Bukan skenario hidup seperti ini yang aku inginkan, memerani tiga tokoh sekaligus dalam satu kali kesempatan hidup. Andai bisa aku ingin terlahir kembali menjadi aku yang hanya satu
- Samudra Arga Pratama
"Mas Arga. Sekarang mas Raga pulang ya!"
Raga tak pikir panjang. Ia bangun dari tempatnya. Bintang yang duduk di sampingnya sampai mengernyitkan dahi bingung. Pasti anak ini akan berulah lagi.
Langkahnya kemudian ia bawa keluar kelas, membuat semua teman sekelasnya menatapnya aneh. Tak pernah jerah dengan hukuman yang diberikan dan tak pernah tertib barang sehari pun. Raga bahkan tak peduli dengan pak Didit yang sudah meneriakinya.
"Raga, mau ke mana kamu?!"
"Raga! Akan saya hukum kamu!!"
"Raga!!"
Raga hanya mengangkat tangannya, melambai pada pak Didit yang sedang melototinya. Tanpa berbalik sedikit pun, ia sudah tahu bagaimana marahnya gurunya itu.
🍁🍁🍁
Raga, kakinya seperti diikat di tempatnya berdiri. Matanya membulat sempurna menangkap pemandangan di depannya. Nafasnya tercekat, dadanya seperti dihimpit dua batu besar, susah payah hanya untuk menarik nafas. Otaknya seperti disuntik mati, sampai tak bisa berpikir harus berbuat apa. Tempat itu tak layak disebut kamar. Semua barang sudah tak berada di tempat seharusnya. Semua buku yang semula tersusun rapih di meja belajar tak ada di tempatnya. Selimut juga bantal tergeletak di lantai. Sebagian barang lainnya hancur berantakan. Tapi tak ada yang lebih penting dibanding orang yang sedang tenggelam dalam lipatan lututnya. Terduduk di sudut ruangan. Penampilannya menggambarkan betapa hancurnya pemuda itu saat ini.
"Argaa" Raga mendekati abangnya. Sangat pelan sampai derap langkahnya pun tak terdengar, ditelan denting jam yang mengisi sunyi ruang. Ditepuknya bahu yang bergetar itu sampai empunya mendongakkan kepala, ingin melihat orang yang datang padanya. Raga atau siapa pun itu, Arga tetap tak suka. Dengan pergerakan yang sangat cepat, Arga lompat dari tempatnya. Matanya menatap tajam sesorang yang berwajah sama dengannya.
Dasar pembunuh!
Kamu ga usah bela pembunuh ini, mulai sekarang kamu jangan dekat-dekat dengan Arga, Uty ga mau kamu jadi korban selanjutnya!
Arga, ia merasakan telinganya berdengung sangat panjang. Suara itu. Kalimat itu. Seperti nyata hadir di dekatnya. Membuka memori lama yang begitu menyakitkan. Detik selanjutnya, Arga menggeleng brutal. Menjambaki rambutnya sendiri bahkan seperti akan lepas dari tempat tumbuhnya.
"Pergiiii!!!!"
"Pergi dari sini!!!! Gue pembunuh jangan deket-deket gue!!"
"Bukan, tapi gue ini bukan pembunuh!!"
Tanpa memperkenalkan diri di hadapannya, Raga jelas tahu sedang menjadi siapa kakaknya itu sekarang.
"Arga ini gue Raga. Lo tenang ya," Raga anak itu tak peduli kalau sampai kena amuk kakaknya. Raga perlu menenangkannya. Raga perlu mendekapnya, mengucapkan banyak kalimat penguat untuk manusia yang sedang terombang-ambing hati juga pikirannya.
"Pergi!!" Arga masih merancau di tempatnya. Air matanya turun menemani cairan amis yang merembes dari tangannya.
"Gue pembunuh! Gue bilang pergi!" Arga, suaranya kian melirih. Bahunya semakin bergetar dengan isak yang semakin dalam. Tatapannya memperlihatkan jiwanya yang tengah kosong. Sampai pijakannya tak lagi seimbang, seperti ada angin yang bertiup kencang. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Beruntung dengan cepat Raga meraih tangan Arga, membuatnya tak sampai membentur dinginnya lantai.
"Gue bukan pembunuh..." lirihnya sangat pelan, membuat Raga semakin sesak. Ia ingin bicara, mengatakan satu dua kata untuk menenangkan Arga. Tapi tak bisa, suaranya tercekat. Tangisnya tak dapat ia tahan. Raga hanya tak sanggup harus melihat abangnya tersakiti oleh jiwanya sendiri.
Mata itu tertutup sempurna seiring tubuh yang terkulai lemas di pangkuan Raga. Selalu seperti ini. Kakaknya selalu berakhir sepilu ini.
"Maafin gue Bang. Gue ceroboh." Raga masih menatap lekat kakaknya. Guratan pucat begitu kentara. Menyamarkan rona merah di wajahnya. Jangan lupakan punggung tangan dan ruas-ruas jarinya yang belum berhenti mengalirkan darah. Semakin mengotori area lantai, ditambah dengan bau anyirnya.
Di ambang pintu, masih berdiri seseorang yang setia mengamati, sama sekali tak tertinggal barang sedetik pun. Sudah kesekian kalinya ia menyaksikan hal semacam ini terjadi, mungkin hanya berbeda waktu dan tempat. Meski statusnya dengan dua remaja laki-laki itu hanya sebatas pembantu-majikan, tapi hatinya terlampau sakit untuk melihat Arga yang kembali rapuh. Bagaimana tidak, Raga dan Arga kecil selalu dalam perawatannya. Bahkan sampai keduanya besar, bi Rima masih setia merawat dengan penuh kasih sayang. Bertahun-tahun, ia mendedikasikan hidup untuk keluarga majikannya itu karena dia sendiri hidup sebatang kara. Tak pernah ada kata pulang kampung selama ia merantau di ibu kota.
"Bi, tolong rapihkan ranjang Arga ya." titah Raga pada pembantu rasa ibunya itu.
Segera setelah lamunannya buyar, bi Rima melakukan apa yang diminta Raga.
Raga menggendong tubuh Arga yang dirasanya semakin ringan saja tiap harinya. Wajah mereka sama, sama-sama menuruni wajah tampan ayah dan manis bundanya. Hanya saja satu di antara mereka lebih berisi pipinya. Jangan dikira Arga kurang makan atau kurang gizi, sama sekali tidak, anak ini makan dengan baik selama ada bi Rima di rumah. Seperti yang orang katakan, beban pikiran banyak berpengaruh pada tubuh seseorang.
🍁🍁🍁
Matahari telah pulang ke peraduannya. Melepas lelah pada angkasa. Memberi kesempatan bagi rembulan untuk mengisi malam. Begitulah siklus dunia berjalan adanya, tak selamanya bisa menjadi yang paling berkuasa atau sekedar menjadi yang paling berperan.
Detak jarum jam mendominasi ruang sunyi yang tercipta. Penghuninya tengah terkulai lemas di ranjangnya. Demamnya bahkan belum juga turun meski saudara kembarnya sudah banyak berusaha. Tadi setelah Arga pingsan, Raga langsung menelpon dokter langganannya. Dan sembari menunggu datangnya dokter, Raga mengobati luka yang ada di tangan kakaknya. Raga meringis ngilu ketika membersihkan serpihan kaca yang menancap di kulit kakaknya itu. Lagi, kakaknya menonjok cermin yang ada di kamarnya. Semakin membuat Raga merasa tak becus menjaga Arga, bagaimana bisa ia lupa menyingkirkan cermin itu. Seharusnya ia paham, Arga yang kemarin sangat suka merapihkan diri depan cermin belum tentu akan sama dengan Arga di hari ini. Yang begitu trauma hanya dengan melihat bayangannya di cermin.
Tak jauh dari ranjang Arga, Raga tengah bersimpuh, kembali mengetuk Sang Pencipta. Menjalankan kewajiban juga datang mengadu pada-Nya. Doanya tidak muluk-muluk. Pintanya masih sama. Sembuhkanlah hati dan pikiran Arga. Kembalikanlah Arga pada sedia kala.
Sampai lupa memohon keselamatan atas dirinya.
🍁🍁🍁
Bumi Lampung
Terang, 16 Oktober 2020
jangan lupa tinggalkan jejak
stay healthy ❤️