Rain
Guratan pena membantu mencurahkan apa yang menjadi ganjalan di hatiku, bukan seperti diary. Hanya saja ini tulisan yang bisa aku buang setelah menulisnya, itupun kalau tidak lupa. Sejak dulu hal tidak berguna ini sudah menjadi kebiasaan, obat penenang diri bagiku. Kata-kata yang tak sanggup aku ungkap di hadapan orangnya langsung, semua ada di atas kertas ini.
Jika menghitung hari, satu minggu lebih aku tidak melihat Adam. Keberadaannya bagaikan ditelan bumi, sepi juga tidak ada Adam yang bawel. Untuk kesekian kali aku mendengus.
"Ra, ayo makan di luar!" Ajak Selene dengan wajah sumringah, meski dia sudah lancang masuk ke kamar tanpa mengetuk.
"Yes!" Seruku tidak kalah senang, melupakan sikap Selene barusan.
Tidak sabar menuju restaurant langganan kami, aku menyempatkan diri untuk merenung, membayangkan makanan favoritku. Ini semua ide Selene, dia sedang malas memasak. Ray memang tidak adil, dia selalu menuruti setiap keinginan Selene. Andai saja aku memiliki separuh dari kemampuan Selene dalam membujuk orang, pasti hari-hariku akan jauh lebih baik.
"Hey!" Seru Selene, orang yang baru saja menempati benakku.
"Anak ini pikirannya ke mana, kebiasaan," cercanya tanpa ragu,
"Udah sampai Ra." Ray menimpali.
Tanpa mengindahkan Selene, aku memandu jalan mereka, tahu spot yang bagus di tempat ini yang ternyata ditempati orang. Ada tulisan reservasi di atas meja.
"Tunggu apa lagi Ra?" Ujar Selene menyalip. Lagaknya bagaikan ratu yang sedang menempati singgasana, duduk di tempat yang aku maksud. Dengan isyarat tangan dia menyuruh Ray dan aku untuk duduk menemaninya. Ternyata Selene sudah memesan tempat ini terlebih dulu.
Ray duduk di sebelah Selene seperti biasa, dan aku makin terlihat seperti orang ketiga yang tidak diinginkan, mengambil tempat di depan Selene. Sebenarnya ini adalah restaurant kesukaan Selene. Meski tidak dapat dipungkiri jika makanan yang mereka suguhkan bukan yang sembarangan. Mulai dari rasa khususnya porsi, sangat terjamin.
Bangunan ini sudah bersolek dengan interior lampunya, untuk pajangan mereka tidak memasang banyak yang memberikan kesan simple nan elegan. Pemandangan dari bangunan tinggi ini juga memanjakan mata, aku bisa melihat lampu yang berpijar dari bangunan-bangunan lain di luar. Sesaat pupilku beralih fokus pada pantulan jendela yang menampilkan dua orang di hadapanku.
"Apa yang kalian lakukan." Ujarku menghentikan Selene yang ingin mencium Ray. Berciuman boleh, tapi tidak di tempat umum, benakku menghardik.
"Kamu ini Ra, ganggu aja!" Cekungan sendok mendarat keras di atas kepalaku.
"Aww," rintihku lirih,
"Selene, don't." Ray mulai membela yang langsung mendapat tatapan tajam dari kekasihnya.
"Kamu ini berpihak pada siapa?" Tanya Selene menanti jawaban,
Aku juga tidak kalah penasaran dengan jawaban Ray.
"Rain." Balas Ray tanpa ragu, membuatku berteriak senang di dalam hati.
Selene kalah telak jika menyangkut siapa yang paling Ray sayangi di dunia ini. Dengan menahan kesal, Selene hanya terdiam sembari meminum air putih yang sejak tadi dibiarkan.
"Kalau Rain punya pacar. Apa jawabanmu bakalan sama Ray?"
"Nggak akan, lagian aku nggak mau Rain punya pacar." Balas Ray tegas,
"Ya, kalau kamu mau adikmu jadi perawan tua sih nggak masalah." Ledek Selene yang menurutku lucu. Perbincangan yang biasanya serius jika hanya bersama dengan Ray mendadak berubah. Selene memang cerdas dalam segala hal. Jika hanya untuk mencairkan suasana dia jagonya. Gurauannya tidak terkalahkan.
Disela-sela makan malam, aku menceritakan banyak hal yang terjadi di kampus. Tapi sayangnya, tidak ada di dalam ceritaku yang menyebut nama Adam. Terdengar tidak adil bagi laki-laki itu, namun aku tidak punya pilihan. Rasanya sangat disayangkan jika aku menjadi orang pertama yang merusak suasana.
"Ra, kamu tahu akhir-akhir ini ada perempuan yang mencari masalah denganku." Curhat Selene dengan sewot. Cerita ini tidak memiliki pembukaan, memang kami sangat suka bicara tanpa alur.
"Bukannya udah biasa ya, kalau Ray banyak yang suka," responku nampaknya membuat Selene semakin bersemangat bercerita.
"Kalau sebatas mengagumi masih biasa, tapi kalau udah terang-terangan menyatakan perasaan. Itu udah nggak bisa dibiarkan. Lagian tu cewek gatel udah tahu kalau kita tunangan."
"Kan aku udah bilang dia itu cuma teman." Potong Ray,
Selene berhenti makan. Tatapannya hanya penuh amarah, membuatku berdoa untuk diselamatkan dari perang antara mereka berdua.
"Yes your friend, and I will destroy her." Ancam Selene sembari memberikan isyarat lain, menyayat lehernya dengan jempol.
Bukannya takut Ray malah mengacak-acak rambut Selene, sebelum mendaratkan kecupan manis di pipi Selene dengan mulut penuh makanan.
Mereka terlihat bahagia yang membuatku iri. Cara Ray memandang Selene bagiku sangat luar biasa, aku bisa merasakan cinta di sana. Apalagi dengan cara Ray memperlakukan Selene. Akankah ada orang yang sanggup memperlakukanku sebagaimana Ray mencintai Selene. Anganku kembali diperas untuk menerka masa depanku sendiri. Tidak ada yang pasti, itu yang aku tahu. Keinginan seseorang bisa saja ditolak ataupun diterima oleh hidup di waktu yang ditentukan.
***
Waktu sedang mempermainkanku sekarang, perannya yang penting dalam hidupku sedang dimulai. Tadinya aku mengira Ray menginjak rem mobil untuk menghindari kucing lewat. Namun saat aku melihat ke depan lewat kaca mobil, betapa terkejutnya aku mendapati seseorang yang sedang berdiri menunggu di depan gerbang rumah kami.
'That's Adam!' teriakku dalam hati. Pertanda buruk, meski pikiran mulai bercabang namun kakiku tidak mengikuti apapun perkataannya, lebih memilih untuk menghampiri Adam.
"Ra, ajak temanmu masuk!" Pekik Selene dari dalam mobil.
Dengan senang hati aku mengiyakan perintah Selene. Sebelum mobil Ray terparkir rapi di garasi, aku bisa melihat ekspresi tidak senang dari kakakku. Aku menepis semua pikiran negatif saat ini,
"Dam, kenapa kamu ada di sini?" Tanyaku yang memang tidak tahu maksud kedatangannya.
"Buat ketemu lo Ra." Balas Adam.
Dia menarik sedikit daguku dengan tangannya yang dingin, yang bisa aku lakukan saat ini adalah menggenggam tangannya. Sudah berapa lama Adam menunggu, masih menjadi pertanyaan yang enggan aku tanyakan.
"Ayo masuk." Ajakku.
Pintu sengaja dibuka, aku melihat Adam sekilas sebelum masuk.
Ray duduk di ujung sofa, menyandarkan punggung sembari menyilangkan kaki. Berbeda dengan Selene yang terlihat lebih senang saat melihat Adam. Dia mengambil tempat agak jauh dari Ray. Kami berdua yang duduk berhadapan dengan mereka, merasa seperti penjahat yang menunggu untuk diadili.
"Kamu mau minum apa?" Ujar Selene berbaik hati.
"Apapun." balas Adam singkat.
"Okay, apapun." Ulang Selene.
Sikap ramah Selene tidak disambut baik oleh Ray. Dia mendapatkan kerutan dahi dari Ray,
"Apa?" Ejek Selene sembari pergi ke arah dapur.
Masih mencoba mencari posisi duduk yang nyaman, aku belum bisa berhenti bergerak. Tidak demikian dengan Adam yang terlihat begitu tenang, mulai dari sikap dan mulutnya.
"Kita pernah bertemu sebelumnya bukan? Di tempat parkir, sebanyak dua kali." Jelas Ray, yang sangat baik dalam mengingat orang.
Nafasku tercekat, menanti kalimat demi kalimat yang dilontarkan kakakku. Aku tidak ingin ada hati yang terpatahkan malam ini.
"Ra, bantu kakak buat minum!" Pekik Selene dari kejauhan.
"Nggak mau!" Balasku, masih tetap ingin di samping Adam,
"Apa katamu?!" Nada geram malah aku dengar dari Selene. Jika tidak menuruti maunya, situasinya akan semakin parah. Tidak dipungkiri jika aku membutuhkan campur tangan Selene di setiap masalah pelik dalam hidupku, seperti saat ini.
Aku melihat Adam yang tersenyum sembari mengangguk, dengan berat hati aku menuruti kemauan Selene dan meninggalkan Adam berdua dengan kakakku.
Selene terlihat sibuk mengaduk teh di meja makan. Tidak ada yang bisa aku bantu di sini, dia melakukannya sendiri. Aku rasa bantuan yang dia maksud adalah dengan menjawab segala rasa ingin tahunya tentang Adam.
"He's hot." Komentar pertama Selene tentang laki-laki itu,
"You're right." Kataku pelan
Selene berhenti melakukan apapun, dia menyandarkan kaki sembari menatap penuh arti.
"Dari sekian banyak cowok yang suka sama kamu Ra, dia satu-satunya yang berani datang ke rumah langsung. It takes a lot of guts."
"Or stupidity," sanggahku kurang setuju.
"Itu caramu buat menyemangati laki-laki yang ada di depan sana, yang lagi berhadapan sama abangmu?" Selene membuatku terdiam,
"Ayolah Ra, siapa yang mau kamu bohongi." tambah Selene yang menyadari sesuatu dariku.
"Just help him out of here." Pintaku yang dibalas senyuman dari Selene.
Selang beberapa menit obrolan kami di dapur nampaknya perlu diakhiri. Kami menghampiri Ray dan Adam. Situasinya masih sama, hening dan mencekam.
"Jadi apa yang sedang kalian bicarakan?" Tanya Selene mencoba memecah suasana yang sedingin bongkahan es.
"Nothing." jawab Adam dengan senyumnya.
Aku dan Selene saling memandang, tanda sedang memikirkan hal yang sama.
"Aku harap kamu suka dengan minuman buatan Selene." Kataku berbasa-basi.
"Kenapa nggak Ra, pasti enak." Puji Adam yang disambut gembira oleh Selene.
Aku ingin menghajar kepribadian Selene yang ekspresif, kesenangannya mendengar sanjungan akan memperkeruh mood Ray.
"Jadi apa maksudmu datang kemari." Nada bicara Ray terdengar lebih tua dari umurnya sendiri. Dia terdengar seperti seorang ayah.
"Saya hanya ingin mengatakan kepada anda, bahwa saya mempunyai perasaan pada Rain." Ucap Adam, tepat di depan Ray.
Perkataan tanpa aba-aba itu membuatku membeku, berbeda dengan Selene yang tersedak dengan minumannya.
"Apa katamu?" Ray masih bisa mengendalikan diri. Aku anggap itu nilai plus dari Ray yang sudah dewasa. Ray beralih pada Selene, membantunya dengan mengusap punggung. Sikap kalem kakakku jauh berbeda dari yang aku bayangkan.
"Saya bisa mengulanginya." balas Adam. Ini kali pertama bagiku mendengarkan Adam bicara begitu formal.
Tatapan Ray kembali ke arah Adam. Senyumnya yang kecut tersirat jelas.
"Rain mempunyai jawaban yang sama denganku mengenai perasaanmu. Benarkan Rain?" tanya Ray, menunggu persetujuan.
Bodohnya jika tidak terpikirkan olehku sebelumnya, Ray akan menggunakan cara ini untuk menolak Adam, membuatku menjadi orang pertama yang harus mengambil keputusan.
"Mau aku katakan sekarang jawabannya?" Tambah Ray dengan rasa kepercayaan diri di atas langit.
"Ray, kasih waktu buat Rain menjawab." Selene menengahi,
"Dia nggak butuh waktu Len." Ketegasan Ray berhasil membungkam Selene.
"Katakan Ra," timpalnya.
Adam melihatku. Tanganku terasa kaku, bibirku seperti di lem untuk mengatakannya langsung, bahkan untuk menatap mata Adam pun aku tidak berani.
"Sorry Dam aku tetap nggak bisa." Jawabku pelan yang mampu didengar Adam.
Keheningan kembali mengisi ruangan. Adam hanya menatap tangannya yang kosong.
"Kalau begitu saya pamit dulu. Sepertinya saya salah datang kemari. Maaf sudah mengganggu malam anda." Adam terburu-buru pergi.
Saat mau mengejarnya, Ray menarik tangan untuk menghentikan gerakku.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku perlu bicara sama Adam kak, please." Permintaanku dikabulkan, Ray melonggarkan genggamannya.
Laju langkah Adam begitu cepat, aku hampir terjatuh.
"Dam dengarkan aku." Kataku memohon perhatian,
"Adam, ayo bicara sebentar" Adam masih kekeh menghindar, dia hampir masuk ke mobilnya. Melihat itu aku menarik Adam menjauh dari ujung pintu, refleks tanganku menutup pintu mobil Adam. Dia membalikkan badan, masih belum mau melihatku yang sudah membuatnya terluka.
"Maafkan aku Dam, maafkan aku. Mungkin sejak awal seharusnya kamu nggak pernah dekat sama perempuan sepertiku." Aku hanya bernyali untuk menarik kemeja Adam. Kami berdiri dalam diam sampai akhirnya Adam mau melihatku lagi. Rahangnya sudah tidak mengeras seperti tadi, dia jauh terlihat tenang.
"Ini pilihan gue Ra. Meski lo pikir, buat jadiin lo pacar gue itu bagaikan menulis di atas kertas basah yang sia-sia. Tapi bagi gue nggak Ra. Gue bisa dapatin lo dan gue yakin itu Ra." Perkataan Adam membuatku gagal untuk tidak menangis. Aku yang membuatnya terluka masih mau dipertahankan oleh Adam. Perasaan bersalah yang mengikutiku tidak bisa dibendung. Hujatan untuk diriku sendiri kian menjadi.
"Sorry Dam, sorry." Kata yang hanya bisa aku sampaikan untuk mengartikan perasaanku.
"It's okay Ra." Ujar Adam beralih memelukku.
Dengan erat aku membalas pelukan Adam, membenamkan diriku di dalam dekapannya. Aku sadar, jika sudah terlalu keras mendorong Adam menjauh selama ini. Rasanya hatiku tidak bisa lagi mengikuti pikiranku.
Adam
Perasaan baru kemarin kaki gue gemetar menahan takut. Keputusan gue yang bodoh nyatanya menjadi omong kosong semata. Gue menarik diri buat nggak di samping Rain selama beberapa minggu terakhir. Tengsin kalau harus berada di sekitaran orang yang udah menolak gue.
Buat cari hiburan tawaran Paul langsung gue ambil, kita berbagi hobi yang sama. Gunung Halimun, tempat kami menapakkan kaki, dia menunjukkan pesonanya sebagai alam yang menyejukkan. Udara yang dingin serta pemandangan hijau sejauh mata memandang, nggak dipungkiri jika alam itu menenangkan.
Berbeda dari Paul, gue lagi nggak berniat buat ikut track dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Gue lebih tertarik sama tantangan downhill, buat uji adrenalin. Mereka juga punya yang seperti itu, tapi memang perlu persiapan yang lama buat menjaga keamanan peserta. Beberapa kamera dipasang di ranting-ranting pohon sepanjang jalur. Takutnya jika ada peserta yang kecebur sungai tanpa ada orang yang tahu. Sambil menunggu petugas buat melakukan pekerjaannya, gue memulai pemanasan bersama dengan beberapa orang lainnya.
Tenaga Paul mungkin lagi diuji sekarang, jarak tempuh 35km itu nggak gampang buat ditaklukkan, tapi gue yakin anak itu bisa.
"Boss bentar lagi dimulai ya." Kata salah seorang petugas kepada kami.
Merasa cukup dengan pemanasan singkat, gue beralih mendengarkan penjelasan petugas mengenai medan yang akan dihadapi. Segala bentuk alat pengaman seperti helm dan deker menjadi benda wajib yang akan diperiksa oleh petugas. Tarikan nafas gue memberi separuh kepercayaan sama sepeda yang gue tunggangi, meski bukan turnamen tapi jalur ini nggak kalah menarik. Gue melihat ke arah para peserta, ada seseorang yang menarik perhatian gue. Mulai dari caranya menaiki sepeda aja udah sangat berbeda dari yang lain.
'Sepertinya gue kenal,' ucap gue dalam hati.
Terompet tanda permainan dimulai menggema di seluruh penjuru. Gue mengayuh sepeda dengan pelan, jelas pelan karna turunan tajam menanti. Kontrol gue harus seimbang untuk mengatur posisi badan, menyelaraskan kondisi jalur, apalagi saat menuruni jalur bebatuan.
Gue makin bisa merasakan goncangan, kecepatan sepeda gue bertambah. Rasanya jika gue meleng sedikit, badan bisa babak belur karna terbentur batu. Rasa takut itu ditelan oleh semangat gue yang mendera. Waktunya menunjukkan keterampilan gue dalam shifting, jempol ini masih selaras sama cara otak gue bekerja. Dengan kesadaran penuh gue mengatur perpindahan gir besar buat menambah kecepatan. Jalur track menuntun gue ke arah belokan tajam, di sini kendali gue berada pada jari telunjuk dan tengah yang melekat tepat di tuas rem. Agar terhindar dari kecelakaan, gue memadukan penggunaan rem depan dan belakang. Jika cuma bergantung pada rem belakang, sepeda gue bakalan oleng, tapi jika rem depan aja yang gue gunakan bisa dijamin nyungsep langsung ke depan.
Gue mulai menempuh jalan landai, seseorang menyalip dengan kecepatan tinggi. Konsentrasi gue sempat buyar begitu terkesima sama kemampuan orang tadi. Orang yang sama yang menarik perhatian gue di garis awal.
"Goblok!" Maki gue sendiri yang hampir nggak bisa menghindari batu besar di depan. Menghentikan sikap konyol gue yang mencari mati, konsentrasi gue jaga lagi. Jalurnya semakin ngeri, di depan hanya ada tanah padat dengan batu-batu besar. Manuver melewati terjalnya jalan beberapa kali gue lakukan. Sampai pada akhirnya gue harus melewati jalur bebatuan licin yang merupakan bagian dari track. Batunya terlihat berlumut, ada seorang peserta yang duduk di pinggir jalur, dia korban yang baru saja terjatuh. Dengan kecepatan normal gue mengayuh sepeda, menghindari celaka.
Tanjakan dengan akar pohon sebagai penghalang memberikan sensasi debu dari pengendara lain yang bisa ditepis oleh kaca mata gue. Setelah tanjakan ini, menyisakan satu track ganas yang menuju garis finis. Turunannya cukup curam dengan belokan yang banyak. Saat mendekati belokan dengan cepat, klit di sepatu gue tiba-tiba lepas, karna panik gue terlambat menarik rem. Badan gue oleng ke luar jalur. Tubuh gue berguling di atas semak-semak yang rimbun. Saat ingin berdiri kembali siku gue linu bukan main, gue butuh bantuan. Beberapa menit kemudian petugas menghampiri gue dalam keadaan lecet disekujur kaki yang nggak terlindung deker tentunya.
Petugas membawa gue ke gubuk kayu terdekat. Petugas medis memberi pertolongan pertama, sebelum pergi meninggalkan gue sendiri buat beristirahat. Ceroboh jika lupa mengganti klit di sepatu, gara-gara itu gue harus bonyok menahan luka di badan. Gue membaringkan badan sejenak, mengatur nafas yang masih berkejaran.
"Adam!" Lengkingan suara kencang itu membuat gue terperanjat.
"Perusuh." Ujar gue pelan sebelum duduk dan melihat orang yang memanggil.
Orang itu menyeka keringatnya sembari menahan batuk akibat lelah.
"Rain?" Tanya gue bingung. Apa yang bisa membuatnya berada di sini. Dia masih mengambil nafas besar selagi mendekat.
"Minum?" Gue menawarkan sebotol penuh air. Nampaknya Rain nggak mengindahkannya, dia mengamati tubuh gue dari atas sampai bawah.
"Kamu gila ya?" Rain meletakkan kedua tangannya di pipi gue.
"Dasar bodoh, kenapa kamu ikut olahraga semacam ini Dam. Sejak tadi aku memperhatikanmu, ngeri banget rasanya."
Mungkin yang Rain maksud melihat dari layar yang sengaja disediakan di base camp buat memantau semua peserta dan mengantisipasi adanya kecelakaan.
"Berarti lo lihat betapa kerennya gue kan, Ra."
"Nanti kalau kamu mati konyol gimana?" Sergah Rain
"Gue nggak bakal sebodoh itu Ra, mati cuma gara-gara sepedaan kayak gini."
"Gimana kalau kamu yang dibuat bodoh oleh hidup dan mati begitu saja karna jatuh dari sepeda, kita nggak bakal tahu Dam." Rain masih bisa menjawab.
Gue mengartikan kebawelan Rain sebagai perhatiannya yang lebih ke gue. Ini kali pertama dia mengomel panjang lebar. Belum mau membalas Rain, gue malah tersenyum merasa senang. Rain lagi khawatir, tangan gue menarik panggul cewek itu, membuatnya berada dalam pangkuan gue. Rain nggak menolak sama sikap gue yang biasa dia artikan lancang.
"Lo peduli Ra?" Tanya gue sembari melihat wajah Rain dari jarak dekat, lagi-lagi jantung gue berulah, berdetak tanpa tempo yang normal.
"Nggak." Rain memalingkan pandangannya.
"Nggak sopan tahu, kalau diajak bicara itu lihat orang yang ngajakin lo bicara. Emangnya pohon itu lebih ganteng dari gue?" Protes gue kini, merasa kebiasaan Rain itu cukup menyebalkan,
"Biarin," sergahnya,
"Rain," ucap gue pelan. Perlahan tangan kanan gue meraih pipi Rain, mengarahkan wajahnya buat gue pandang. Gue bisa melihat pipi Rain yang memerah. Apalagi yang bisa gue artikan dari ini.
'Apa gue berhasil?' Tanya gue dalam hati.
"Aku cuma nggak mau kamu melihatku sekarang." Kata Rain yang gue anggap jujur,
"Tolol." kata gue beralih menatap bibirnya yang menggoda. Gue mempererat tangan sembari memeluk Rain sebelum menghadiahi ciuman di bibirnya. Rain membuka mulut menyambut ciuman gue. Desiran hasrat yang gue tahan mendorong keluar. Gue nggak sanggup lagi menahannya, anggap aja Rain udah jadi milik gue.
Gue mengulum bibir bawah Rain, dia melakukan sebaliknya. Tangan kanan gue mendorong Rain lebih dekat, insting bedebah gue mengambil alih. Menurutinya, gue memberikan dorongan pada ciuman ini. Seperti yang gue bayangkan, kalau bibir Rain itu lembut membuat gue nggak mau melepasnya. Terjebak dalam gairah yang gue ciptakan, gue menyelipkan lidah buat mencium Rain. Seketika Rain mendorong tubuh gue.
"Adam." Katanya menghentikan. Itu peringatan bagi gue buat bisa menahan diri yang bakalan sulit dilakukan.
"Sorry Ra, gue..," nggak sanggup meneruskan ucapan gue sendiri, gue mengambil cara lain dengan memeluk Rain, membenamkan kepala gue di lehernya yang jenjang, nggak kalah indah. Gila, ciuman barusan membuat gue lupa sama rasa perih yang gue rasain, yang parahnya lagi udah nggak peduli sama kondisi tubuh gue yang basah keringat.
"Ra kaki gue." cetus gue pelan,
"Kenapa?" Rain berdiri kemudian jongkok di depan gue sembari memperhatikan luka lecet di beberapa tempat.
"Cuma kesemutan doang."
"Aku berat ya?" Pertanyaan itu gue balas dengan gelengan kepala. Takut jujur, nanti dia malah marah, suasananya jadi nggak romantis lagi.
"Kita pergi ke rumah sakit yuk." Tambahnya lagi.
"Yaelah Ra cuma luka ringan." Sanggah gue yang paling ilfeel sama tempat itu karna baunya. Jadi buat acara pergi ke rumah sakit kalau bisa akan gue hindari.
Rain kembali duduk di samping gue, dia menyelipkan rambut pendeknya di telinga. Masih dalam diam gue menunggu penjelasan Rain buat ciuman tadi, atau gue yang harus memulainya.
"Ra," panggil gue akhirnya
"Hmm," gumannya menjawab
"Lo milik gue kan?" gue ingin memastikan.
"Yes, I do love you." Pengakuan Rain barusan terkesan begitu tiba-tiba. Cewek yang sanggup bikin gue jatuh bangun pada akhirnya menerima gue.
"Gue nggak dengar Ra, bisa lo ulangin." Permintaan gue barusan disambut toyoran di mulut,
"Nggak mau, malu, lagian kamu juga nggak tuli" balasnya yang kini balik memandang gue.
"Lalu, gimana sama kakak lo?" Tanya gue ragu,
"Itu akan menjadi urusanku Dam, yang aku tahu sekarang hanyalah mengikuti apa yang menjadi keinginan hatiku. Aku juga ingin milikin Adam." Penjelasan Rain barusan membuat jantung gue berdebar kencang. Gue nggak menyangka Rain punya bakat jadi cewek romantis.
"Apa lo pernah bayangin buat ciuman sama gue Ra?" Pertanyaan acak itu mencuat.
"Pernah, aku kira kamu akan meminta izin dulu." ujarnya santai.
Nggak terpikirkan oleh gue sebelumnya jika perlu izin buat mencium seseorang. Setidaknya bukan hanya gue yang membayangkan hal itu.
"By the why Ra, kenapa lo bisa sampai sini." Pertanyaan gue yang ini belum dibalas.
"Kemampuan stalking-ku nggak kalahkan sama kamu. Bedanya kamu menggunakan Shella, aku menggunakan sepupumu. Lagi pula aku hunting foto di sekitaran sini tadi."
"Oh jadi gitu cara fans baru gue melakukan aksinya." Gue melupakan bagian di mana Rain suka hunting foto di hari sabtu, bersama dengan teman-teman satu UKM-nya.
"Iya, fans yang paling bahagia bisa pacaran sama idolanya."
Balasan Rain barusan sangat berbahaya, dia nggak tahu kalau gue lagi menahan diri buat nggak mencium Rain lagi.
"Ra." Panggil gue, mencoba peruntungan,
"Apa gue butuh izin lo?" Tambah gue. Rain tahu arah pembicaraan gue. Dia menarik simpul senyum sebelum menggeleng. Gue memiringkan kepala, melihat bibir Rain sebelum menutup mata. Gue bisa mendengar hembusan nafasnya.
"Dam!" Pekik seseorang.
"F@ck," bisik gue pelan.
Paul datang di waktu yang nggak tepat. Gue melirik ke arah Rain yang sedang mengusap tengkuknya, entah kenapa itu membuat gue tersenyum.
"Gue dengar lo jatuh Dam." Paul terdengar santai, nggak tersirat rasa kekhawatiran di matanya.
"Iya, klit gue lepas. Terus jatuh deh." Jelas gue singkat.
"Ada yang luka?"
"Mata lo buta?" jawab gue kesal.
"Lo beneran ke sini Ra?" Perhatian Paul beralih ke Rain yang beranjak berdiri.
Gue juga mau pergi mengambil posisi di samping Rain. Saking senangnya gue lupa buat kasih tahu Paul mengenai sesuatu.
"Bro, kenalin pacar baru gue, Rain." Gue melingkarkan tangan di bahu Rain. Ekspresi Paul berubah, wajahnya nampak nggak senang.
"Selamat deh bro." Balasnya dingin. Sadar akan perubahan sikap Paul, gue nggak mau ambil pusing. Saatnya pulang, kami bergegas menuju base camp karna matahari akan segera tenggelam. Sembari menikmati pemandangan pohon di sekitar, gue teringat sesuatu.
"Oh no." Cetus gue mengakui kebodohan sendiri
"Kenapa Dam?" Tanya Rain serius,
"Tu orang Andy Prayoga Ra, sumpah gue bego banget."
"Lo lagi ngomongin Andy Prayoga, atlet nasional itu?" Sahut Paul yang mulai tertarik dengan omongan gue,
"Iya terus tadi gue satu track sama dia!" Seru gue dengan menggebu-gebu,
"Terus lo minta tanda tangan dia?" Paul tersenyum lebar menanti jawaban,
"Nggak lah, sadar itu Andy aja baru sekarang." Balas gue apa adanya,
Paul yang mendengarnya menepuk jidat sebelum mendengus kencang,
"You're dumb! Kapan sih bego lo itu kelar!" Umpat Paul masih nggak percaya dengan ketololan sepupunya ini.
Rain hanya tertawa,
"Aku baru tahu kalau kak Paul bisa bicara begitu." perkataan Rain itu membuat Paul terdiam sesaat.
"Itu karna gue nggak mau lo lihat gue lagi kayak gini Ra. Tapi karna lo udah jadi ceweknya Adam, jadi lo bakalan lihat yang beginian lebih sering." Jelas Paul.
Rain tersenyum menjawabnya. Gue juga bakal lebih sering melihat Rain tersenyum, itu bagian favorit gue.
Nggak disangka base camp dipenuhi banyak orang yang sedang beristirahat. Semuanya sudah berganti pakaian, kecuali gue sama Paul.
"Ra lo tunggu di mobil ya." Saran gue yang disetujui.
Gue sama Paul butuh waktu buat mandi, dan gue nggak mau membiarkan Rain menunggu bersama dengan banyak orang asing. Karna antri bukan main, satu jam setelahnya baru bisa mandi bebek, nggak mau meninggalkan Rain lebih lama adalah alasan lainnya di samping air yang kita gunakan buat mandi itu dingin banget.
Saat keluar dari area kamar mandi umum, kami bersiap pulang. Paul berperan sebagai supir. Tapi dia nggak mengizinkan gue buat duduk di belakang bersama Rain. Supir yang menjengkelkan itu juga nggak membiarkan gue tidur, ingin ditemani ngobrol katanya. Sedangkan Rain udah tertidur pulas di bangku belakang, dia nampak lelah.
Sebenarnya gue juga capek tapi kejutan yang gue dapat hari ini berhasil mengalahkan itu semua. Apa yang gue inginkan udah gue dapat, tinggal bagaimana cara biar gue bisa bertahan sama Rain itu pekerjaan rumah lainnya.