Gue rasa, Lula mulai membenci gue. Itu yang gue tahu dari teman-teman gue yang memperhatikan Lula. Bukannya gue tidak memperhatikan Lula, tapi mereka lebih peka terhadap Lula.
Lula itu sebenarnya populer di kalangan laki-laki. Entah Lula menyadarinya atau tidak, tapi gue yakin 99% Lula menyadarinya. Tahu kenapa? Karena setiap Lula melewati beberapa laki-laki di koridor atau dimana pun, cewek itu selalu tersenyum angkuh sambil melirik kecil ke arah mereka yang melihatnya bagai melihat dewi.
Lula itu sempurna. Memang, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tapi, Lula hampir mendekati sempurna. Bagaimana tidak?
Otak cemerlang, wajah yang rupawan, tubuh yang ideal, warna kulit yang cantik, ber-attitude, dan jangan lupakan latar belakangnya yang berasal dari keluarga berada.
Lula itu definisi perempuan yang membuat banyak perempuan iri. Juga perempuan yang dikagumi oleh laki-laki manapun. Termasuk gue.
Iya, gue, Rendra Adiprana.Tertarik dengan Lula. Gue tidak tahu, apakah rasa tertarik gue sampai pada tahap ingin memiliki Lula atau tidak tapi yang jelas gue tertarik akan ambisi Lula yang selalu ingin berada di peringkat satu se-angkatan.
Ketika kelas 10, itu benar-benar tidak mengganggu gue. Itu malah sangat tidak gue pedulikan. Tapi, disaat akhir kelas 10, hal itu bikin gue penasaran setelah gue melihat Lula rela masuk sekolah dengan keadaan badan yang tidak dalam kondisi baik demi mengikuti ujian.
Badan dia benar-benar dalam keadaan dimana lo gak akan mau untuk beranjak dari kasur sedetik pun. Tapi, Lula dengan tekadnya berhasil melalui ujian dengan kondisi tubuh seperti itu. Walaupun sesudah menyelesaikan ujian itu ia tidak sadarkan diri dan berakhir dibawa ke rumah sakit.
Benar-benar mengerikan bukan ambisi Lula?
Tapi, itulah yang kemudian membuat gue tertarik pada cewek itu. Gue ingin mengetahui apa alasan dibalik keinginan kuat Lula itu? Apa ia dipaksa orang tuanya? Atau memang ada hal lain?
Itu benar-benar mengganggu gue di awal kelas 11. Dengan hal itu, gue mengeluarkan salah satu kelebihan gue yang selalu gue sembunyikan.
Kejeniusan gue.
Orang-orang bertanya-tanya kenapa gue pada waktu itu bisa mengalahkan Lula, si peringkat pertama satu angkatan selama tiga semester berturut-turut. Kini, gue jawab. Karena gue jenius.
Gue gak perlu belajar keras untuk mendapat peringkat satu kayak Lula. Karena gue bisa, kalau gue ingin. Tapi, selama ini gue gak pernah ingin. Gue gak tertarik untuk menjadi pusat perhatian. Gue cukup memenangkan pertandingan catur antar sekolah tahun kemarin saja sudah banyak yang mengenal gue. Apalagi kalau kayak Lula.
Satu sekolah mungkin tahu gue. Itu cukup mengganggu buat gue.
Tapi, karena Lula. Gue melenyapkan hal yang mengganggu itu dan menjadikan gue peringkat satu se-angkatan. Gue kira, Lula dan gue bakal bisa dekat setelah itu. Gue bisa mengenal Lula lebih jauh. Tapi, itu di luar dugaan. Lula malah membenci gue.
Bukankah itu terlihat sia-sia? Gue jadi dikenal satu sekolahan, dan menjadi perbincangan hangat di akhir semester kelas 11 kemarin. Tapi, tujuan awal gue malah tidak tersampaikan.
Tapi, hal itu menjadi tidak sia-sia sekarang. Lula sekelas dengan gue saat ini. Dia berada di ruangan yang sama dengan gue. Gue bisa aja langsung mendekatinya, toh, kita satu kelas.
Tapi, lagi-lagi itu tidak bisa tersampaikan. Karena, sejak awal kedatangan Lula di kelas ini hingga kelas ini berakhir, Lula tetap memandang gue dengan tatapan sinis seolah ingin menelan gue hidup-hidup.
Lula benar-benar membenci gue.
Apakah peringkat satu itu sebegitu penting untuknya? Dia bahkan hanya turun satu pangkat bukan beberapa pangkat. Dia sampai membenci gue. Gimana kalau gue mengambil semua medali emas olimpiadenya? Mungkin gue akan dikubur hidup-hidup oleh Lula.
Gadis itu bukannya membuat gue menyerah, gue malah makin tertarik. Dia sudah terlanjur menganggap gue saingannya. Itu berarti, gue harus mendekatinya sesuai dengan pandangan dia terhadap gue bukan?
Dan itu artinya, gue benar-benar akan menjadi saingannya.
Oke, Lula.
Siapa takut?