Ray Pov
Pantulan dari cahaya bulan merembet masuk ke beberapa sisi ruangan yang sengaja aku biarkan tanpa penerangan. Kepalaku dipukul persoalan, penuh rasanya. Apa yang diramalkan Sam mulai terjadi. Di mana Rain sudah beranjak dewasa, dia akan merasa semakin benar dalam setiap keputusan yang diambilnya. Kebebasan yang Rain inginkan hanya akan membuatnya jauh dariku. Aku tidak akan pernah melupakan pelajaran hidup itu yang berubah menjadi kenangan pahit.
"Lagi mikir apa Ray?" sapaan lembut yang terdengar dekat. Selene sudah menempatkan diri, bersila di samping kasur. Aku tidak menyadari kedatangannya.
"Come here my angel," ingin cepat dimanja aku meraih tubuh Selene dan menempatkannya di atasku. Di tempat segelap ini pun tidak bisa menyembunyikan cantiknya wanitaku. Dia mendaratkan ciuman, mengusapkan bibirnya dengan lembut terlebih dulu yang membuatku menginginkannya. Tanganku mendekapnya erat, dia kesayanganku. Pikiranku terus beradu beriringan dengan detak jantung yang tidak berirama. Selene berhenti beberapa saat, mendapati laju nafas kami yang tersengal-sengal. Dia menatapku lama, sebelum mengecup bibirku dan beralih posisi untuk berbaring dengan lenganku sebagai alas kepalanya yang ringan.
"Kamu terlihat capek Ray," alasan itu menyudahi ciumannya, yang sedikit membuatku kecewa. Tapi yang dia katakan ada benarnya, belakangan ini kondisi tubuhku sedang tidak fit, pikiranku terkuras untuk Rain.
"Apa aku yang perlu membujuk Rain untuk mengurungkan niatnya?" Ujar Selene menawarkan bantuan,
"Dan kita lihat siapa yang akan menang dalam perang dingin selanjutnya." Kataku memperingatkan.
Perasaan nyaman bersama Selene bisa menjadi obat mujarab bagi kepalaku yang terasa pusing. Aku mengecup punggung tangannya, ungkapan rasa bahagia bisa memiliki wanita seperti Selene.
"Jadi ingat hari pertama bertemu dengan Rain."
"Aku hanya ingat bagian di mana tubuhmu berbau amis." memang tidak mudah bagi Selene untuk masuk ke keluarga kami, kata lainnya untuk diterima oleh Rain. Waktu Rain masih berada di bangku SMP, dia merencanakan sesuatu di luar dugaan. Dia menyiapkan satu ember berisi air kolam yang bau untuk menyambut Selene. Dengan dalih tidak sengaja, Rain berhasil mengelabui Selene yang hampir membabi-buta. Belum lagi kejadian lainnya yang harus Selene terima.
"Itu dia lakukan karna nggak mau kehilangan kakaknya," alasan atas sikap Rain adalah rasa cemburu jika aku dekat dengan Selene. Aku kurang paham dengan penjelasan Selene dulu, tapi karma membuatku menelan perasaan yang sama.
"Gimana kalau Rain punya pacar?"
"Bagus dong," tanpa aba-aba aku memberikan jitakan di kening Selene,
"Ouch, Ray!" seru Selene membalaskan dendam dengan menggigit lenganku.
"Okay, okay lepasin Len," ujarku manahan sakit,
"Makanya jangan macam-macam,"
"Kamu duluan yang bicara seenaknya." Balasku tidak mau kalah.
Tangan Selene menyapu rambutku lembut, memikatku untuk menatap matanya.
"Ray, kamu nggak bisa memperlakukan Rain kayak anak kecil lagi. Dia udah gede Ray, udah dewasa." Aku memejamkan mata, mencoba memproses kenyataan yang Selene ungkapkan.
"Kamu terlalu membatasi Rain. Kamu nggak kasihan apa sama dia."
Aku sadar dengan apa yang aku lakukan pada Rain. Tapi diriku yang lain mengganggap hal ini benar. Konsekuensi yang harus aku terima jika tidak memperhatikan Rain jauh lebih berat dari kekangan yang harus Rain terima saat ini. Dengan membenamkan diri di pelukan Selene, aku mulai mencari penjelasan yang tepat untuk membenarkan keputusanku.
"Aku nggak mau kejadian sepuluh tahun yang lalu terulang lagi. Gara-gara kehilangan..., kamu tahu. Rain jadi seperti itu Len. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika yang hilang itu adalah cinta yang Rain berikan pada orang yang salah." Jika ditanya apakah aku siap kehilangan Rain, jawabanku akan tetap sama. Tidak pernah sedetikpun aku membayangkan hidup di dunia yang tidak ada Rain dan Selene di dalamnya.
Selene mendekap erat memahami kesedihanku yang tidak pernah pudar, meski waktu kian berjalan meninggalkanku pada perasaan yang sama.
***
Rain, nama yang berarti hujan tapi paling benci dengan hujan. Gadis dengan penampilan feminim tapi jiwanya sekokoh batu karang. Semua yang ada di Rain berbanding terbalik dengan apa yang orang lihat dari luar.
Adik kesayanganku itu sudah seharian penuh mendiamkanku. Dia memang tahu caranya memberontak. Pagi ini dia lebih murung dari sebelumnya. Pertanda Rain sedang menyembunyikan sesuatu. Meskipun begitu tidak ada yang bisa mengganggu nafsu makannya, seburuk apapun mood-nya.
"Ray," panggilnya pelan.
"Kenapa?" Jawabku memperhatikan, menyembunyikan rasa senangku karna diajak bicara.
"Aku mau ikut pertandingan basket antar fakultas," cetusnya, membuat nafsu makanku hilang
"Nggak boleh." Kenapa bertanya jika sudah tahu jawabannya Rain,
"Aku nggak minta izin."
"Apa?" Ulangku, mungkin salah mendengar apa yang Rain ucapkan,
"Rain cuma kasih tahu kakak, bukan minta izin." Gadis ini paling bisa membuatku naik pitam,
"Kakak tetap nggak bakalan setuju." Keputusan final dariku.
"Okay," jawabnya percaya diri,
"Apa maksudmu dengan okay?" tanyaku lagi yang dibiarkan hilang di dalam udara,
Rain bergegas naik ke atas membawa tasnya. Sebentar lagi waktunya berangkat kerja dan Rain masih mengurung diri di kamar. Penolakan macam apalagi yang dia rencanakan.
"Ra, buka pintunya," aku mengetuk pintu kamar Rain perlahan,
"Aku nggak mau kuliah sebelum kakak setuju buat aku ikut pertandingan basket, T.I.T.I.K." Kalimat Rain dari balik pintu.
"Baru ditinggal ke kamar mandi sebentar, bisa nggak kalau kalian berdamai sehari saja," sergah Selene sembari menepuk pundakku.
"Dia ingin ikut pertandingan basket," jelasku singkat. Aku bisa melihat Selene memutar matanya,
"Rain nanti kamu jadi goblok loh kalau nggak kuliah. Nggak bisa kayak kakakmu, katanya mau jadi manager." Bujuk Selene lembut.
"Aku nggak belajar aja udah pintar," Rain membuat lidahku kelu, susah berkata apapun,
"Heran, dari mana dia dapat kepercayaan dirinya." cerca Selene dibarengi pandangannya padaku.
"Kamu menuduhku?" Mengerti maksud tatapan Selene,
"Buka nggak Ra, jangan kayak anak kecil Ra!" Nadaku meninggi ditambah laju pukulan tanganku yang kasar di pintu.
"Yang kayak anak kecil itu Kak Ray, yang nggak bisa lihat jelas umur berapa Rain sekarang!" Pekik Rain kali ini.
"Wow! Like brother like sister. Sama keras kepalanya?" Selene mengangkat tangan sembari melukiskan senyuman lebar.
"Sayang, bantu aku." Kataku memohon,
Butuh beberapa saat sebelum Selene mengiyakan permintaanku.
"Kamu berangkat kerja gih, biar Rain aku yang urus."
Aku memeluk Selene lama, mengecup keningnya sebelum pergi.
Pekerjaan memang tidak bisa ditinggalkan, aku punya tanggung jawab berbeda di tempat berbeda yang tentu tidak bisa diabaikan. Masalah dengan Rain ini mungkin bisa aku ceritakan pada Sam. Dia pasti tahu jalan keluarnya.
Rain
Tanganku berkeringat sejak tadi. Berbaring adalah obat yang tepat untuk menenangkan diri. Meski hanya menjadi pemain cadangan aku masih saja gugup. Lawan kami hari ini adalah anak fakultas psikologi yang kemarin menjadi juara satu. Tapi itu tidak akan terulang, di tim kami ada Intan. Karna absen dari pertandingan sebelumnya, tentu hasilnya akan berbeda bukan, pikirku meyakinkan diri sendiri.
Aku sudah diberikan kesempatan beberapa kali oleh coach Hendra di pertandingan sebelumnya. Pertandingan kali ini, harus menang. Ray, Selene dan Sam ada di bangku penonton untuk mendukungku. Selama dua minggu sebelumnya, Ray juga menemaniku berlatih di lapangan basket kompleks. Betapa bahagianya aku, berniat mengukir kenangan tidak terlupakan untuk malam ini agar semuanya tidak sia-sia.
"Rain." Panggil Luna sembari menyenggol kakiku dengan lututnya,
"Dipanggil Intan," dengan cekatan aku bergegas bangun, merenungi kalimat Luna barusan. Jika Intan memanggilku sebelum pertandingan tentu ada hal penting yang ingin dia sampaikan.
"Buruan sana." tambah Luna tidak sabaran.
Dengan sempoyongan aku mencari keberadaan Intan. Dia sedang asyik mengobrol dengan anggota tim inti, mereka yang akan menjadi bintang pertandingan malam ini.
"Hi Ra, lo siap kan?" Intan dengan ramah membuka perbincangan.
Basa-basi itu merupakan ancang-ancang dari informasi menggelikan yang dia perjelas kata demi kata. Mendengar Intan, raut mukaku seperti direnggut untuk serius, yang sedang dia bicarakan di luar kendali coach Hendra. Aku mendengarkan dengan seksama, tidak dipungkiri jika hal ini akan menjadi beban mental untuk para pemain. Dipersulit dengan keputusan coach Hendra untuk memasukkanku di babak pertama. 'For God's sake, please help me out' jeritku dalam hati.
Sorak sorai penonton terdengar sampai sini, sepuluh menit lagi pertandingan final basket putri akan dimulai. Jantungku masih biasa saja sebelum keluar dari ruang tunggu pemain. Tapi saat sampai di lapangan indoor, mataku terbelalak melihat banyaknya penonton yang mengisi hampir seluruh kursi. Kakiku rasanya berat untuk melangkah, tekanan yang diberikan mulai terasa sampai ke punggung.
Aku mengamati sekeliling, lebih tepatnya melirik para pemain lawan. Jika dibandingkan dari postur tubuh tim kami lebih unggul. Tapi kalau itu menyangkut skill, aku masih meraba seberapa hebatnya mereka. Luna dan yang lainnya terlihat sangat tenang. Berbanding terbalik denganku yang harus sakit perut di saat penting ini. Jika bisa memilih, aku hanya akan duduk di bangku cadangan sampai pertandingan berakhir. Jiwaku yang tadinya menggebu-gebu ingin memenangkan pertandingan nyatanya sudah hilang ditelan kenyataan.
"Heh, sinting lo Ra, masih sempat ngalamun," hujat Luna yang tidak tahu betapa gusar sahabatnya.
"Lepas tu jaket lo," timpalnya mengingatkan.
Kami berdiri berjajar, menunggu giliran untuk diperkenalkan sebagai pemain tim The Judge. Riuh penonton semakin menjadi. Setelah bersalaman dengan pemain lawan. Kita diberikan waktu lima menit untuk pemanasan di lapangan.
Rencananya berubah yang hebatnya aku ditunjuk menjadi point guard di pertandingan babak pertama. Semoga aku tidak bertindak bodoh yang akan mempermalukan diriku sendiri nantinya.
Kami saling menyemangati satu sama lain, sebelum memasuki area permainan. Jump ball, wasit siap melempar bola. Dengan mengatur nafas aku masih berfokus pada lawan. Bola di lempar yang sanggup diamankan oleh Intan, yang segera mengoper bola pada forward dan berbalik ke arahku. Sentuhan akhir, aku memberi passing ke arah Intan yang melakukan slam dunk pertamanya. Layaknya penonton, aku terkesima dibuatnya. Sedikit menahan diri untuk tidak bertepuk tangan. Dua point pertama buat tim kami. Teman-temanku sedang melakukan yang terbaik.
Bola berbalik arah, kita berada pada posisi bertahan, dengan sigap aku menghalangi lawan dan berhasil merebut bola. Namun celaka, handling bola yang kulakukan dipatahkan cepat. Menambah beban Luna sebagai guard. Kini lawan mampu menerobos ke dalam melakukan shooting, mencetak angka.
Sepuluh menit terakhir benar-benar kacau, aku melakukan banyak kesalahan. Handling bola terlalu sering gagal serta yang paling parah, aku gagal mengatur ritme permainan yang terkesan tergesa-gesa. Time out diminta, tim kami ketinggalan enam point. Dalam hati aku tidak berhenti mencemooh diri sendiri, ada yang salah dengan caraku bermain. Frustasi, tentu saja. Coach Hendra dengan nyaring berusaha menyemangati kami, dia memberikan kami peran berbeda untuk menjaga lawan agar tidak tembus daerah pertahanan.
"Ra, kamu istirahat dulu," keputusan tepat dari asisten pelatih, aku pun kecewa dengan performaku selama pertandingan, baru babak pertama saja sudah membawa masalah. Ditambah dengan adanya wasit sialan itu. Jelas jika ada yang melakukan carrying, terlalu jauh membawa bola di atas tangannya dan beberapa kali blocking yang dibiarkan begitu saja. Intan paling berperan menenangkan emosi timnya yang mulai terpancing oleh keputusan wasit yang terlalu memihak. Memang mental pemain nasional sudah tidak usah dipertanyakan lagi. Jadi sarannya untuk menjaga emosi saat permainan sangat tepat dikatakan sebelum pertandingan. Dia mengumpulkan kami tadi untuk memberitahu jika wasit kurang ajar itu sudah disogok oleh pihak lawan.
"Ra!" Panggil seseorang dari belakang, aku menoleh mendapati Shella yang diam-diam menyodorkan handphone-nya. Aku berpindah posisi, di mana tidak bisa dilihat oleh penonton. Mengerti maksud Shella, aku memasangkan telinga,
"Bego!' pekik orang dalam sambungan, saking bingungnya dengan siapa aku bicara, Shella memberiku petunjuk lain lewat gerakan mulutnya. Adam, orang yang barusan memakiku adalah laki-laki menyebalkan itu. Senang mendengarnya di saat seperti ini.
"Apa?" ucapku pelan.
"Gue nggak nyuruh lo buat menang!" Serunya lagi, laki-laki ini lebih garang dari coach Hendra kalau lagi marah.
"Terus aku harus apa?" Tanyaku yang sungguh tidak tahu jawabannya,
"Gue cuma pengen lo nikmatin permainan ini Ra, nggak usah berharap yang muluk-muluk biar bisa menang." Ucapnya yang merubah mood burukku.
"Thanks Dam." kataku sebelum menutup sambungan.
Aku memejamkan mata untuk meyakinkan diriku bahwa ini hanyalah permainan biasa.
'Nggak perlu menjadi juara,' kataku dalam hati.
Pertandingan babak kedua berlangsung begitu sengit, kedua kubu saling mengejar angka. Luna yang sejak tadi dilanggar beberapa kali masih sanggup bertahan. Point guard kami, Lilia menjadi sasaran para lawan. Dia bisa memberikan beberapa angka dan mengulur pergerakan lawan. Saat mau menahan lawan, sikutan keras mendarat di kepala Lilia, dia jatuh tersungkur.
"Flagrant foul!" Teriak coach Hendra yang disetujui oleh semua anggota tim. Namun wasit sewaan itu hanya menganggapnya sebagai foul, pelanggaran biasa bukan sebagai pelanggaran yang disengaja untuk mencederai pihak kami. Lilia tidak bisa meneruskan permainan, ada luka sobek di ujung bibirnya. Dalam kondisi seperti ini, siapa yang tidak marah. Inkonsistensi keputusan wasit bisa merubah jalannya permainan, yang jelas merugikan tim kami.
"Ra, masuk," perintah asisten pelatih memberi aba-aba. Entah kepercayaan diri dari mana ini yang membantuku berpikir untuk mencari cara membalas mereka. Terlebih guard dan forward lawan nampak begitu bengis di lapangan. Setelah mendengarkan strategi yang coach berikan, aku menarik Intan dan Luna sebentar, membisikkan sesuatu yang menjadi ide gilaku.
Luna yang sedari tadi terdiam mencoba menahan amarah, kini tersenyum sembari menyeka keringat yang bercucuran, mereka setuju. Intan dan Luna merupakan pemain yang tidak tergantikan dari babak awal. Aku meyakini tekad mereka akan memberikan kekuatan lebih.
Waktu kami tidak banyak, tertinggal lima belas point dari lawan dan menyisakan dua babak pertandingan terakhir. Di satu sisi, terlalu banyak komplain yang diterima wasit menguntungkan kami yang tentunya membuat dia akan berpikir ulang sebelum memberikan keputusan yang kontroversi.
Forward men-dribble bola, memberi umpan padaku, tanpa pikir panjang shooting dari tree point line mendapatkan hasil. Tiga angka diperoleh di awal pertandingan babak ketiga. Tidak mau kalah mereka juga memberikan penyerangan dengan melakukan offense beberapa kali. Serangan demi serangan kami lancarkan di daerah low post area, wilayah di bawah ring basket. Aku melihat Luna yang mendekati wasit, passing-ku mengarah ke Intan berbalik padaku yang bersiap melakukan shoot. Tentu dengan tangan lainnya menyikut dada lawan. Dia tidak roboh hanya menyeringai menahan sakit. Aku mencetak angka tanpa mendapatkan sangsi dari wasit. Luna menjalankan tugasnya untuk membuyarkan konsentrasi wasit, beruntungnya wasit umpire juga tidak memperhatikan.
Offense pertama yang baru kami berikan. Strategi berikutnya adalah 3out 2in, aku memberikan bola ke arah wing dengan Luna yang sudah bersiap. Forward kami Nick masuk pertahanan lawan, mengoper bola pada Intan yang masih dijaga dengan ketat. Dalam posisi terkunci, Intan mengoper bola padaku yang berada di luar penjagaan. Jump shoot berhasil kulakukan dari area short corner.
Mental lawan mulai terlihat memburuk, raut wajah mereka tidak sesantai tadi. Banyak dari mereka yang mendapatkan pelanggaran pushing serta blocking. Empat menit babak ketiga tersisa. Penjagaan terhadapku kian diperketat, jelas saja mereka tidak akan membiarkanku bebas. Defense mereka sangat sulit untuk diterobos, jawabannya adalah mengulur waktu. Cukup bisa membuat beberapa dari rencana mereka yang gagal.
Nick memberikan bola pada Luna, beralih padaku yang ingin melakukan jump shoot, di blok langsung oleh dua lawan yang memberikan pushing tanpa aba-aba. Tubuhku terpelanting ke belakang, membentur papan pembatas lapangan. Luna yang melihatnya maju dengan mendorong dua pemain tadi. Suasana memanas saat yang lainnya sudah tidak mau mendengarkan Intan yang berusaha menghentikan pertikaian. Dengan kekuatan yang ada, aku memaksakan diri untuk bangkit, memisahkan Luna yang masih meradang.
"Kamu nggak papa Ra?" Coach Hendra memastikan kondisiku,
"Nggak masalah coach." Ucapku sembari menahan nyeri di bahu.
Salah satu wasit umpire memberikan foul pada kedua lawan. Posisiku jatuh didahului bahu, dengan menahan nyeri aku melakukan shoot yang hanya membuahkan satu point. Meski sudah mendapatkan penanganan dengan semprotan pereda rasa sakit, bahuku masih terasa sakit. Untung saja ada waktu sepuluh menit untuk istirahat. Kita memimpin delapan angka dengan sisa waktu dua belas menit babak terakhir. Semua bisa terjadi di babak ini.
"Gila Ra, gue udah lama nggak main kayak tadi," ujar Luna disela-sela nafasnya yang terpenggal-penggal. Macam anak jalanan yang tidur di lantai, kita berdua sudah tidak tahu malu. Meski riuh penonton masih saja sama, kita melupakannya karna terlalu lelah.
"Aku boleh tidur bentar nggak,"
"Ngaco lo, siap dijadiin sate sama coach?" balas Luna dibarengi kekehannya.
Waktu cepat berlalu, pertandingan akan dimulai. Sebelum bertanding seperti tadi, aku meminta waktu sebentar untuk merundingkan rencana kekerasan bersama Intan dan Luna. Lima menit pertama kita terfokus pada strategi offense dan sisanya hanya digunakan untuk defense.
Baru saja dimulai, lawan sudah melakukan offensive three second, seorang pemain lawan berada di area tembakan bebas selama tiga detik. Bola berpindah tangan ke tim kami. Terima kasih juga karnanya aku bisa memberikan shoot hingga mencetak tree point tanpa hambatan. Selanjutnya coach memberikan arahan untuk melakukan flex offense. Intan memberikan seruan agar tim kami tetap menjaga jarak. Harus melakukan screen dengan benar serta melihat timing tepat, itu yang aku usahakan saat ini. Aku mengoper bola ke Luna yang segera diumpankan kembali, aku melihat Nick yang berada di corner, memberinya bola yang di handling baik oleh lawan.
Kami beralih posisi menjadi defense. Forward lawan yang mulai masuk area tim segera aku halangi, passing bola yang berhasil terpatahkan membuatku mengambil ancang-ancang untuk melempar bola dengan kencang ke arah Luna. Dengan sangat sengaja Luna membiarkan bola itu melewati tangannya yang mendarat dengan manis di muka salah satu guard lawan. 'Pasti sakit,' sindirku dalam batin.
Tindakan barusan rupanya tidak membuat lawan tinggal diam. Mereka kembali melakukan berbagai pelanggaran yang tentunya diberikan dukungan oleh wasit referee. Enam point berselisih di akhir babak terakhir. Kami masih memimpin dengan sisa waktu tiga menit. Tapi kami tetap waspada karna tidak mau dilanggar.
Aku memaksakan lenganku untuk memberikan tiga point tambahan yang berhasil digagalkan dengan foul, lawan menarik bajuku. Saat shoot, aku lagi-lagi hanya bisa memberikan satu tambahan point. Konsentrasiku mulai melemah, nyeri di bahu semakin menjadi.
"Lo nggak papa Ra?" Intan melihatku khawatir
"Nggak papa," ujarku selagi memaksakan senyum.
Tim lawan mampu menambah dua point. Tenaga kami untuk defense sudah hampir diambangnya.
Saat beralih menyerang, Intan menatapku sambil tersenyum, begitu tiba-tiba terdengar peluit tanda terjadinya pelanggaran. Aku yang masih tertegun, hanya bisa melihat Intan terjatuh menimpa forward lawan. Dia memberikan luka di pelipis lawan. Seorang pemain nasional sekelas Intan, melakukan sebuah pelanggaran untuk kami. Sebetulnya aku tidak mau menangis tapi bagaimana lagi, aku tidak bisa membendungnya.
Tim lawan hanya berhasil menambah dua angka. Kami memimpin dengan angka 102, selisih tiga angka dengan mereka. Peluit tanda berakhirnya pertandingan terdengar. Penonton yang bersorak tidak lagi terdengar olehku. Waktu mulai berjalan dengan lambat, yang aku saksikan saat ini hanya teman-temanku yang bergembira. Luna dan Intan serta seluruh tim berpelukan dengan erat. Emosi seperti ini ingin aku ingat selamanya.
"Permainan yang luar biasa Ra," Ucap Intan, aku langsung memeluknya.
"Aku fans berat kak Intan," balasku sambil menangis
"Ini bocah ngomong apa?" Luna yang mendengarnya hanya menggaruk-garuk rambut. Bukan sekedar kemenangan yang aku lihat di sini, perjuangan mereka itu adalah hadiah terbesar untukku. Senang bisa menjadi bagian darinya.
***
Ray menjadi salah satu orang yang bangga padaku, disertai dengan omelan tentunya. Dia bersikeras pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan bahuku. Tidak terdengar berlebihan sebelum dia memberikan kemungkinan jika bahuku patah dan semacamnya. Selene yang mendengarkannya hanya menggelengkan kepala, untung saja jika Sam sudah pulang duluan. Jadi tidak perlu mendengarkan kebodohan kawannya sendiri.
Dari tadi aku merasakannya, tidak bisa di tahan lagi,
"Kak, aku mau ke kamar mandi dulu." Izinku pada Ray yang dibiarkan.
"Mau ditemani?" Ujar Selene menawarkan,
"Nggak usah kak," tolakku tidak ingin merepotkan.
Mereka berdua setuju menunggu di tempat parkir.
Penampakan malam di kampus itu lebih menegangkan dari film horror. Untuk kesekian kalinya aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku, dan aku terus berharap jika itu memang orang.
Walaupun jaraknya tidak jauh, tapi aku sudah merasa mengelilingi kampus. Dengan jalan yang dipercepat, aku segera menuju ke toilet dekat dengan kantin. Saat mau berbelok ada seseorang yang menarik tanganku.
Mulutku yang siap berteriak dibungkam oleh tangan hangat Adam.
"Gue cari lo ke mana-mana," terangnya sembari menarik tangan,
Jantungku yang tidak jatuh dari tempatnya masih butuh waktu untuk menjawab Adam,
"Kenapa mencariku?" balasku akhirnya.
"Gue senang Ra lihat lo tadi. Sumpah Ra, lo keren banget!" Sanjung Adam dengan memamerkan giginya.
"Thanks Adam, berkatmu." Kataku jujur. Nyatanya syarat dari cowok ini malah memberiku hadiah manis.
Aku menarik bibir, membentuk simpul senyum yang membuat Adam diam untuk beberapa saat.
"Apa masih sakit?" Adam menempatkan tangannya di bahuku, tepat di sumber rasa nyeri. Bajuku yang basah karna keringat tidak membuatku melihat rasa jijik dari raut wajah Adam, dia tetap mengusap bahuku. Tubuhku merespon sentuhannya dengan desiran hebat.
"Adam," panggilku mulai sadar dari arti perhatian Adam. Dengan tatapan yang dibuat polos, Adam membuatku menahan tawa,
"Jangan mencari kesempatan dalam kesempitan." Timpalku mengingatkan.
"Apa gue ketahuan?" Adam mengangkat tangannya, membalas dengan cengiran.
"Lo nggak nonton tim basket cowok Ra?"
"Aku harus pulang Dam." Jawabku juga merasa kecewa.
"Yah, padahal gue masih pengen lama-lama sama lo, Ra." Rengeknya yang aku anggap angin lalu, karna ada sesuatu yang lebih mendesak sekarang.
"Dam, aku boleh minta tolong?"
"Sebutin aja Ra, apapun itu demi lo." Kata gombal Adam yang aku benci,
"Antarkan aku ke toilet, please. Nggak pakai lama." Desakku yang menahan kencing dari tadi.
"Random banget lo Ra." Ucap Adam disertai dengan tarikan nafas dalam. Dia mengabulkannya, menemani sampai depan kamar mandi.
Tidak mau berlama-lama di toilet, aku segera mengambil langkah menemui Adam yang masih menunggu.
"Lo boker ya Ra? Lama banget." Tuan tidak sabaran itu ingin sekali kumaki.
"Ya ampun Dam, baru beberapa menit aja udah bawel kayak ibu-ibu."
"Gue nggak bisa sabar buat lihat lo dalam pandangan gue." kata Adam memberikan buaiannya sebagai penakluk para cewek kampus.
"Diam deh kamu." Sergahku. Bukannya merasa tersanjung sebagai perempuan, kata-kata Adam malah membuatku geli mendengarnya.
"Thanks ya, udah nemenin. Aku harus pulang."
"Bosen gue Ra, dengarin lo selalu ngomong 'aku harus pulang' terus."
"Sorry" ucapku yang tidak tahu bagaimana harus menjawab Adam.
"Lo masih belum punya salah sama gue kok Ra." Ujarnya.
Kami berjalan beriringan dalam diam. Kantin di depan yang akan menjadi tempat kami berpisah malam ini. Lapangan basket dan parkiran memiliki arah yang berbeda.
"Gue antar sampai parkiran." Kakiku terhenti,
"Janji deh, nggak bakal sampai kakak lo lihat." Adam pembaca pikiran yang baik, namun dia memanipulasiku yang tidak sanggup menolak permintaannya. Aku membiarkan Adam melakukan yang menjadi keinginannya.
"Bye Dam, thanks for everything." Pamitku pergi.
Adam menahanku dengan genggaman tangannya. Aku tidak bisa melihat ekspresi Adam dengan jelas karna penerangan yang kurang.
"Ra, lo luar biasa banget hari ini." Aku merasakan usapan lembut pada punggung tanganku, dia beralih mengecup tanganku. Beruntung jika aku tidak bisa melihat Adam dengan jelas, itu berlaku sebaliknya. Aku merasakan wajahku memanas, tentu aku paham akan terlihat seperti apa wajahku sekarang.
"Thanks." Sergahku dengan tergesa. Aku melepaskan tangan Adam, bersyukur jika aku masih bisa mengendalikan perasaanku sendiri.
Saat ingin mendekati mobil, Ray berdiri terdiam agak jauh dari mobilnya. Dari jaraknya aku yakin jika Ray bisa melihat siluet Adam dari kejauhan.
Mencoba untuk tenang, langkah santaiku tertuju padanya.
"Ayo Kak." ajakku sambil menggandeng lengan Ray,
"Itu siapa?" Ray masih melihat ke arah Adam yang tidak juga pergi,
"Teman," balasku, aku mencoba meyakinkan Ray supaya tidak curiga.
"Oh, temanmu tinggi juga ya," balasnya sebelum masuk mobil.
Dengan heran aku mengacak rambutku sendiri, nada yang Ray katakan itu terdengar janggal. Aku rasa Ray tahu jika temanku itu adalah seorang laki-laki. Apalagi yang aku inginkan, setidaknya Ray tidak membuat gara-gara.
Adam
Hampir satu semester terlampaui. Anehnya gue nggak dekat sama cewek manapun, hal yang membuat ini tambah nggak masuk akal adalah gue jadi nggak tertarik buat mulai hubungan sama mereka. Target gue aja masih belum kesampaian. Bisa dikatakan nggak ada kemajuan yang signifikan antara gue sama Rain. Saat gue merasa kalau Rain udah ada hati sama gue, besoknya dia bisa berubah drastis yang melihat gue sebagai musuh.
Setelah seminggu menimbang keputusan gue yang terkesan gegabah, gue memberanikan diri buat melakukannya. Cewek yang ada di depan gue sekarang, bahkan nggak sadar kalau dia yang sedang berputar di pikiran gue.
Raut muka seriusnya itu yang bikin gue nggak mau mundur. Sinis iya, tapi dia itu baik hati, senang merepotkan diri cuma buat bantu temannya. Gue kadang heran, kenapa nggak ada yang mau berteman akrab sama Rain, terpisah dari konyolnya gossip kalau Rain ini cewek nggak benar.
'Tuk..,tuk.' Suara ketukan pena di meja membuat gue menatap Rain yang sedang sibuk berkemas.
"Kalau cuma mau bengong, kamu bisa cari tempat lain." bisik Rain,
Terima kasih buat seseorang yang sudah jadi alasan buat pernyataan Rain kali ini. Dia nggak tahu atau pura-pura nggak tahu kalau selama tiga jam gue menemani Rain yang nggak bosen mengerjakan tugasnya di perpustakaan. Tempat kayak gini sebenarnya nggak masuk hitungan buat jadi tongkrongan. Monoton dan ngebosenin itu yang udah sejak dulu ada di pikiran gue mengenai tempat ini.
"Lo udah mau cabut?" Pertanyaan yang jelas sekali jawabannya dianggurkan begitu saja oleh Rain,
"Aku duluan Dam, bentar lagi ada kelas."
"Tapi gue mau ngomong hal penting Ra sama lo." Ujar gue pelan menahan Rain.
Pupil mata Rain membesar, buat beberapa saat dia menunggu. Celakanya, gue kesulitan buat mengeksekusi rencana yang udah gue persiapkan dengan matang. Masih dengan pikiran menjalar ke berbagai tempat gue beranjak bangun, lebih pada membeku dalam diam.
Rain menggigit bibir sebelum melihat lagi jam tangannya.
"Kita bicara nanti lagi Dam," sergah Rain yang bergegas pergi,
"Ra!" Pekik gue yang mampu di dengar seluruh orang di dalam ruangan. Semua mata tertuju pada gue yang mulai mendekati Rain. Mata Rain terbuka lebar, ekspresi kaget mendengar gue memanggil namanya dengan nada tinggi. Situasi yang membuat Rain nggak nyaman, menjadi pusat perhatian bukan seleranya. Dia memperingatkan berulang kali, tapi gue nggak punya pilihan. Di tempat favorit Rain, gue mau membuat kenangan di dalamnya.
"Ra, gue nggak punya alasan pasti yang bikin gue jatuh cinta sama lo. Tapi yang gue yakin, kalau lo adalah cewek yang gue pengen jadi pacar gue." Dalam sejarah hidup, ini kali pertama gue melakukan hal semacam ini. Lutut gue aja masih belum bisa berdamai dengan rasa gugup. Rain memeluk bukunya dengan erat.
"Would you be my girlfriend?" tambah gue, dibarengi suara bisikan dari berbagai penjuru ruangan. Jawaban yang gue harapkan kandas begitu aja. Rain memilih kabur dengan menutupi wajahnya dengan buku.
Tidak sampai situ, dia berhutang jawaban, dengan memanggil namanya berulang kali Rain tetap nggak mau mengindahkan.
"Ra!" Panggil gue ulang sembari menarik dan memblokir jalannya. Dia melihat gue dengan amarah,
"Lo kenapa sih Ra, apa ada yang salah sama pengakuan gue tadi."
"Caramu yang salah Dam," sahut Rain tanpa memikirkan perasaan gue. Dia beralih pergi dengan tergesa-gesa. Belum merasa cukup dengan masalah ini, gue tetap kekeh mencari jawaban. Seperti orang yang berkejaran, langkah gue nggak mau tertinggal oleh Rain.
"Ra, lo udah keterlaluan. Lo anggap apa gue Ra. Sampai situasi begini lo lebih milih buat masuk kelas." Jelas gue merasa disepelekan.
Rain tiba-tiba berhenti, dia melihat gue lekat, semakin membuat cemas.
"Let's talk Adam." Keseriusan Rain dalam ucapannya memberi titik terang dalam permasalahan ini.
Kami mencari tempat yang sepi buat ngobrol. Di lantai enam dekat dengan tangga adalah tempat yang dipilih Rain. Jarang orang melewati tempat ini, karna rooftop bangunan fakultas kami sengaja ditutup. Nggak ada orang yang mau bersusah payah buat datang ke tempat ini dengan menaiki tangga.
"So..," kata gue mengawali.
"Jawaban lo gimana Ra?" Tambah gue menuntut kepastian.
"Sorry Dam, but I have to turn you down. Aku nggak bisa menerima cintamu." Sebegitu entengnya Rain mengungkapkan penolakannya membuat gue sesak. Berfikir jernih, jauh sekali dari kata itu.
"Lo punya alasan Ra, buat nolak gue?" gue memastikan kembali,
"Aku nggak bisa pacaran Dam. Kakakku bakalan kecewa banget kalau aku punya cowok, dan aku nggak bisa lihat kakakku kecewa."
'Alasan paling bodoh yang pernah gue dengar!' Teriak gue dalam hati.
"Terus gimana dengan perasaan gue Ra?!" Rain terdiam meski pandangannya nggak pernah lepas,
"Lo nggak mikirin perasaan gue?" Tanya gue kembali.
"Dam please. Jangan buat aku merasa bersalah."
"Lalu gimana dengan perasaan lo sendiri. Lo nggak ngerasain apapun kalau dekat sama gue Ra?" Pertanyaan gue barusan membuat Rain berpaling. Memilih menatap jendela besar, membelakangi gue.
Penolakan Rain lebih menyiksa dari pikiran gue sendiri. Menyerah bukan pilihan, gue harus memastikan sesuatu. Benak gue menguasai, tangan gue menarik pinggang Rain. Dalam dekapan, perlahan gue mendorong badan Rain sampai membentur tembok. Tangan kiri gue masih melingkar di pinggangnya, sedangkan tangan yang lain menyusup disela-sela rambut Rain yang terasa lembut. Nggak ada jarak lagi antara kami, hanya wajah kami yang berjarak beberapa senti.
"Apa lo masih nggak ngerasain apapun?" Sinyal bahaya itu berasal dari gue. Jantung gue berdetak lebih cepat, entah berapa lama lagi gue bisa menahan diri.
Gue lebih tertarik sama bibir Rain, penasaran dengan rasanya kalau gue bisa cium Rain di bibirnya. Hasrat gue mengambil alih memaksa kewarasan gue buat melakukan hal yang udah gue pendam.
"Stop." kata Rain lemah, sesaat sebelum gue mau mencium wanita itu.
Matanya memerah, pukulan keras buat insting gue yang segera mundur. Dengan melangkah menjauh, gue melepaskan Rain dalam pelukan.
"Ra gue..," belum sempat menyelesaikan permintaan maaf, Rain mengambil langkah pergi. Meninggalkan gue dalam kebingungan.
Gue juga butuh waktu buat menenangkan diri. Rasa muak saat Rain selalu membawa nama kakaknya di setiap keputusan yang harus dia lakukan kembali muncul. Darah gue mendidih dibuatnya. Hubungan kakak beradik yang satu ini terlalu memberi pengaruh pada Rain. Jika Rain nggak mau melakukan hubungan di belakang kakaknya, maka gue akan melakukan sebaliknya. Ambisi memberikan ide yang bisa dicerna baik oleh akal gue.