Kematian, andai datangnya dapat ditunda. Juga memilih caranya. Pasti takkan seperti ini jalan ceritanya.
-RagaArga-
Takkan ada yang baik-baik saja setelah hari duka datang, sekalipun kalimat yang kuat ya itu diucapkan berulang kali. Takkan ada yang benar-benar melepaskan bahkan setelah kalimat yang ikhlas ya terdengar mencoba menepis lara.
Percayalah sedikit banyak hidupmu akan berubah ketika duka datang tanpa permisi, bahkan sekedar memberi waktu tuk berpamitan. Takkan ada lagi senyum itu yang selama ini selalu menenangkanmu, takkan ada lagi suara itu yang selalu menjadi candu bagimu, dan takkan ada lagi peluk itu kala dirimu butuh atau sekedar saat kau mau. Pun hanya untuk rindu yang menimbun, dirimu tak bisa apa-apa. Selain menguntai doa.
Bukan, ini bukan salah Tuhanmu, sama sekali bukan. Beginilah hidup jika kau ingin tahu. Yang tiada kan ada, menumbuh, lalu menjadilah ia tiada. Kembali pada sang Pencipta.
Belum juga gundukan tanah itu mengering, belum juga hilang wangi air mawar yang membasahinya, tapi bibit masalah nampak tumbuh pada kehidupan yang ditinggalkan.
Wanita tua tanpa keriput itu masih setia memeluk sebuah foto di mana di dalamnya sang putri tengah tersenyum bahagia. Pandangannya masih menatap lurus ke depan, tatapannya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Lalu tak lama setelahnya ia tersentak karena pikirannya sendiri.
"Mana Arga? Mana pembunuh kecil itu?" rancaunya. Diletakkannya dengan kasar foto yang dipeluknya, lalu langkahnya ia bawa menuju lantai dua rumahnya, mencari keberadaan cucunya-Arga.
"Uty Dias?" Raga menautkan kedua alisnya, bingung mengapa neneknya itu masuk ke kamarnya dengan tak sabaran.
Plak...
Raga menegang melihat apa yang baru saja terjadi. Ada apa dengan Uty-nya? Mengapa ia menampar kakaknya yang jelas-jelas tidak sedang berbuat masalah, bahkan kakaknya sedari tadi hanya sesenggukan menangisi kepergian sang Bunda. Kedua anak itu sedang sama hancurnya saat ini.
"Uty?" Arga mendongakkan kepalanya setelah rasa panas itu menyambar pipinya. Uty-nya itu sedang menatapnya sangat tajam sekarang, matanya memerah, juga dadanya naik turun, apakah neneknya sedang marah? Tapi kenapa? Uty tak pernah seperti ini sebelumnya.
Plak...Plak... Lagi, tamparan itu mendarat di pipi Arga membuat sang empunya semakin terisak.
"Kamu tau kenapa saya menampar kamu?" sekarang Uty-nya itu sedang membentaknya, membuatnya gemetar. Sementara sang adik yang berada di sampingnya juga tak kalah takut. "Karena kamu yang sudah membuat anak saya, anak perempuan saya satu-satunya pergi, bahkan calon cucu saya juga pergi, kamu itu sama dengan pembunuh!"
Deg! Pembunuh apa? Siapa? Arga masih belum bisa memahami ucapan Dias. begitu pun dengan Raga.
"Andai kamu tidak jadi anak yang manja, pasti anak dan cucu saya akan baik-baik saja. Andai kamu tidak merengek meminta dibelikan es krim pasti semuanya baik-baik saja!"
Tiga kali tamparan itu belum cukup bagi Dias. Dengan sangat kasar Dias menarik tangan cucunya-Arga. Tangannya begitu dingin. Pasti anak ini sedang sangat ketakutan. Entah apa maksudnya Dias menarik Arga sampai ke depan cermin yang ada di kamar cucunya itu. Sementara Raga yang semula duduk bersama Arga di pinggiran ranjang tidur ikut turun dan mengikuti langkah Uty-nya.
"Sekarang kamu lihat baik-baik!" Dias menunjuk cermin yang merefleksikan dirinya juga Arga dan Raga yang berdiri sedikit jauh darinya, menjaga jarak karena sangat takut "Kamu ingat baik-baik wajah anak yang sudah membunuh ibunya sendiri! Juga adiknya yang bahkan belum merasakan dunia!" tunjuk Dias pada pantulan Arga di cermin. Tangannya menoyor kepala Arga. Berulang kali.
"Ampun Uty... Ampun... Hiks...hikss" Arga benar-benar ketakutan juga kesakitan sebab berulang kali neneknya memukulinya.
"Uty lepasin bang Arga, udah Uty jangan pukulin bang Arga!" itu Raga. Ia sudah berdiri di belakang Uty-nya, menarik-narik baju neneknya, bermaksud menyudahi aksi kejam neneknya itu.
"Minggir Raga!" neneknya justru mendorong tubuh mungil itu, membuat sang empunya jatuh tersungkur. Arga yang melihatnya pun memberontak, membuat jiwa kakak yang ada di dirinya terpanggil untuk membantu sang adik. Tapi sayang Uty-nya mencekal tangannya, membuatnya tak bisa melangkah.
"Kamu ga usah bela pembunuh ini, mulai sekarang kamu jangan dekat-dekat dengan Arga, Uty ga mau kamu jadi korban selanjutnya!"
"Ampun Uty... Sakiiit!!! Hiks... Hiks..." tiada ampun bagi Arga, neneknya masih terus memukulinya.
"Dasar pembunuh!" sekarang tak hanya luka fisik yang Arga rasakan. Perlahan ucapan Dias mulai menggoreskan luka di hati Arga.
Lalu diraihnya gelas yang ada di nakas.
Prankkk!!!
"Lebih baik kamu ikut mati pembunuh!" Siapa sangka Dias melemparkan gelas itu ke cermin di hadapannya membuat serpihannya melukai Arga. Arga meringis merasakan perihnya, dilihatnya beberapa bagian kakinya yang mengeluarkan darah. Melihatnya saja sudah membuatnya pusing.
Sementara di lantai satu, tepatnya di teras rumahnya, Tama-bapak dari dua anak kembar itu tengah menerima tamu yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa. Suara gaduh dari lantai dua mengusik obrolannya.
"Pak, saya permisi masuk ke dalam ya, mau lihat anak-anak saya," itu Tama, firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Tamunya itu lalu berdiri "Oh iya silahkan pak, saya juga sekalian mau pamit ya pak."
"Terimakasih banyak Pak sudah datang..." ucap Tama mengantar tamunya pulang sampai ke ujung teras rumah.
Setelah segera tamunya itu pulang, Tama masuk ke rumahnya, menghampiri sumber suara yang asalnya dari lantai dua.
"Astaghfirullah...." mata Tama membulat sempurna kala menangkap kekacauan yang ada di depannya. Kedua anaknya sudah menangis kencang, sangat ketakutan.
"Ma berhenti Ma, kenapa Mama jadi begini?" Tama berusaha mencekal tangan ibu mertuanya yang berulang kali memukuli Arga.
"Biarkan Tama, biarkan anak ini merasakan apa yang dirasakan Bundanya!" saut Dias, penuh kesetanan.
"Ma, istighfar Ma!" Tama berusaha mengingatkan Dias "Mona pasti bakal sedih lihat ibunya begini Ma, Arga pun ga mau kehilangan Bundanya. Semua itu sudah takdir Allah, Ma!"
Dias nampak berpikir dalam diamnya. Ada sedikit rasa penyesalan di sana. Tapi sayang egonya lebih berkuasa atas dirinya. Tanpa rasa kasihan, Dias mendorong Arga sampai jatuh tersungkur, lalu setelahnya ia pergi meninggalkan kamar itu.
"Sini sayang peluk Ayah!" Tama berlutut di depan anaknya, merengkuh sang anak-Arga dalam pelukannya. Diikuti si bungsu yang mengalungkan tangannya di leher sang Ayah.
Arga mendongakkan kepalanya, ditatapnya wajah sang Ayah, meski pandangannya buram karena air matanya. "Ayah, jadi Arga ini pembunuh ya?"
"Sstt... Ngga Arga, Arga bukan pembunuh, Arga anak Bunda, bukan pembunuh Bunda!" sebisa mungkin Tama memperbaiki psikis anaknya yang pasti sangat terguncang.
Arga mengembalikan pandangannya, dilihatnya satu persatu luka di kaki juga lengannya. "Arga pembunuh," Arga mulai merancau. "Arga ini pembunuh, Arga harus ikut mati!" Arga memberontak di pelukan Tama, membuat Tama semakin mengencangkan pelukannya. Tama tau psikis anak ini pasti sangat terguncang.
Bahkan dukanya belum usai, tapi hatinya kembali dibuat pilu. Semoga luka itu membaik. Besok dirinya sudah lupa.
Lalu kembali ceria seperti biasanya.
🍁🍁🍁
Suasana meja makan terasa berbeda. Wanita penuh kelembutan juga kasih sayang itu tak hadir memberi kehangatan, hari ini, esok, lusa, dan selamanya.
"Arga, Raga, minum susunya dulu ya!" itu Tama, mengantarkan dua gelas susu coklat untuk kedua anaknya yang sudah tertib duduk di meja makan.
Keduanya mengangguk seraya mengukir senyum untuk sang ayah.
Raga mengambil susunya, begitu pun dengan Arga yang juga berniat meneguk jatahnya, tapi sebelum itu terjadi...
Prankkk!!!
Itu Dias, yang mengambil gelas milik Arga lalu dilemparnya ke lantai. Tama yang sedang menyiapkan nasi goreng di dapur buru-buru menghampiri sumber suara. Tama tahu bahwa suasana hati mertuanya sedang tidak bagus sekarang, jadi dengan sabar Tama yang menyiapkan sarapan pagi ini.
"Ma?" Tama menggocang tubuh Dias yang saat ini sedang menatap tajam anak sulungnya.
"Dasar pembunuh!" Dias kembali menyalahkan Arga. Melontarkan kalimat yang pasti sangat menyakiti Arga. Arga sudah menunduk penuh ketakutan sekarang, sementara Raga yang duduk di sampingnya merangkulnya dan mengelus lengannya. Berusaha menghilangkan gemetar di tubuh Arga.
"Ma, istighfar Ma..." Tama hanya mencoba mengembalikan hati lembut mertuanya. Sebelum istrinya meninggal, mertuanya itu tak pernah bersikap kasar pada siapa pun termasuk cucu-cucunya.
"Sampai kapan pun saya akan membenci anak ini! Dia yang menyebabkan anak saya meninggal!" Dias sama sekali tak menurunkan nada bicaranya.
'benci?' Arga bukanlah anak kecil yang tak paham akan arti dari kata ini. Benci itu artinya tidak suka dan tidak peduli, begitu sekiranya Arga menerjemahkannya. Dilihatnya Uty-nya yang menatapnya dengan tajam, namun air matanya turun, pasti dia sedang mengingat anak perempuannya.
"Iya Ma, Tama tau. Mama pasti sedih, Mama kehilangan Mona. Tapi ngga seperti ini caranya Ma. Istighfar Ma, ingat Allah, semua ini sudah menjadi takdir, sudah jadi garis hidup Mona!" Tama merengkuh Dias, mencoba menenangkan hati yang sedang kalut itu.
"Raga, ajak Abang ke kamar ya nak!" Tama tahu Arganya itu juga tak kalah hancurnya diperlakukan seperti itu oleh Uty-nya, tapi Tama tahu mertuanya lebih membutuhkannya saat ini. Setelah kepergian suaminya lima bulan lalu, kini ia harus kembali merasakan duka.
Tama menuntun wanita tua itu menuju kamarnya. "Ma, istirahat dulu ya. Jangan banyak pikiran, nanti Mama bisa sakit!" Tama menyelimuti ibu mertuanya sampai batas dada. Demi apa pun Tama sangat menyayangi ibu mertuanya, sama seperti ia menyayangi ibunya sendiri.
Terhitung sudah dua kali Dias bersikap kasar pada Arga. Bagaimana jika ini terjadi seterusnya? Bagaimana jika ini melukai batin Arga? Tuhan, tolong kembalikan semuanya seperti sedia kala. Ini bukan meminta yang sudah tiada tuk hidup kembali, hanya sembuhkanlah hati yang luka karena duka. Bantu untuk mengikhlaskan meski sulit melepaskan.
🍁🍁🍁
Arga, entah sudah berapa lama anak itu duduk di depan cermin di kamarnya. Memandangi wajahnya dengan tatapan kosong. Mendiamkan adiknya yang berulang kali mengajaknya bermain.
"Bang Arga, ayok maiinn!" Raga sedikit merengek pada abangnya. Mengguncangkan tubuh yang sama mungilnya dengan dirinya.
Arga bergeming di tempatnya. Kemudian otaknya memutar sebuah ingatan yang menyakitkan.
Kamu ingat baik-baik wajah anak yang sudah membunuh ibunya sendiri! Juga adiknya yang bahkan belum merasakan dunia!
Dasar pembunuh!
Sampai kapan pun saya akan membenci anak ini! Dia yang menyebabkan anak saya meninggal!
Mata Arga memanas, dadanya naik turun. Kalimat itu, sarkas itu, terus berputar di pikirannya. Membuatnya tak tahan, bahkan hanya untuk melihat dirinya di cermin ia tak mampu. Malah cenderung tak mau. Sampai...
"Hassshhhh" Arga memberontak, membuat Raga yang berada di sampingnya terperanjat.
Prankkk
Dilemparnya mainan yang ada di tangannya ke cermin hingga membuat keretakan yang cukup parah. Padahal baru saja cermin itu diganti dengan yang baru karena kemarin dengan sengaja Dias menghancurkannya.
"Dasar pembunuh!" Ia berbicara pada bayangannya sendiri.
Tak cukup hanya membuatnya retak, Arga merebut mainan yang ada di tangan adiknya. Lalu melemparnya penuh emosi yang meluap-luap ke cermin itu. "Kamu juga harus mati pembunuh!"
Raga dibuat gemetar dengan apa yang baru saja ia lihat, ia membekap mulutnya sendiri, berjalan mundur, kemudian berlari keluar untuk mencari Ayahnya. Ia tak menyangka apa yang dilakukan Uty-nya berpengaruh seperti ini pada abangnya. Kini bayang-bayang seorang pembunuh itu sudah terpatri di pikiran Arga, di pikirannya, dialah penyebab kematian bundanya. Dan hatinya ikut membenci dirinya sendiri.
Tuhan, mengapa Engkau membuat kehidupan bocah yang baru saja ditinggal bundanya menjadi sepelik ini?
🍁🍁🍁
To be continued
Bumi Lampung
Terang, 16 Oktober 2020
stay healthy ❤️