Chereads / Daftar Operasi TF Amethyst / Chapter 6 - 1.6 - Penyelamatan Kedua

Chapter 6 - 1.6 - Penyelamatan Kedua

Padang rumput 26 km di sebelah barat laut posisi Sersan Heinz dan unitnya.

Tulla merasa hatinya seperti diiris-iris setiap kali ia melihat istrinya yang berjalan layaknya mayat hidup.

Pagi ini puluhan bandit berkuda mendatangi pemukiman mereka. Awalnya mereka mengira para bandit tersebut hanya mengincar benda berharga dan bahan makanan yang mereka miliki.

Namun siapa sangka kalau para bandit tersebut ternyata adalah pemburu budak, dan hal pertama yang mereka lakukan setelah mengumpulkan penduduk desa adalah mengeksekusi para lansia dan balita yang dianggap akan menghambat perjalanan.

Tulla dan istrinya mati-matian mempertahankan anak mereka yang baru berumur dua tahun, namun usaha mereka sia-sia. Dengan sengaja para bandit memenggal anak mereka yang sedang menangis tepat di hadapan mereka.

Seketika itu juga cahaya kehidupan sirna dari mata istrinya dan Tulla hanya bisa mengutuk dewa-dewa di langit yang diam saja ketika kemalangan menimpa keluarganya dan seluruh penduduk desa.

'Kuharap Reem dan anak-anak lain berhasil menemukan jalan untuk bertahan hidup.'

Pinta Tulla sementara ia menunggu kesempatan untuk merebut senjata salah satu bandit.

'Setidaknya aku harus mengantar istriku terlebih dahulu sebelum membunuh para bajingan ini sebanyak mungkin.'

Kehidupan seorang budak jauh lebih rendah dari binatang, jadi Tulla harus memastikan istrinya terhindar dari nasib tersebut.

Para bandit mengambil posisi di depan dan dibelakang para penduduk yang pergelangan tangannya terikat dan terhubung satu sama lain, karena itu Tulla dengan perlahan dan penuh kehati-hatian bisa melepaskan ikatan tangannya.

"Tulla, gunakan ini."

Donda, salah satu rekan Tulla saat ia dulu menjalani wajib militer berbisik sambil menyerahkan sebuah pisau kecil. Donda juga menunjukkan kalau ikatan di tangannya sudah putus, tapi ia menutupinya dengan menggenggam erat-erat tali yang sebelumnya mengikat pergelangan tangannya.

"Nun akan memancing perhatian beberapa bandit, kita lalu akan melumpuhkan mereka dan merebut senjatanya, lalu menyerang bandit di belakang sementara para wanita lari ke segala arah dengan harapan beberapa diantaranya akan berhasil kabur dan menyusul anak-anak yang lari ke Desolate Land."

Tulla mengangguk kecil, tapi di dalam hati ia merasa getir karena kondisi istrinya saat ini tidak memungkinkannya untuk lari.

Jadi Tulla hanya bisa meneguhkan hatinya untuk membunuh istrinya lalu bertarung hingga ajal menjemput.

Sinyal pun diberikan kalau para pria sudah siap beraksi, namun sesaat sebelum mereka mulai, sekumpulan orang berpakaian hijau tiba-tiba muncul dari sisi kiri mereka dan mengacungkan tongkat berbentuk aneh ke arah para bandit. 

Ratatar. . . ratatar . . . ratatar!

Bersamaan dengan semburan api dari ujung tongkat di tangan orang-orang berpakaian hijau, suara yang memekakan telinga terdengar, sementara para bandit terjungkal dan berjatuhan ke atas tanah layaknya kantong pasir.

Dengan gerakkan rapi dan terkoordinasi orang-orang dengan pakaian hijau kemudian menyekat dan memisahkan para bandit dari penduduk.

"Tulla siapa mereka?"

Donda yang berdiri di sebelah Tulla bertanya dengan suara setengah berbisik sementara wajahnya tampak sangat was-was.

"Aku juga tidak tahu."

Jawab Tulla pendek sementara tatapannya tertuju ke arah dua bandit yang berhasil kabur dan memacu kudanya dengan sekuat tenaga.

Di saat yang sama seorang dengan tongkat api yang lebih kecil bersiul sambil menunjuk dua bandit yang berhasil kabur menggunakan dagunya.

Dua orang kemudian berdiri berdampingan dan mengarahkan tongkat api di tangan mereka ke arah bandit yang bergerak menjauh. Selanjutnya rentetan pendek terdengar dan dua bandit berkuda di kejauhan tumbang ke atas tanah. 

'Senjata yang sangat kuat dan mematikan, dikombinasikan dengan koordinasi yang rapi.'

Gumam Tulla sambil mengkalkulasi hasil terbaik yang bisa dicapai jika ia bertarung melawan orang-orang bersenjata tongkat api yang baru saja muncul, dan seketika wajah Tulla menjadi pucat karena hasilnya jauh lebih buruk dibandingkan saat ia harus melawan para bandit berkuda.

Sementara Tulla tenggelam dalam permenungan, orang-orang bersenjata tongkat api dengan kasual menghabisi para bandit yang sedang merintih atau merangkak, tanpa memperdulikan teriakan menyerah mereka.

Tidak perlu otak cerdas untuk menyadari kalau pendatang tidak dikenal tersebut sangat akrab dengan pembunuhan dan pertempuran. Dalam sekejap tidak ada lagi bandit yang masih bernafas, semuanya tersungkur di atas genangan darah masing-masing.

"Apakah ada yang terluka?"

Dengan suara lantang namun kasual pembawa tongkat api terpendek bertanya kepada para penduduk, yang secara reflek menjawab dengan menggelengkan kepala.

"Bolehkah kami tahu siapakah Ser Penolong yang terhormat?"

Tulla memberanikan diri bertanya, dan jawaban yang ia peroleh adalah.

"Namaku Letnan Lambert, aku tidak bisa memberi informasi lebih jauh tanpa otorisasi dari atasanku, tapi aku bisa memberitahu kalian bahwa unit-ku mendapat perintah untuk memburu bandit berkuda yang menyerang pemukiman kecil 20 km di sebelah tenggara dari tempat ini."

"Itu adalah pemukiman kami."

"Ya, salah satu regu yang kubawa sudah menetralkan 6 bandit yang bersembunyi di dalam pemukiman dan 6 lainnya yang bersembunyi di hutan di sebelah barat pemukiman. Mereka juga menemukan dua anak bernama Sith dan Ruth yang disembunyikan di bawah kandang kuda."

"Ah . . . . !"

Seorang wanita paruh baya memekik tertahan sebelum berjalan maju dengan langkah tergesa-gesa bersama seorang pria.

"Apakah anak kami baik-baik saja?"

"Awalnya mereka terus menangis sambil memanggil-manggil kedua orang tuanya, tapi personel yang menemukan mereka berhasil menenangkan keduanya. Jadi nyonya tidak perlu khawatir."

"Pujilah dewa-dewa di langit, pujilah dewa-dewa di langit . . . "

Kata sang wanita paruh baya sebelum terisak di dada suaminya.

"Matahari sebentar lagi tenggelam dan Grey Wolf akan segera aktif, jadi kita harus secepatnya kembali ke pemukiman."

Para penduduk mengangguk, sementara di kejauhan tampak beberapa benda terbang dengan kincir angin di atasnya. Benda terbang yang terbesar memiliki bentuk panjang dan ada dua kincir besar di atasnya. 

Sedangkan benda terbang lainnya berbentuk seperti capung atau gerobak dan memiliki sebuah kincir besar di atasnya dan sebuah kincir kecil pada ekornya.

Para penduduk tergagap dan beberapa diantaranya panik, namun Letnan Lambert berhasil menenangkan mereka. Tidak lama berselang tiga benda terbang terbesar berjajar di padang rumput dengan jarak 25 meter, sementara benda terbang yang lebih kecil tetap mengudara dengan hidung mengarah ke semua penjuru seolah-olah membuat perimeter pengamanan.

Meski agak ragu, para penduduk akhirnya bersedia masuk ke benda terbang yang berjajar di hadapan mereka melalui pintu belakang. Kecuali beberapa pria yang setelah memungut senjata para bandit bergegas mendekati Letnan Lambert.

"Kami tidak bermaksud menolak niat baik Ser Penolong, tapi beberapa anak sempat meloloskan diri dari para bandit dan kemungkinan bergerak ke timur. Jadi kami harus menjemput mereka terlebih dahulu."

"Jangan khawatir, unit induk kami menjaga mereka. Saat ini yang terpenting adalah secepatnya kembali ke pemukiman."

"Kami mengerti."

Tulla dan para pria lainnya sebenarnya masih agak curiga terhadap penolong mereka. Namun kecurigaan tersebut sedikit mereda karena mereka diizinkan naik benda terbang sambil membawa senjata yang mereka rampas dari para bandit.

"Bisakah kita mempercayai mereka?"

Donda berkata dengan setengah berbisik, dan Tulla yang berdiri di sebelahnya menjawab lirih.

"Untuk saat ini kita tidak punya pilihan lain."

- - - - -

Padang rumput 500 meter di sebelah timur pemukiman.

Pukul 16.15, 31 Januari 2025

'Mimpi apa aku semalam?'

Sambil menatap matahari senja, Prajurit Satu Keane menggenggam varian terpendek HK416A5 dengan mantap. Sebuah postur yang akan tampak sangat berwibawa seandainya saja di kiri dan kanannya tidak ada dua anak berumur 3-4 tahun yang memegang ujung bajunya dengan sangat erat, salah satunya bahkan dengan asyik menghisap jari jempolnya.

Prajurit Satu Keane bukanlah tipe penyayang binatang apalagi penyayang anak. Ia adalah tipe manusia yang sebisa mungkin menghindari hal-hal yang kompleks dan merepotkan.

Misalnya saja ketika pacar pertamanya menelpon di tengah malam buta untuk mencurahkan isi hatinya, tanpa ragu ia memutus di tempat pacarnya tersebut. Sementara pacar keduanya ia putuskan karena mengajaknya secara paksa pergi ke pantai di hari libur dimana ia berniat menghabiskan waktunya untuk tidur seharian.

Saat ia bersama Kopral Twig dan seorang rekannya menemukan dua orang anak yang bersembunyi di bawah kandang kuda sambil menggigil ketakutan, yang ia lakukan hanyalah memberi kedua anak tersebut dua permen sisa MRE yang kebetulan ada di sakunya.

Ia memberikan permen tersebut bukan karena rasa sayang atau peduli kepada dua anak yang sedang ketakutan tersebut. Namun karena ia tidak tahu harus berbuat apa sementara rekannya dan Kopral Twig mati-matian berusaha menenangkan kedua anak yang tanpa peringatan terlebih dahulu mulai terisak.

Permen yang ia berikan pun sebenarnya adalah permen yang tidak ia makan karena tidak disukainya.

Ajaibnya, kedua anak yang sudah terisak seketika berhenti menangis setelah mereka mengunyah permen coklat yang diterimanya dari Prajurit Satu Keane. Mereka bahkan dengan tatapan yang polos dan jernih memandang ke arah Prajurit Keane. 

Setelah itu, keduanya mengikuti Prajurit Satu Keane layaknya anak anjing mengikuti induknya. Mereka bahkan tidak keberatan ketika Prajurit Satu Keane tidak mengulurkan tangannya untuk menggandeng mereka, keduanya justru mengambil inisiatif untuk memegang erat-erat ujung baju Prajurit Satu Keane.

Kopral Twig yang sadar kalau Prajurit Satu Keane bukanlah manusia yang bisa diandalkan untuk menjaga dua orang anak mencoba mencegah tragedi yang mungkin saja akan terjadi, namun hasilnya kedua anak yang ia coba selamatkan justru menangis ketika ia mencoba memisahkannya dari Prajurit Satu Keane.

Kopral Twig pun hanya bisa pasrah dan menghentikan usahanya. Sementara Prajurit Satu Keane ingin menangis tapi tidak ada air mata yang keluar.

Saat Sersan Heins dan anggota unit lain melihat Prajurit Satu Keane kembali sambil dikawal oleh dua orang anak di kedua sisinya, mereka pun dengan susah payah menahan tawa masing-masing. Hal yang membuat Prajurit Satu Keane semakin ingin mengucurkan air mata.

Namun setidaknya, rekan-rekannya secara kolektif mengumpulkan crackers, coklat, permen atau snack-bar yang mereka bawa untuk diberikan kepada kedua anak yang menempel ketat di kedua sisi Prajurit Satu Keane.

Saat akhirnya ia mendengar kalau kedua orang tua anak yang mengikutinya akan segera kembali, Prajurit Satu Keane pun mengambil inisiatif untuk pergi ke lokasi pendaratan.

'Akhirnya, sebentar lagi kebebasan akan kembali kepadaku.'

Gumam Prajurit Satu Keane saat di kejauhan ia melihat konvoi helikopter bergerak mendekat.

"Whoaaaah . . . . !"

Melihat kedua anak di samping kiri dan kanannya memandang konvoi helikopter dengan takjub, Prajurit Satu Keane mengambil inisiatif untuk menjelaskan.

"Benda terbang tersebut bernama Hello?"

"Hee-low."

Salah seorang anak mengulang kata-kata Prajurit Satu Keane sementara saudaranya mengangguk-angguk.

Tidak lama setelah ketiga Chinook mendarat, sepasang suami istri yang keluar dari pintu belakang salah satu Chinook segera berlari ke arah Prajurit Satu Keane, atau tepatnya ke arah kedua anak yang mengapitnya.

Kedua anak yang mengapit Prajurit Keane tertegun untuk sesaat sebelum berlari menuju ke arah orang tua mereka. Namun keduanya berhenti pada langkah ketiga, berbalik untuk memeluk paha Prajurit Satu Keane erat-erat sebelum kembali berlari menuju ke arah orang tua mereka.

Kedua orang tua Sith dan Ruth tidak henti-hentinya membungkuk dan mengucapkan terima kasih kepada Prajurit Satu Keane, sementara prajurit muda tersebut hanya bisa salah tingkah.

Sith dan Ruth pun lalu mengikuti kedua orang tuanya menuju ke pemukiman, dalam perjalanan keduanya menyempatkan diri menoleh ke arah Prajurit Satu Keane dan melambaikan tangan.

Entah kenapa Prajurit Satu Keane merasakan kerinduan yang amat dalam terhadap orang tuanya saat ia melihat hal tersebut.

'Mum, Dad. . . Aku harap kalian baik-baik saja di bumi.'

*****