saja pengendara itu, nyalip mobil ke sisi kiri.
Apakah dia tidak diajarkan, tentang tata cara berkendara yang baik? Melihat hal itu, spontan aku langsung menepuk keningku. Kemudian, kedua orang tuaku langsung memarahi adikku. Malangnya nasibmu, sudah jatuh ketimpa tangga. Terpaksa perjalanan pun berhenti, lalu kami semua turun dari mobil.
Lalu aku, papah, dan supir turun ke bawah untuk membantunya. Kulihat wajahnya di penuhi oleh muntahan adikku, lalu dari baju hingga kaki ditutupi oleh lumpur. Pengendara itu melototi kami, lalu dia berkata.
"Kalau buang sampah pake mata dong!"
"Tolol elu yah!? Buang sampah itu pake tangan mana bisa pake mata. Lagian mau nyalip lewat jalur kanan setres!" Aku menunjuk ke arah wajahnya.
"Hayu gelut jeung aing!" Mengepalkan kedua tangan, lalu mengangkatnya seperti petinju.
(Hayu, berantem sama saya)
"Stop, inih." Memegang tangan Sang Pengendara, lalu memberikannya selembar uang seratus ribu.
"Ashiaap, jalan bos!" Seketika ia tersenyum, lalu ia menunjuk ke arah mobil dengan jempol.
Melihat raut wajahnya, seketika raut wajah kami bertiga menjadi datar sedatar mungkin. Uang itu sungguh menakutkan, yang tadinya orang itu baik bisa menjadi jahat. Bahkan dengan uang wajah pas-pasan, berubah menjadi glowing.
Perjalanan pun dilanjutkan. Selama di perjalanan aku menghabiskan waktu dengan tertidur. Di tengah perjalanan kami berhenti di rumah makan padang. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami harus mengisi perut kami terlebih dahulu.
Terutama adikku, perutnya harus terisi kembali. Selesai makan kami semua kembali memasuki mobil. Namun kali ini, aku menaiki mobil pick up. Sebab sejak tadi, ponakanku yang berusia lima tahun, merengek ingin duduk di tempatku. Kini, aku duduk bersila, ditemani nenek dan tiga anggota keluarga cabang, beserta barang-barangku. Terpaksa aku harus duduk, dan menikmatinya.
Di tengah perjalanan kulihat langit mulai gelap, sedikit demi sedikit angin mulai perhembus kencang. Hujan pun turun. Aku melirik kesana kemari, melihat segelintir pengendara berhenti di pinggir jalan, untuk berlindung dari air hujan. Mobil ini dilengkapi oleh terpal, namun semua itu tidaklah cukup.
Rembesan air, dari atas terpal tetap membasahi bajuku. Kulihat di atas, sedikit demi sedikit air mulai menggumpal, lalu aku mendorongnya ke atas, agar air turun dari dua sisi terpal. Tak disangka terpal itu bocor, akhirnya seluruh air itu membasahi seluruh bajuku. Spontan nenek dan ketiga anggota keluarga lainnya menertawaiku. Seketika wajahku menjadi datar sedatar-datarnya.
Lalu aku mengelap bajuku, dengan sebuah kain yang diberikan oleh nenek. Tiba-tiba hembusan angin berhembus ke arahku, seketika badanku menggigil kedinginan. Rasanya aku ingin segera sampai, jika terlalu lama berada disini bisa-bisa tubuhku semakin menggigil.
Sekian lama di perjalanan akhirnya kami sampai di tujuan. Kulihat di depan pintu kontrakanku, Sang Pemilik kontrakan sudah menunggu kedatanganku. Kemudian kami semua turun, lalu menaruh barang-barangku di dalam kontrakan. Kasur dan lemari serta barang pribadi diletakkan diruang tengah. Sedangkan mejikom, peralatan dapur, serta peralatan mandi kami letakkan di dapur dan kamar mandi.
Untuk diruang depan sengaja kami kosongkan, sebab rencananya tempat itu akan digunakan sebagai lahan parkir. Selesai merapihkan barang kami beserta keluarga makan di bawah pohon mangga. Kebetulan hujan pun sudah berakhir, sehingga ini menjadi momen yang pas untuk piknik.
Tak lupa kami ajak Sang Pemilik kontrakan untuk bergabung bersama. Sebelum kami duduk kami amparkan sebuah tikar, setelah itu duduk bersila. Kemudian nenek mengeluarkan sebuah plastik hitam berukuran besar, lalu meletakkannya di atas tikar. Rupanya didalam sana terdapat nasi dan beraneka lauk pauk, lalu nenek hamparkan di atas tikar untuk kami ambil sendiri.
Setelah itu kami pun berbincang-bincang, sambil menikmati hidangan di bawah pohon. Kedua orang tuaku mulai berkenalan dengan Sang Pemilik kontrakan. Beliau bernama Joko, dia berasal dari Jakarta. Rumahnya berada di plosok kota Bekasi, dia memiliki seorang istri yang bekerja di sebuah perusahaan tekstil. Istrinya menjabat sebagai seorang manager, lalu tanpa rasa malu mamahku berkata.
"Wah hebat istri bapak bisa menjadi seorang manager, nanti kalau ada lowongan titip anak saya yah?"
"Mamah apaan sih." Melototi kedua mata mamahku, wajah merah dengan diselimuti rasa malu.
Mendengar hal itu Pak Joko pun tertawa. Lalu papahku berkata.
"Pak Joko titip anak saya, nanti sesekali tolong jengukin."
"Siap pak pasti saya jengukin."
Selesai makan sudah saatnya, keluargaku bersiap-siap untuk kembali pulang. Berat rasanya, namun aku harus berdiri tegak, melangkah sesuai kemauanku sendiri. Selesai mereka berkemas, aku mencium tangan kedua orang tuaku. Lalu, mengantar mereka hingga masuk ke dalam mobil. Sebelum pergi mamah berpesan, agar diriku terus melangkah ke depan.
Jangan kejadian sebelumnya kembali terulang. Dan akhirnya mereka pun pergi. Lalu aku masuk ke dalam rumah. Sebutan rumah sengaja aku lakukan, jika aku mengatakannya dengan sebutan kontrakan, menurutku rasanya terdengar kurang pas.
Suasana di dalam terasa sangat sejuk, rasanya aku ingin langsung tertidur. Namun waktu sudah menunjukkan pukul enam. Jika tertidur saat pergantian waktu, dengar-dengar katanya diriku akan mengalami hal buruk. Membayangkan hal itu membuatku takut, lalu aku mencoba untuk menahan rasa ngantuk hingga satu jam ke depan. Tak terasa sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sejak tadi perutku sudah keroncongan. Lalu aku pun memutuskan untuk keluar untuk membeli sebungkus nasi goreng.
Ketika aku keluar dari rumah, kulihat dari samping kanan seorang pemuda keluar dari kamarnya. Kami pun saling bertatapan. Kulihat pemuda itu beralis tebal, berambut runcing, berkulit putih, serta memiliki postur sama denganku. Hanya saja kedua tangannya yang kekar, lalu kami pun berkenalan.
"Mas penghuni baru yah?" Menatapku dengan wajah ceria.
"Iya mas kenalin mas, saya Juliet dari kota Subang." Berjabat tangan dengan tetangga.
"Kenalin saya Dedi Boy, asal Simalungan, Kab. Sumetera Utara." Berjabat tangan denganku.
"Wah keren, rumahnya dekat dengan Danau Toba."
"Enggak juga mas, agak jauh kalau dari rumah saya. Oh soal panggilan terserah."
"Ok, terserah. he.he.he."
"Enggak gitu juga konsepnya mas. Ha.ha.ha."
"Mas Dedi, baru pulang kerja?" Melihat baju werpack berwarna abu, yang ia gunakan.
"Oh iya mas, saya baru pulang kerja."
"Dimana?"
"Di Cikarang, pabrik EPSON."
Kemudian kami menanyakan umur masing-masing, rupanya ia berusia sepantaran denganku. Di usianya yang menginjak 23 tahun, dia sudah menjabat sebagai seorang Kepala Divisi. Rupanya selain bekerja, ia juga berkuliah mengambil program D4 jurusan permesinan. Aku iri dengannya, sebab dirinya bisa melakukan dua hal sekaligus. Jika itu aku belum tentu diriku bisa melakukannya.
Kemudian kami pergi membeli nasi goreng disalah satu kedai tak jauh dari sini. Sepanjang perjalanan, Dedi memberitahu berbagai tempat menarik disini, dimulai dari warteg, tongkrongan, hingga lapangan futsal. Kapan-kapan aku akan mengunjunginya.
Sambil menunggu pesanan, kami berdua duduk disebuah kursi panjang. Kemudian masuklah seorang pengamen, berpostur badan tinggi dan kekar. Rambutnya panjang sebahu, lalu ia membawa sebuah gitar. Setelah itu dia menyanyikan sebuah lagu, yang berjudul "Malam Jumat Kliwon". Suaranya terdengar biasa, tidak ada yang spesial sama sekali.
Selesai bernyanyi ia menjulurkan tangannya, lalu melototi kami. Melihat hal itu jujur aku sedikit takut, lalu aku memberikannya selembar dua ribu. Spontan ekspresinya pun berubah, dia tersenyum ke arahku sambil merapatkan kedua telapak tangannya di bawah dagu. Lalu dia berkata.
"Makasih."Berpose ala grup band cherrybelle.
Melihat hal itu, aku pun melongok, pengamen itu bernyanyi lagu cherrybelle yang berjudul "You are beautiful". Tanpa sadar aku mengikuti tariannya hingga ia meninggalkan kedai. Dedi pun tertawa, lalu ia menepuk pundakku. Dia berkata bahwa hal itu sudah biasa. Jika sudah lama tinggal disini, katanya diriku akan segera tau. Selesai memesan nasi goreng kami kembali ke rumah masing-masing.