Chereads / The Smell of Hell / Chapter 4 - Tiga

Chapter 4 - Tiga

BRAK!!

Pintu ruangan divisi Cyber VCPD dibuka dengan kasar oleh seorang wanita muda yang termasuk dalam jajaran orang yang disegani di VCPD membuat orang-orang di dalam ruangan tersebut terkejut namun tak berani menegur. Mel buru-buru masuk ke dalam ruangan Cyber dan mendatangi salah satu senior tim yang duduk di sudut ruangan dan tengah sibuk dengan tuts keyboard yang berdentak-dentak tanda sedang di tekan cepat olehnya tak terpengaruh oleh suara pintu barusan.

"Jangan membuat keributan Connor" Ujar Evan Sanders tanpa memandang orang yang ditegurnya, sedangkan yang di tegur sama sekali tidak peduli. Sanders adalah salah satu senior Mel di Akademi kepolisian dulu dan dapat dikatakan cukup dekat dengan Mel serta kerap membantu pekerjaan Mel selama ini.

TAP

Mel meletakkan kartu identitas milik Lex di meja Seniornya itu.

"Cari tau orang ini Sanders" Ujar Mel seraya sedikit mencondongkan badannya ke arah Sanders, merasa tertarik, Sanders menghentikan aktifitasnya dengan tuts-tuts itu lalu menoleh pada Mel yang wajahnya sudah berada 60 cm darinya.

"Kenalanmu?" Sanders berkomentar setelah melihat kartu identitas itu sekilas kemudian kembali mengalihkan matanya pada Mel.

"Tak perlu banyak tanya Sanders, cepat lakukan. Pekerjaanku masih banyak" Tukas Mel dingin.

"Haaah...Baiklah... Dasar balok es!" Sanders menggerutu atas sikap Mel yang tak pernah berubah sejak awal ia mengenal wanita itu, dingin, hambar, tidak peduli prasangka orang lain dan tamak soal prestasi.

Di cibir seperti itu Mel tidak merespon, baginya julukan balok es, tak punya rasa, tak ada empati, dan banyak lagi julukan-julukan yang disematkan padanya soal kepribadian atau cara ia bersosialisasi itu tidaklah penting, menyenangkan mata orang lain tidak masuk dalam skala prioritasnya.

"Ini dia... Alexander Vernon, 26 tahun, seorang yatim piatu. Ibunya, Mary Allen baru meninggal 2 tahun lalu dan sekarang dia tinggal sendirian."

Sanders bergeser ke belakang sedikit agar Mel bisa melihat layar komputer miliknya yang di dalam sana sudah terpampang database kependudukan warga kota Vellas, polisi memang mempunyai hak sepenuhnya untuk mengakses data-data itu.

Mel menatap layar komputer itu dengan seksama dan teliti, tak melewatkan satu huruf pun dari data yang tertulis disana.

"Cukup Tampan.." Goda Sanders seraya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan setelah menyadari bagaimana Mel meneliti data itu, tapi tidak dihiraukan oleh orang yang jadi sasarannya membuat Sanders meneruskan keusilannya.

"Kenapa tidak kau kencani saja Connor? Sepertinya dia akan cocok denganmu" Kata-kata Sanders ini sedikit mengusik Mel yang lalu membalas perkataan seniornya itu.

"Bukan urusanmu, aku tidak tertarik dengan hal seperti itu" Ujar Mel tetap terpaku pada apa yang tadi sedang ia kerjakan.

"Hei...kau tak bisa seperti itu, aku tidak mengatakan kau harus menikah, setidaknya berkencanlah. Sex itu adalah kebutuhan Connor" Ucap Sanders menasehati juniornya yang kikuk itu agar tak terus-terusan menjalani hidup yang datar seperti sekarang ini, menurutnya Mel juga berhak bersenang-senang dan tak perlu memaksakan dirinya tenggelam dalam pekerjaannya.

Mel tak menyahut, ia tahu kalau menanggapi ocehan seniornya itu akan buang-buang energinya saja.

"Jangan bilang..... Kau masih perawan Connor?" Tebak Sanders dengan sedikit menyipitkan matanya penuh selidik pada Mel, membuat wanita itu memutar bola matanya jengah lalu memukul lengan Sanders dengan keras sampai si empunya tangan memekik kesakitan. Mel tak menghiraukannya dan setelah merasa cukup dengan informasi yang ia dapat dari database itu, ia pun beranjak meninggalkan Sanders yang masih meng-aduh memegangi lengannya.

"Hei Connor, suatu saat kau akan menyesal karena tak mendengarkan kata-kataku!" Pekik Sanders

"Awwhh.... Dasar cewek bengis" Ucapnya kesal sembari mengusap lengannya yang nyeri.

Mel melenggang menuju ruangannya tak peduli dengan teriakan seniornya yang memang terkenal banyak bicara, meskipun begitu, Sanders adalah senior Mel yang paling perhatian padanya. Ia tahu Sanders mengatakan itu semua sebab khawatir pada Mel yang selalu sendiri, tapi bagi Mel itu bukan masalah karena ia sudah terbiasa sedari kecil.

Kantor VCPD sudah lengang karena jam pulang kantor telah lewat, tapi tidak bagi Mel dan timnya yang masih harus berkutat dengan kasus ini sebab korban ke-3 baru saja di temukan. ketukan heels pendeknya menggema di sepanjang koridor, masih ada beberapa unit yang membantu ia dan timnya memecahkan kasus ini dan berarti tak ada jatah pulang cepat untuk beberapa waktu kedepan.

Mel masih memutar otaknya sembari berjalan menuju ruangannya, merunut satu per satu petunjuk yang berhasil dikumpulkan, dan pertanyaan paling besar baginya adalah senjata apa yang menyebabkan lubang sebesar buah cerry di jantung korban? bahkan unit khusus yang biasa mengidentifikasi senjata pun kebingungan hingga kini.

--o0o--

"Haaaah..." Dengus kesal Lex terdengar sesaat setelah ia keluar dari kantor polisi, ia tak peduli soal kartu identitasnya yang disita, toh dia bisa dengan gampang membuat yang baru. Ia kesal karena harus berjalan jauh untuk pulang, paling tidak dia harus berhimpitan dengan orang-orang di dalam kereta cepat karena jam ini adalah jadwal terakhir kereta beroperasi hari ini dan biasanya akan penuh oleh orang-orang yang tak mau tertinggal kereta sebab jika naik bus, perjalanan akan memakan waktu lebih lama.

Lex menyiapkan mentalnya untuk menerima serangan bau emosi-emosi yang tercampur aduk, tak semua bau emosi manusia itu buruk, hanya saja kebanyakan manusia hanya menumbuhkan emosi atau perasaan buruk dalam dirinya dan selalu mempertahankannya, seperti kemarahan, dendam, iri, dan yang terburuk adalah kebohongan, bau kebohongan itu sangat-sangat menjijikan dan sepanjang kebohongan itu terus dipertahankan, maka bau nya akan terus mengikuti orang itu. Seperti kata pepatah satu kebohongan akan menghasilkan kebohongan-kebohongan lainnya itulah mengapa bau kebohongan biasanya akan bertahan dan tak dapat terurai.

Pintu kereta cepat telah terbuka, Lex mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kereta yang ternyata hari ini cukup lengang, tidak seperti yang dibayangkannya.

'Baguslah, aku tak perlu melapisi maskerku' pikir Lex.

Kereta mulai melaju, Lex memasang earphone yang tersambung pada ponsel pintar di dalam saku hoodie yang ia kenakan, memutar lagu-lagu kesayangannya yang sudah tersusun rapi dalam playlist. Lex memutuskan berdiri di dekat pintu kereta agar bisa langsung melangkah keluar saat nanti sampai di stasiun kereta bawah tanah tujuannya.

Sialnya, saat ini perutnya sedang sangat lapar membuatnya membayangkan apa yang akan ia beli nanti setelah keluar dari stasiun, lalu rencananya untuk berbelanja ke wellmart hari ini ia urungkan karena seketika malas menghampiri benaknya dan berbisik untuk menunda hal itu.

Seorang lelaki berpenampilan necis dengan kemeja putih tanpa dasi, 1 buah kancing atasnya dibiarkan terbuka dan di balut dengan jas hitam di luarnya, celana hitam dan sepatu pantoefel melengkapi penampilannya. Lelaki itu baru saja masuk ke kabin kereta tempat Lex berada dari kabin kereta lain melalui pintu penghubung.

Lex tidak menyadari keberadaan orang tersebut sebab asik tenggelam dalam pikirannya, sampai saat pria itu melewati Lex dari sisi belakangnya terasa seperti sebuah slow motion, Bulu kuduk Lex meremang, suara ketukan sepatu pria itu yang beradu dengan lantai kereta nyaring terdengar di telinga Lex, Lex berusaha memutar kepalanya melihat ke arah pria tersebut, kemudian rasa mual luar biasa membuncah dari perut bawah Lex menuju tenggorokannya yang siap menyemburkan isi perut Lex.

Warna hitam pekat dengan bintik-bintik kuning menguar dari punggung lelaki itu, kobaran hitam sangat besar seperti api yang siap melahap apapun yang berada di sekitarnya menyertai orang itu sangat lekat seperti api di tubuh ghost rider. Lex bergidik ngeri, jantungnya berdebar tak terkendali, keringat dingin mulai muncul di sekitar dahi dan wajahnya, tanpa ia sadari Lex terus menerus menatap orang tersebut.

"Huek..." Reaksi perutnya tak tertahankan, ini benar-benar parah, bagaimana bisa bau dan warna emosi dari satu orang bisa separah ini.

Ia buru-buru mengeluarkan dan melapisi masker yang sudah ia pakai dengan masker cadangan yang selalu ia bawa kemanapun untuk berjaga-jaga jika terjadi hal seperti ini.

'Hah...lumayan, tak begitu tercium lagi' ucap Lex dalam hati.

Lex ingin pindah dari tempatnya saat menyadari kereta sudah dekat dengan stasiun tujuannya, jadi ia mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk bertahan meskipun kepalanya mulai pening. Keringat dingin masih membasahi wajahnya.

Ding dong

Pintu kereta terbuka, Lex buru-buru keluar dengan langkah terhuyung sambil memegangi kepalanya, ia merasa seperti akan demam. Gugur sudah rencananya membeli makan malam saat perjalanan kembali ke apartemennya karena kini perutnya tak akan bisa diisi lagi, Lex terlalu mual untuk makan.

Sementara itu, Pria misterius dengan kobaran pekat yang besar telah memperhatikan Lex, matanya mengekori gerak-gerik Lex hingga Lex keluar kereta dan tak lagi tampak.

.

.

"Hhuuueeeekkk....."

Sesaat setelah sampai rumah, Lex segera berlari menuju kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya yang kosong sedari pagi tadi ke dalam kloset duduk disana lalu menarik tuas flush di sisinya.

hanya cairan kuning pucat yang keluar. Lex pusing, ia terduduk lemas di lantai kamar mandinya.

"Sialan! Apa itu tadi?? Kenapa bisa semengerikan itu?! Orang itu....." Lex menggantung monolognya, ia seperti merasa tak asing dengan aura pria misterius tadi.

"Haaah... Damn it!!" Umpatnya kesal karena tubuhnya yang lunglai tak lagi bertenanga, susah payah Lex bangkit menuju kasurnya untuk memejamkan matanya sampai besok, karena ia merasa sangat lelah hari ini.

-o0o-