"Ngapain lu bulak-balik?" seru Danu iseng.
"Gua gak bawa labjas," aku Pradita dengan wajah kecut.
Danu menertawakannya hingga ia tersedak dan batuk-batuk. "Sukurin. Tiap-tiap lu mah gak suka bawa labjas. Kapan tobatnya sih?"
Pradita menggerutu sambil mencebikkan bibirnya. Ia tampak sedang menimbang-nimbang akan masuk ke dalam laboratorium atau tidak.
Tiba-tiba di cowok menyebalkan datang sambil menyerahkan labjas padanya. "Yang, katanya kamu lupa gak bawa labjas ya," ucap Bara sambil masuk ke depan koridor laboratorium resep.
"Iya."
"Ya udah nih pake punyaku aja."
Pradita tersenyum sambil meringis. "Aduh makasih ya, Bara. Babay. Aku masuk dulu ya."
Sahabatnya itu masuk ke dalam laboratorium sambil membawa alat-alat prakteknya dan labjas Bara di tangannya. Danu mendengus kesal sambil melirik ke arah cowok sok pahlawan itu.
"Kamu gak ikutan masuk ke dalem?" tanya Bara.
"Gua…."
Danu baru sadar kalau sekarang waktunya pelajaran bahasa Inggris ke laboratorium bahasa. Ia pun lari pontang-panting menuju ke lantai tiga. Perutnya merasa dikocok-kocok isinya hingga ia mau muntah. Seharusnya ia tidak makan terburu-buru dan berlari seperti orang kesurupan.
Koridor kelas sudah kosong. Hanya Danu yang terakhir masuk ke lab bahasa.
Sial sungguh sial. Miss Lanny sudah berada di dalam lab bersama seluruh murid yang jadwalnya lab bahasa. Danu maju ke depan sambil mengangguk malu ke arah Miss Lanny yang memasang wajah cemberut.
"Kamu ke mana saja, Danu?"
"Maaf, Miss. Tadi saya habis dari toilet," ucap Danu berbohong.
"Ya sudah, kembali ke kursimu!" perintah Miss Lanny galak.
Danu buru-buru duduk di kursinya dan mengenakan headset. Beberapa temannya yang lain memperhatikannya saat ia duduk.
Harkat martabat derajatnya sebagai murid teladan dengan nilai yang rata-rata bagus dan nyaris sempurna terpatahkan seketika gara-gara kegalauannya sendiri.
Mengapa oh mengapa Danu harus galau segala? Ia merasa segala sesuatunya kacau hingga ia sendiri tidak bisa mengendalikan dirinya.
Miss Lanny menyetelkan lagu dalam bahasa Inggris yang begitu menenangkan hati. Danu tahu jika itu adalah lagunya Westguy yang populer sejak ia masih SMP. Setidaknya, hatinya merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar lagu itu.
Murid-murid diminta untuk mendengarkan lagu itu dengan saksama dan melengkapi lirik lagunya di buku cetak. Tak terasa ia malah menulis nama Pradita di buku cetaknya.
Danu membelalak melihat perbuatannya yang tercela itu. Buru-buru ia menghapus tulisannya. Untung saja ia menulisnya dengan pensil, jadi ia dengan mudah menghilangkan jejak kesembronoannya.
Pulang dari lab bahasa, hati Danu masih saja tidak karu-karuan. Ia membereskan tasnya sambil matanya melirik ke bawah, ke arah laboratorium resep.
Danu sadar jika perkataannya pada Pradita itu tidak enak untuk didengar. Jika posisinya sedang tidak bermusuhan, mungkin ia bisa berkata apa saja yang ia mau, tapi masalahnya ini mereka sedang bersitegang. Pradita pasti semakin kesal padanya.
Danu harus meminta maaf. Sebagai seorang sahabat seharusnya menolong sahabatnya saat tidak membawa labjas, bukannya mengejeknya. Bara si cowok menyebalkan malah bergerak cepat dengan menjadi pahlawan bagi Pradita.
Nilai Danu di mata Pradita pasti semakin menurun. Ah, habislah riwayatnya. Apakah Pradita masih mau berteman dengannya jika sikapnya seperti ini terus?
"Nu, kamu lagi apa?" tanya Arini mengagetkannya.
"Eh, Arini. Aku lagi beres-beres tas," ucap Danu sambil menyeletingkan tasnya dengan baik dan benar.
"Oh, aku pikir kamu lagi ngelamun," ucap Arini sambil cemberut.
Danu terkekeh. Arini bener sih, tapi ia tidak mungkin mengakuinya. "Eh, Rin. Kamu belum pulang?"
"Belum. Tadinya aku mau ngobrol sama kamu, tapi kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu. Pasti lagi mikirin Dita ya?" tebak Arini yang lagi-lagi memang benar.
"Uhm … gak juga." Danu terkekeh salah tingkah sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Aku … aku juga mau ngobrol sama kamu."
Mumpung sekalian Arini ada di sini. Ia harus berbaikan dengan cewek itu.
"Oh," ujar Arini sambil mengaitkan rambutnya ke kupingnya dengan sikap yang manis. Ia tersenyum malu-malu.
Jujur saja, baru kali ini Danu sadar kalau seharusnya perasaannya pada Arini jangan sampai berubah. Arini terlalu manis untuk diabaikan apalagi dilupakan. Bukankah sejak awal Danu memang menyukai gadis itu?
Baiklah, kini alasannya untuk menyukai Arini semakin kuat. Arini memanglah gadis tercantik segedung sekolah ini.
"Ya, Rin. Aku mau minta maaf karena kemarin ini aku udah bersikap kasar sama kamu. Maafin aku ya," ucap Danu tulus.
Arini terkekeh pelan. "Iya, gak apa-apa, Nu."
"Jangan marah ya, Rin. Kemarin itu aku cuman kesel aja sama Pradita."
"Aku udah gak marah lagi sama kamu kok. Beneran," ungkap Arini.
"Syukurlah. Aku kesel kemaren soalnya si Pradita malah jalan sama Bara. Yang aku tahu, Bara itu bukan cowok baek-baek. Sebagai seorang sahabat, aku kan harus mengingatkan dia. Aku gak mau kalau sahabat aku sampai terjerumus sama cowok ngaco kayak si Bara itu."
Arini menautkan alisnya tidak setuju. "Kenapa kamu bilang gitu soal Kak Bara? Dia kan cowok yang baik."
Nah, mulai deh. Arini pun malah membela cowok menyebalkan itu.
"Yaaaa, kamu kan gak tahu si Bara itu cowok yang kayak gimana. Ceweknya kan banyak di mana-mana. Si Pradita itu cuman bakalan jadi maenannya dia doang."
Arini melebarkan matanya. "Ah, masa sih? Aku pikir Kak Bara itu orangnya baik dan sopan kok."
"Kalau aku?" Danu menunjuk dirinya. "Gimana penilaian kamu tentang aku di mata kamu?"
Arini jadi tampak salah tingkah. "Eehh … eehh … Kamu … kamu baik kok," ucap Arini terbata-bata.
"Baik doang?"
Arini mengangguk sambil menggaruk-garuk pelipisnya. Wajahnya tampak memerah bagaikan tomat matang.
"Iya abis apa dong?"
"Gak tau." Danu terkekeh. "Kamu masih mau kan temenan sama aku?"
"Kenapa gak?"
Danu tersenyum. "Ayo, kita pulang bareng lagi yuk."
"Ayo."
Arini berjalan di sebelahnya sambil meremas tali tas di bahunya. Ia menundukkan kepalanya memperhatikan jalanan. Danu sampai khawatir jika kepala Arini bisa terjedot tembok jika ia melihat terus ke bawah. Namun, tenang saja, Danu tidak akan membiarkan Arini sampai benjol kepalanya.
Mereka sama-sama turun tangga dan kemudian Arini menoleh padanya.
"Nu, aku agak laper. Kita jajan ke kantin yuk," ucap Arini.
Danu jadi teringat saat ia dan Arini jalan-jalan ke mall. Mereka makan di makanan siap saji dan Danu yang harus membayarnya, sementara Arini malah membuang-buang nasinya. Entahlah, sepertinya Danu masih belum bermodal untuk memiliki seorang pacar.
Sebaiknya ia jujur saja pada Arini.
"Rin, uang jajanku tinggal dua ribu lagi. Seribunya untuk bayar angkot," aku Danu.
Arini menolehnya dan kemudian tersenyum. "Aku traktir ya. Kamu mau jajan apa, Nu?"
"Eh, jangan dong. Aku kan jadi gak enak sama kamu," tolak Danu gengsi, padahal ia juga ingin ditraktir. Jika Pradita yang mentraktir, tidak pernah sekalipun juga ia menolak.
"Gak apa-apa. Aku yang bayarin."